Opini

Refleksi Peran Manusia di Bumi: Belajar dari Kisah Nabi Musa dan Pemikiran Ibnu Khaldun

Ahad, 3 November 2024 | 07:48 WIB

Refleksi Peran Manusia di Bumi: Belajar dari Kisah Nabi Musa dan Pemikiran Ibnu Khaldun

Peran Manusia di Bumi. (Ilustrasi: NU Online).

Setelah perbincangan hangat dengan sahabat-sahabat, kami, kader-kader Nahdlatul Ulama (NU) Kabupaten Tasikmalaya, yang biasa berdiskusi di Kantor NU, satu per satu mulai meninggalkan tempat diskusi. Waktu telah menunjukkan pukul setengah lima sore. Sebagian dari mereka belum menunaikan sholat ashar, sementara yang lain memiliki keperluan masing-masing.


Di ruangan Tanfidziyah PCNU Kabupaten Tasikmalaya, hanya tersisa saya dan Ajengan Anom, Ketua MDS Rijalul Ansor Kabupaten Tasikmalaya, Sahabat Husni Aziz Muhammad Mubarok. Dari raut wajah beliau, tampak lelah, mungkin karena aktivitas sehari-harinya yang selalu penuh untuk para santri dan umat. Dari bangun hingga tidur kembali, keseharian beliau dipenuhi dengan mengajar santri di pesantren, mendidik siswa di sekolah, membimbing mahasiswa di kampus, dan berdakwah lintas daerah kepada masyarakat.


Saya pun menyeloroh, “Apakah Anda merasa jenuh dengan peran sekarang, atau ingin mencoba memainkan peran lain?” Mendengar itu, beliau segera bangun dari sandaran sofa, menaruh HP di meja, mengambil sebatang rokok, lalu duduk di teras yang beralaskan karpet. Itu adalah isyarat bahwa diskusi selama satu jam ke depan akan dimulai.


Dalam diskusi itu, Ajengan Anom mengangkat kisah Nabi Musa AS yang diutus Allah SWT untuk menghadapi Fir’aun, sosok penguasa zalim yang dikenal akan kekejamannya. Meski Nabi Syuaib AS telah lebih dahulu diutus untuk kaumnya, Nabi Musa-lah yang Allah pilih untuk menjalankan peran spesifik sebagai penyelamat Bani Israil dari kekejaman Fir’aun. Kisah ini mengandung pelajaran mendalam tentang penentuan peran manusia dalam menjalankan amanah di bumi.


Nabi Musa dipilih karena kemampuannya mengatasi tantangan besar ini. Dengan kekuatan iman, tekad, dan kebijaksanaan, Nabi Musa berhasil mengguncang hegemoni Fir’aun yang dianggap tak terkalahkan. Berbagai mukjizat, seperti tongkat yang berubah menjadi ular dan membelah Laut Merah, adalah bukti kekuasaan Allah yang memperkuat Nabi Musa untuk menyelamatkan kaumnya dari perbudakan. Semua itu mengajarkan bahwa setiap manusia diberi amanah dan peran spesifik sesuai dengan kelebihan dan tantangannya masing-masing, untuk tujuan mulia yang telah Allah tetapkan.


Kisah ini mengingatkan saya pada QS. Al-Baqarah ayat 30:


“(Ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, ‘Aku hendak menjadikan khalifah di bumi.’ Mereka berkata, ‘Apakah Engkau hendak menjadikan orang yang merusak dan menumpahkan darah di sana, sedangkan kami bertasbih memuji-Mu dan menyucikan nama-Mu?’ Dia berfirman, ‘Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.


Ayat ini menggambarkan bahwa manusia diberi amanah sebagai khalifah di bumi, yang memiliki tanggung jawab untuk menjaga keseimbangan alam dan menegakkan keadilan. Tugas ini mencakup tanggung jawab ekologis dan sosial untuk merawat lingkungan, memperlakukan makhluk hidup lain dengan kasih sayang, dan menciptakan kehidupan yang harmonis. Inilah pandangan saya tentang seorang wali Allah di muka bumi.


