• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Minggu, 28 April 2024

Opini

Penyelesaian Sengketa Kewarisan Melalui Mediasi: Jalan Terbaik Menyelesaikan Masalah

Penyelesaian Sengketa Kewarisan Melalui Mediasi: Jalan Terbaik Menyelesaikan Masalah
Penyelesaian Sengketa Kewarisan Melalui Mediasi: Jalan Terbaik Menyelesaikan Masalah
Penyelesaian Sengketa Kewarisan Melalui Mediasi: Jalan Terbaik Menyelesaikan Masalah

Sengketa pembagian harta waris menurut hukum Islam harus diselesaikan dengan suatu penyelesaian yang tepat sehingga tidak memutus hubungan keluarga dan tidak menyebabkan perselisihan atau perdebatan mengenai harta waris di kemudian hari. Terkait itu, menurut hukum positif Indonesia penyelesaian sengketa dapat diselesaikan melalui jalur litigasi maupun jalur non litigasi.


Jalur litigasi mengarah pada hukum acara yang berlaku yang penyelesaiannya melalui pengadilan. Berdasarkan Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama. 


Ahli waris dapat mengajukan gugatan kepada pengadilan agama untuk menyelesaikan sengketa pembagian harta waris.2 Selain melalui pengadilan (litigasi), penyele-saian sengketa juga dapat diselesaikan di luar pengadilan (non litigasi) yang lazim dinamakan dengan Alternatif Dispute Resolution (ADR).


Mediasi berdasarkan prosedurnya dibagi menjadi 2 bagian antara lain:

  1. Mediasi yang dilakukan di luar pengadilan (Undang-Undang Nomor 30 tahun 1999)
  2. Mediasi yang dilakukan di pengadilan (Pasal 130 HIR / 154 RBg jo Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008).


Mediasi dapat ditempuh oleh para pihak yang terdiri dari atas dua pihak yang bersengketa maupun oleh lebih dari dua pihak (multiparties). Penyelesaian dapat dicapai atau dihasilkan jika semua pihak yang bersengketa dapat menerima penyelesaian itu. Ada kalanya karena berbagai faktor para pihak tidak mampu mencapai penyelesaian sehingga mediasi berakhir dengan jalan buntu (deadlock stalemate).


Situasi ini yang membedakan mediasi dari litigasi. Litigasi pasti berakhir dengan sebuah penyelesaian hukum, berupa putusan hakim, meskipun penyelesaian hukum belum tentu mengakhiri sebuah sengketa karena ketegangan diantara para pihak masih berlangsung dan pihak yang kalah selalu tidak puas. 


Penyelesaian sengketa memang sulit dilakukan, namun bukan berarti tidak mungkin diwujudkan dalam kenyataan. Modal utama penyelesaian sengketa adalah keinginan dan itikad baik para pihak dalam mengakhiri persengketaan mereka. Keinginan dan itikad baik ini, kadang-kadang memerlukan bantuan pihak ketiga dalam perwujudannya.


Pengertian mediasi menurut beberapa ahli resolusi konflik, di antaranya Laurence Bolle menyatakan bahwa mediasi merupakan suatu proses yang dilakukan para pihak untuk mencari kesepakatan yang dibantu oleh mediator sebagai pihak ketiga. Sedangkan Garry Goopaster (sic: Gary Goodpaster) mendefinisikan mediasi sebagai proses negosiasi dalam memecahkan masalah di mana pihak ketiga bersifat netral (imparsial) dalam membantu para pihak menentukan kesepakatan perjanjian yang memuaskan. Selain itu, definisi mediasi menurut Peraturan Mahkamah Agung RI No. 1 Tahun 2016 menyatakan bahwa, “Mediasi adalah cara penyelesaian sengketa melalui proses perundingan untuk memperoleh kesepakatan para pihak dengan dibantu oleh mediator.”


Beberapa definisi mediasi yang telah disampaikan di atas, dapat disimpulkan bahwa mediasi adalah salah satu proses penyelesaian konflik di mana para pihak yang berselisih bersama-sama berinisiatif mencari kesepakatan dengan dibantu oleh pihak ketiga sebagai mediator yang bersifat netral atau tidak memihak untuk mengakomodir kebutuhan mereka, sehingga dapat menumbuhkan kepercayaan pihak yang bersengketa yang akan memudahkan proses mediasi. Dengan adanya mediasi dapat membawa para pihak pada kesepakatan yang saling menguntungkan karena tidak ada pihak yang merasa menang atau kalah (winwin solution). Mediasi dapat diterapkan dalam sengketa perdata baik dalam wilayah hukum keluarga, waris, perbankan, kontrak, atau bisnis.


