• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Minggu, 28 April 2024

Opini

KOLOM PROF DIDIN

Ketika Keresahan Berbalas Tuduhan

Ketika Keresahan Berbalas Tuduhan
Ketika Keresahan Berbalas Tuduhan
Ketika Keresahan Berbalas Tuduhan

Dalam sebuah wawancara, Uskup Agung Jakarta Romo Ignatius Suharyo sebagaimana banyak dikutip oleh berbagai media mengatakan, “Dalam sejarah juga jelas, ketika kekuasaan tidak mau mendengar kritik-kritik, bahayanya adalah tumbang. Itu terjadi seperti itu. Bukan hanya di Indonesia, dimanapun akan terjadi. Oleh karena itu kekuasaan dan kritik itu dua hal yang mesti berjalan bersama-sama”.


Ungkapan ini merespon munculnya berbagai pernyataan keprihatinan atau petisi yang disampaikan oleh para akademisi di kampus-kampus di berbagai wilayah Indonesia.


Dalam hari-hari terakhir ini ruang politik publik kita memang diramaikan oleh berbagai pernyataan keprihatinan yang disampaikan oleh para akademisi di berbagai perguruan tinggi di tanah air. Kemunculan pernyataan ini memang cukup mengagetkan berbagai pihak karena mungkin untuk pertama kalinya dalam cerita panjang kehidupan politik pasca Reformasi 1998, hal itu terjadi dan memori akan peristiwa 1998 seperti kembal hadir setelah lebih dari 25 tahun berlalu. Para akademisi yang selama ini terkesan lebih memilih “bersemedi” di ruang-ruang perkuliahan dan penelitian dan menjauh dari hingar bingar drama politik mendadak masuk ke dalam gelanggang.


Tentu hal ini memunculkan pertanyaan besar ada urgensi apa para suhu etika, moral dan keilmuan ini harus keluar dari “gua hiro” mereka secara bersama-sama? Adakah sesuatu yang sudah sangat meresahkan hati nurani, kesadaran etis dan pemikiran metodologis mereka untuk masuk ke dunia ramai ini?


Namun demikian tampilnya para civitas akademika ini tidak selalu direspon dengan baik. Sebaliknya, beberapa pihak terutama mereka yang berada di lingkaran kekuasaan dan atau telah menjadi pendukung penguasa melakukan “serangan” secara membabi-buta dengan berbagai tuduhan termasuk tuduhan partisian dan diorkestrasi oleh kubu politik tertentu. Tidak heran jika ruang politik publik kita menjadi semakin riuh antara yang pro dan kontra dengan apa yang dilakukan dan dinyatarakan oleh para akademisi dan terkait respon yang diberikan terhadap pernyataan para akademisi tersebut.


Keresahan
Dari berbagai pernyataan yang disampaikan tentunya setiap pihak memiliki titik tolak yang berbeda-beda. Begitu juga aspek yang ditekankannya. Meskipun demikian ada beberapa kesamaan pandangan yang disampaikan.


Pertama, terkait persoalan tergerusnya nilai etika dalam kancah perpolitikan bangsa ini. Etika yang bersifat universal sekaligus menjadi patokan utama  dalam membangun kehidupan dan pola interaksi berbangsa dan bernegara cenderung diabaikan, bahkan menjadi “candaan” yang tidak lucu. Berbagai sikap dan tindakan terbukti menunjukkan ka arah itu seperti terlihat dari Keputusan MKMK yang menyatakan adanya pelanggaran etika dalam proses pembuatan Keputusan terkait persyaratan untuk menjadi calon pada pilpres 2024 dan juga Keputusan DKPP yang menjuga memutuskan adanya pelanggaran etika oleh KPU sebagai satu-satunya penyelenggara Pemilu tahun 2024 ini.


Kedua, sikap dan prilaku Presiden yang diharapkan akan menjadi suri tauladan tertinggi dalam konteks pembangunan demokrasi di negeri ini justru mempertontonkan secara vulgar keberpihakannya pada salah satu kontestan tertentu, meskipun secara oral tidak pernah diungkapkan secara terbuka. Terlebih alih-alih meminimalisir aksinya, Presiden dengan lantang dan demonstratif menunjukkan “kekuasaannya” dengan menunjukkan pasal-pasal yang menurutnya menjadi dasar hukum atas apa yang dilakukan selama ini. Akibatnya, presiden dipandang lebih menampilkan bukan rule of the law yang bertujuan untuk menciptakan kebaikan dan keadaban akan tetapi rule by the law yang menunjukkan bagaimana hukum digunakan untuk melegitimasi setiap tindakan, meskipun secara etika dan rasa keadilan tidak pantas dan elok.


