• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Kamis, 2 Mei 2024

Opini

KOLOM KANG IQBAL

Media Sosial Dapat Menyesatkan Pemilih

Media Sosial Dapat Menyesatkan Pemilih
Media Sosial Dapat Menyesatkan Pemilih
Media Sosial Dapat Menyesatkan Pemilih

Dalam berbagai percakapan santai dengan warga dari berbagai kalangan termasuk mahasiswa soal pemilihan presiden 2024 ini, saya sering mendengar bahwa mereka mendapatkan informasi tentang para calon presiden dari media sosial, utamanya TikTok dan Instragram, dua platform yang popular di kalangan pemuda. Juga tak jarang ketika ditanya soal apa landasan informasi tentang siapa yang akan dipilih dalam pemilu ini, mereka menjawab sama: media sosial. 


Memang tidak dipungkiri bahwa media sosial kini sudah memasuki ruang-ruang kehidupan masyarakat, terlebih pemuda atau generasi milenial dan Z.  Di era interkoneksi ini, media sosial telah menjadi bagian integral dari diskursus politik, menyediakan platform untuk berbagi informasi, keterlibatan, dan pengaruh. Memang media sosial menawarkan peluang yang belum pernah terjadi sebelumnya untuk komunikasi dan informasi. 


Namun, dampak media sosial terhadap proses demokrasi, terutama dalam membentuk pendapat pemilih, rasanya layak menjadi subjek kekhawatiran kita. Sejauhmana media sosial dapat menjamin terpilihnya pemimpin negara yang berkualitas dalam negara demokratis? Saya kira, di sinilah kita mesti memperhatikan betapa pentingnya untuk tidak menjadikan media sosial sebagai satu-satunya landasan dan sumber untuk memutuskan dan memilih pemimpin bangsa kita. Pada level tertentu, pengandalan pada media sosial pada pemilihan presiden dapat menyesatkan pemilih sehingga tidak dicapai pemimpin negara yang diharapkan berdasarkan alasan-alasan berikut.


Pertama, echo chambers dan selective exposure. Platform media sosial sering beroperasi dalam batas-batas ruang echo yang didorong oleh algoritma, di mana pengguna hanya menerima konten yang selaras dengan keyakinan mereka yang ada. Paparan selektif ini menciptakan lingkungan yang memperkuat bias informasi dan membatasi keragaman perspektif dan informasi yang tersedia untuk pemilih. Ketika pemilih terlibat dengan komunitas yang berpikiran serupa, mereka mungkin secara tidak sadar mengisolasi diri mereka dari pemahaman yang komprehensif tentang isu-isu politik dan kandidat sehingga menyebabkan mereke memiliki persepsi yang terdistorsi.


Kedua, penyebaran informasi yang salah. Penyebaran cepat informasi yang salah di media sosial telah menjadi tantangan penting di bidang politik pemilu. Narasi palsu, headlines yang menyesatkan, dan konten yang dimanipulasi dapat berkembang pesat dan menarik perhatian pemilih yang tidak curiga. Selama proses pemilihan, informasi yang menyesatkan tentang latar belakang kandidat, kebijakan, atau pencapaian dapat secara signifikan mempengaruhi persepsi pemilih. Sifat virus dari konten semacam itu berkontribusi pada iklim ketidakpastian dan informasi yang salah.


Ketiga, polarisasi dan perpecahan. Algoritma media sosial, yang dirancang untuk memaksimalkan keterlibatan, sering menyebabkan polarisasi politik. Kandidat dan kelompok politik memanfaatkan algoritma ini untuk mempromosikan narasi perpecahan dengan cara menyebarkan isu-isu yang berresonansi dengan demografi spesifik. Lingkungan polarisasi yang dihasilkan mencegah diskusi yang bernuansa dan mempromosikan mentalitas “kami vs mereka” di antara pemilih. Dalam iklim seperti itu, keputusan mungkin didasarkan lebih pada reaksi emosional daripada evaluasi komprehensif dari kualifikasi dan kebijakan seorang kandidat.


Keempat, kampanye micro-targeting dan manipulasi. Kampanye semakin menggunakan strategi micro-targeting yang canggih di media sosial untuk menyesuaikan pesan dengan demografi tertentu. Meskipun ini bisa menjadi alat kampanye yang efektif, itu juga membuka pintu untuk manipulasi. Calon presiden dan timnya dapat menyajikan narasi yang disesuaikan yang secara selektif menyoroti aspek-aspek tertentu dari platform mereka dan pada saat yang sama menyembunyikan narasi lain. Strategi ini dapat menciptakan persepsi yang menyimpang tentang para kandidat sehingga mengakibatkan pemilih memiliki pemahaman yang tidak lengkap tentang mereka.


Pada akhirnya, karena media sosial terus memainkan peran yang berpengaruh dalam membentuk opini publik, sangat penting untuk mengenali dan merespon dengan tepat cara-cara media sosial dapat menyesatkan pemilih. Menemukan keseimbangan antara kebebasan berekspresi dan penyebaran informasi yang bertanggung jawab sangat penting untuk melindungi integritas proses demokrasi. Pemilih harus memupuk pola pikir kritis, secara aktif mencari berbagai sumber informasi, dan tetap waspada terhadap jebakan informasi palsu dan manipulasi. Selain itu, pembuat kebijakan dan platform media sosial memiliki tanggung jawab bersama untuk menerapkan langkah-langkah yang mempromosikan transparansi, pemeriksaan fakta, dan penggunaan etis dari alat komunikasi digital di arena pemilihan. Hanya melalui upaya kolektif kita dapat mengurangi risiko yang terkait dengan pengaruh menyesatkan media sosial pada proses pemillihan umum sehingga dapat terpilih pemimpin yang berkualitas dan demokrasi terjaga. 


Asep Muhamad Iqbal, Direktur Centre for Asian Social Science Research (CASSR), FISIP, UIN Bandung


Opini Terbaru