Media memiliki kelebihan tersendiri. Sebab mediasi merupakan salah satu bentuk penyelesaian sengketa yang melibatkan pihak ketiga. mediasi dapat memberikan sejumlah keunggulan/kelebihan, antara lain sebagai berikut.

  1. Mediasi diharapkan dapat menyelesaikan sengketa secara cepat dan relatif murah dibandingkan dengan membawa perselisihan tersebut ke pengadilan. 
  2. Mediasi akan memfokuskan perhatian para pihak pada kepentingan mereka secara nyata dan pada kebutuhan emosi atau psikologis mereka, sehingga mediasi bukan hanya tertuju pada hak-hak hukumnya.
  3. Mediasi memberikan kesempatan para pihak untuk berpartisipasi secara langsung  dan secara informal dalam menyelesaikan perselisihan mereka.
  4. Mediasi memberikan para pihak kemampuan untuk melakukan kontrol terhadap proses dan hasilnya.
  5. Mediasi dapat mengubah hasil yang dalam litigasi sulit diprediksi dengan suatu kepastian melalui suatu konsensus.
  6. Mediasi memberikan hasil yang tahan uji dan akan mampu menciptakan saling pengertian yang lebih baik di antara para pihak yang bersengketa karena mereka sendiri yang memutuskannya.
  7. Mediasi mampu menghilangkan konflik atau permusuhan yang hampir selalu mengiringi setiap putusan yang bersifat memaksa yang dijatuhkan oleh hakim di pengadilan.


Kelebihan mediasi sangat jauh berbeda dengan penyelesaian sengketa yang dilakukan dalam proses litigasi. Penyelesaian sengketa secara non litigasi banyak memberikan keuntungan bagi ahli waris dalam menyelesaikan sengketa pembagian harta waris. 


Para ahli waris dalam menyelesaikan sengketa waris lebih tepat apabila memilih jalur non litigasi, yakni dengan mediasi sebagai salah satu alternatif penyelesaian sengketa pembagian harta waris. Penyelesaian sengketa melalui jalur litigasi tidak memberikan suatu manfaat dalam sengketa pembagian sengketa waris ini karena sengketa ini menyangkut hubungan kekeluargaan. 


Pada sengketa ini ahli waris tidak hanya menyelesaikan sengketa pembagian harta waris tersebut tetapi juga mempertahankan tali silatuhrahmi dan menjaga harmonisasi dengan Ahli waris lainnya. Pada hukum waris Islam menekankan bahwa suatu sengketa waris harus diselesaikan secara musyawarah dan tidak merusak hubungan keluarga.


Penyelesaian secara damai merupakan jalan yang terbaik bagi semua pihak, penggunaan jalur litigasi yang panjang dan berbelit-belit pada akhirnya hanya sebagai sarana untuk menunjukkan sikap egois semata. 


Para pihak yang tetap berkeras menginginkan agar penyelesaiannya diputuskan oleh pengadilan biasanya mengandung konflik non hukum di luar pokok sengketanya, misalnya diantara para pihak terlibat konflik emosional, dendam dan sentimen pribadi. Hal inilah yang sering mengemuka menjadi dinding penghalang terjadinya perdamaian di antara para pihak.


Mediasi merupakan alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang bersifat sukarela atau pilihan. Pada konteks mediasi di pengadilan ternyata pengadilan bersifat wajib. Hal ini mengandung arti proses mediasi dalam penyelesaian sengketa di pengadilan harus terlebih dahulu dilakukan penyelesaiannya melalui perdamaian. 


Pihak-pihak yang bersengketa di muka pengadilan terlebih dahulu harus menyelesaikan persengketaannya melalui perdamaian atau perundingan dengan menyelesaikan persengketaannya melalui perdamaian atau perundingan dengan dibantu mediator.


Ketentuan dalam Pasal 4 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan menyatakan bahwa: ‘’Kecuali perkara yang diselesaikan melalui prosedur pengadilan niaga, pengadilan hubungan industrial, keberatan atas putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen dan keberatan atas putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha, semua sengketa perdata yang diajukan ke Pengadilan Tingkat Pertama wajib lebih dahulu diupayakan penyelesaian melalui perdamaian dengan bantuan mediator’’.


Tidak ditempuhnya proses mediasi berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan tersebut merupakan suatu pelanggaran atas ketentuan dalam Pasal 130 HIR/Pasal 154 RBg sehingga mengakibatkan putusan atas perkara yang bersangkutan menjadi batal demi hukum. 


Hal ini juga berkaitan dengan kewajiban hakim agar dalam pertimbangannya putusannya menyebutkan bahwa perkara yang bersangkutan telah diupayakan perdamaian melalui mediasi dengan menyebutkan nama mediator untuk perkara yang bersangkutan.