Di tengah kehangatan diskusi, hadir juga aktivis NU lainnya, Wakil Bendahara PCNU Saeful Aziz dan Pengurus LKKNU Sukri Ruslan. Diskusi pun menjadi lebih seru dan hangat.


Menjalankan peran sebagai khalifah dapat dilakukan secara individu maupun berkelompok. Tolok ukur keberhasilan manusia beragam dari berbagai perspektif. Namun, dalam perjalanan hidup, manusia sering kali melupakan peran ini. Setiap manusia memiliki kelebihan dan kelemahan masing-masing, tetapi yang paling sulit adalah mengenali potensi diri untuk menjalankan amanah tersebut.


Di era modern, muncul kekhawatiran bahwa kehadiran kecerdasan buatan (AI) dapat menggantikan peran manusia sepenuhnya. Meskipun beberapa ilmuwan menyanggah kekhawatiran ini, AI sudah mulai merambah berbagai sektor yang dulunya dijalankan manusia. Bahkan, AI kini dapat mencipta karya seni dan lagu, yang dahulu dianggap sebagai ranah eksklusif manusia.


Menurut Ibnu Khaldun dalam karya besarnya Mukadimah, ada konsep asabiyyah atau solidaritas sosial, yang relevan dalam konteks peran manusia sebagai khalifah. Sebagai makhluk sosial, manusia dituntut untuk membangun solidaritas dengan sesama agar dapat menghadapi tantangan bersama. Ketika asabiyyah dalam suatu komunitas kuat, masyarakat tersebut lebih mampu menciptakan kesejahteraan, stabilitas, dan kemajuan. Sebaliknya, jika ikatan sosial ini lemah, individu dalam masyarakat cenderung lebih egois dan abai terhadap tanggung jawab sosial, yang berpotensi menimbulkan kerusakan dan konflik.


Lebih jauh, Ibnu Khaldun menekankan pentingnya ilmu pengetahuan dan kebijaksanaan dalam melaksanakan peran khalifah. Hal ini sejalan dengan perhatian Nahdlatul Ulama di abad kedua, di bawah pimpinan Gus Yahya Cholil Tsaquf, yang berfokus pada pembentukan peradaban baru yang lebih mulia.


Bagi sebagian orang, mungkin peran manusia untuk membangun peradaban dianggap terlalu tinggi. Sebagian merasa bahwa bisa bertahan hidup dengan baik saja sudah merupakan sebuah pencapaian. Namun, konsep ini sejalan dengan teori butterfly effect yang diperkenalkan Edward Lorenz. Teori ini menunjukkan bahwa sekecil apa pun tindakan yang dilakukan dapat menghasilkan dampak besar dalam jangka panjang. Berbeda dengan domino effect yang menghasilkan dampak secara berurutan, butterfly effect berdampak secara meluas meski tidak selalu terprediksi.


Itulah mengapa peran manusia bisa dijalankan secara individu maupun berkelompok. Bergabung dalam organisasi yang memiliki tujuan jelas untuk menjalankan amanah besar merupakan bentuk tanggung jawab untuk menjalankan peran khalifah di bumi. Setiap orang bertanggung jawab untuk belajar dan mengembangkan diri agar dapat berkontribusi maksimal dalam membangun masyarakat yang lebih baik.


Diskusi panjang dengan beliau meninggalkan kesan yang mendalam. Amanah sebagai khalifah di bumi menuntut manusia untuk menjalankan peran sesuai kemampuan, baik secara individual maupun kolektif. Menjaga keseimbangan alam, menegakkan keadilan, dan membangun peradaban merupakan sebagian dari tugas kita, dan semuanya harus berlandaskan pada ilmu dan kebijaksanaan.


Akhirnya, adzan Magrib berbunyi. Ajengan pun bergegas pulang untuk kembali menjalani perannya sebagai pendidik dan pembimbing para santri, sementara yang lain tetap di kantor NU. Diskusi kami berakhir, namun perenungan tentang peran manusia sebagai khalifah di bumi tetap terpatri dalam benak, memberi semangat untuk terus berbuat kebaikan dalam menjalankan amanah besar ini, yang paling penting mainkan peranmu jangan memainkan peran orang lain.


Ahmad Arip Puad Rifai, Sekretaris GP Ansor Kabupaten Tasikmalaya