Terakhir, “cawe’cawe”-nya Presiden yang pada awalnya dikatakan untuk memastikan proses politik ini berjalan sesuai dengan ketentuan yang berlaku justru dipandang merusak proses demokrasi yang sedang berlangsung. Tentu saja sikap, prilaku dan “cawe-cawe” bagaimanapun akan berdampak pada sikap dan pendekatan yang ditunjukkan oleh Aparatur Sipili Negera (ASN) mulai dari desa hingga ke ibukota. Munculnya berbagai unggahan di media sosial seakan “membenarkan” bahwa prinsip netralitas ASN seperti utopia belaka.   


Tuduhan
Menarik untuk melihat dan membaca secara seksama bagaimana respon pihak penguasa beserta simpatisannya terhadap apa yang disampaikan oleh pada akademisi tersebut termasuk beberapa simpatisan Presiden Jokowi dan pendukung Paslon yang memang diidentikkan dengan Presiden. Beberapa tokoh seperti Bahlil Lahadilla (Menteri Investasi/Kepala BKPM), Ari Dwipayana dari KSP, Fahri Hamzah dan Immanuel Ebenezer memberikan respon negatif terhadap gerakan moral yang disampaikan oleh para akademisi. Mereka bahkan “menuduh” para akademisi ini partisan atau simpatisan paslon tertentu dan merupakan bagian dari orkestra politik oleh pihak tertentu.


Tentu saja tuduhan tersebut ditolak dengan sangat keras oleh para akademisi. Bahkan seorang Guru Besar menyatakan bahwa tuduhan tersebut merupakan penghinaan terhadap marwah dan derajat keilmuan perguruan tinggi sebagai pusat sekaligus penjaga perabadan kemanusiaan berdasarkan akal sehat dan nilai-nilai etika dan moral yang mulya.      


Demokrasi Akal Sehat vs Demokrasi Perasaan
Aksi para akademisi dan reaksi para politisi di atas tidak saja semakin menjauhkan dari suasana politik yang kondusif, akan tetapi keriuhan baru yang tidak perlu. Jika merujuk pada peribahasa bahasa Arab yang menyatakan “lihatllah pada apa yang dikatakan dan jangan melihat pada siapa yang menyatakan”, keriuhan yang terjadi saat ini tidak akan terjadi. Apalagi jika kemudian pihak-pihak yang merasa tersinggung melakukan counter secara orkestratif yang juga melibatkan elemen kampus. Hal itu justru semakin menegaskan bahwa apa yang menjadi keprihatinan para akademisi adalah benar adanya.


Mengutip pernyataan Prof Fathul Wahid, Rektor UII Yogyakarta, yang menyatakan saat ini muncul apa yang disebut dengan demokrasi perasaan. Demokrasi jenis ini lanjut Prof Fathul muncul “ketika akal sehat ditinggalkan dan perasaan mendominasi”. Dalam demokrasi perasaan ini, “perasaan publik itu dimainkan dengan berbagai gerakan dan aksi demi kepentingan diri, kelompok dan partainya”. Dengan kata lain, secara kasat mata pola semacam ini secara kategoris tetap bisa disebut demokrasi, akan tetapi bukan demokrasi yang sejati karena demokrasi yang sejati seyogyanya didasarkan pada pertimbangan akal sehat.


Berkaca pada berbagai hal tersebut di atas, gerakan para akademisi yang bertujuan untuk mengembalikan jenis demokrasi yang hakiki berdasakan akal sehat tidak perlu ditanggapi secara emosional, sebaliknya dipelajari dengan seksama dan syukur-syukur menjadi inspirasi bagi perbaikan praktek demokrasi ke depan. Masih ada waktu bagi bangsa ini untuk terus memperbaiki kualitas demokrasinya. Sebaliknya, jangan sampai peringatan yang disampaikan oleh Uskup Agung Jakarta di atas justru yang terjadi karena sejarah politik di berbagai masa dan tempat mengajarkan hal itu. Wallahu ‘alam.  


Didin Nurul Rosidin, Direktur Pesantren Terpadu Al-Mutawally​​​​​​​, Wakil Rais Syuriah PCNU Kuningan dan Guru Besar IAIN Syekh Nurjati Cirebon


Opini Terbaru