Mediasi yang dilakukan oleh para ahli waris akan menghasilkan suatu kesepakatan atas sengketa yang dialami oleh ahli waris. Ahli waris yang bersengketa akan mengukuhkan hasil dari kesepakatan yang telah disepakati dalam proses mediasi untuk mendapatkan kekuatan hukum dan dapat mengikat bagi para ahli waris. Hal ini diatur dalam Pasal 17 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, yang menyatakan bahwa:

 
  1. Jika mediasi menghasilkan kesepakatan perdamaian, para pihak dengan bantuan mediator wajib merumuskan secara tertulis kesepakatan yang dicapai dan ditandatangani oleh para pihak dan mediator.
  2. Jika dalam proses mediasi para pihak diwakili oleh kuasa hukum, para pihak wajib menyatakan secara tertulis persetujuan atas kesepakatan yang dicapai.
  3. Sebelum para pihak menandatangani kesepakatan mediator memeriksa materi kesepakatan perdamaian untuk menghindari ada kesepakatan yang bertentangan dengan hukum atau yang tidak dapat dilaksanakan atau yang memuat itikad tidak baik.
  4. Para pihak wajib menghadap kembali kepada hakim pada hari sidang yang telah ditentukan untuk memberitahukan kesepakatan perdamaian.
  5. Para pihak dapat mengajukan kesepakatan perdamaian kepada hakim untuk dikuatkan dalam bentuk akta perdamaian.


Peranan hakim dalam usaha menyelesaikan perkara tersebut secara damai adalah sangat penting. Putusan perdamaian mempunyai arti yang sangat baik bagi masyarakat pada umumnya dan khususnya bagi orang yang mencari keadilan. 


Apabila hakim berhasil untuk mendamaikan kedua belah pihak maka dibuat akta perdamaian dan kedua belah pihak dihukum untuk menaati isi dari akta perdamaian tersebut. Terkait akta perdamaian tersebut dibuat oleh atau di hadapan pejabat yang berwenang untuk itu yakni dibuat oleh hakim maka bisa disebut sebagai akta otentik. 


Akta otentik terutama memuat keterangan dari seseorang pejabat yang menerangkan apa yang dilakukannya dan dilihat di hadapannya. Terkait itu akta perdamaian merupakan bukti bagi para pihak bahwa sengketa antara para pihak sudah selesai sama sekali dengan jalan damai dan disaksikan pula oleh hakim yang memeriksa perkara para pihak.


Bahkan dengan dikuatkan kesepakatan damai dalam akta perdamaian maka kesepakatan perdamaian itu memiliki kekuatan eksekutorial atau memiliki kekuatan hukum sama dengan putusan pengadilan. Setelah kesepakatan perdamaian yang telah dibuat oleh para ahli waris dikukuhkan menjadi akta perdamaian maka akta perdamaian tersebut mengikat terhadap ahli waris. 


Ahli waris wajib menaati akta perdamaian yang telah dikukuhkan oleh hakim. Akta perdamaian tersebut berisikan kesepakatan diantara para ahli waris mengenai sengketa pembagian harta waris, dengan kata lain, sengketa pembagian harta waris tersebut telah berakhir karena munculnya akta perdamaian merupakan akhir dari sengketa pembagian harta waris.


Terkait pengukuhan kesepakatan perdamaian yang dilakukan di luar pengadilan menjadi akta perdamaian di atur dalam Pasal 23 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, yang menyatakan bahwa:

(a) Para pihak dengan bantuan mediator bersertifikasi yang berhasil menyelesaikan sengketa di luar pengadilan dengan kesepakatan perdamaian dapat mengajukan kesepakatan perdamaian tersebut ke pengadilan yang berwenang untuk memperoleh akta perdamaian dengan cara mengajukan gugatan.

(b) Pengajuan gugatan sebagaiamana dimaksud dalam ayat 1 harus disertai atau dilampiri dengan kesepakatan perdamaian dan dokumen-dokumen yang membuktikan ada hubungan hukum para pihak dengan objek sengketa.

(c) Hakim dihadapan para pihak hanya akan mengeluarkan kesepakatan perdamaian dalam bentuk akta perdamaian apabila kesepakatan perdamaian tersebut memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

  • Sesuai kehendak para pihak;
  • Tidak bertentangan dengan hukum;
  • Tidak merugikan pihak ketiga;
  • Dapat dieksekusi;
  • Dengan itikad baik.


Ahli waris yang menggunakan mediasi di luar pengadilan wajib melaksanakan ketentuan Pasal 23 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan untuk mengukuhkan kesepakatan damai yang di sepakati menjadi akta perdamaian.


Burhan Latip, Ketua Lakpesdam PCNU Kabupaten Cianjur


Opini Terbaru