• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Sabtu, 20 April 2024

Opini

Politik Identitas dan Demokrasii

Politik Identitas dan Demokrasii
Politik identitas dan demokrasi. (Ilustrasi/freepik)
Politik identitas dan demokrasi. (Ilustrasi/freepik)

Oleh Amin Mudzakkir 

Sekarang muncul beragam narasi, termasuk di media sosial, yang berisi kekhawatiran akan munculkan kembali politik identitas, khususnya menjelang Pemilu 2024. Meski masih samar, kekhawatiran itu umumnya mengacu pada figur atau kelompok tertentu yang terkait dengan identitas Islam politik. Dalam hal ini trauma terhadap peristiwa aksi 212 membayangi dengan pembingkaian hal itu akan mengancam, setidaknya menantang, demokrasi. 

 

Tulisan singkat ini mau mempertanyakan, sekaligus menjelaskan, apakah kekhawatiran terhadap munculnya kembali politik identitas itu beralasan atau tidak. Untuk mencapai itu, saya akan memaparkan terlebih dahulu konteks kelahiran wacana politik identitas pada tataran global, lalu masuk ke ranah nasional. Dengan ini semoga akhirnya kita bisa mempertimbangkan apakah politik identitas adalah tantangan atau, sebaliknya, bagian yang inheren dari demokrasi. 

 

Istilah politik identitas muncul sejak tahun 1970-an sebagai bagian dari wacana gerakan politik pengakuan. Pemicunya sangat kompleks. Secara sosiologis fenomena ini terkait dengan semakin beragamnya kelompok-kelompok kultural di masyarakat. Tidak hanya gender dan orientasi seksual, keragaman ini juga merujuk pada ekspresi rasial, etnis, dan agama. Kejatuhan komunisme dan berakhirnya Perang Dingin pada tataran global membuat perhatian terhadap isu-isu kultural meningkat, sementara itu sebaliknya isu-isu struktural yang menyangkut ketimpangan kelas justru menghilang secara perlahan. 

 

Dari sudut lain bisa dikatakan politik identitas sesungguhnya adalah bagian dari “gelombang demokratisasi ketiga” yang melanda seluruh dunia di akhir abad ke-20. Target utamanya adalah pengakuan kultural. Beragam kelompok minoritas menuntut pengakuan terhadap identitas mereka di ruang publik. 

 

Sementara itu, globalisasi yang ditandai salah satunya oleh revolusi teknologi informasi membuat skala politik identitas memanjang dan melebar. Lokusnya tidak lagi hanya negara nasional, tetapi sirkulasi informasi di arena transnasional. Hal ini membuat siapa yang berhak mengatur itu berada dalam pertanyaan serius. Masalahnya lagi, globalisasi lewat revolusi teknologi itu bekerja berdasarkan sistem algoritma tertentu yang membuat orang saling terkoneksi dengan mereka yang sama dan, sebaliknya, semakin terputus dengan mereka yang berbeda.

 

Sasaran tembak dari politik identitas adalah kontrol negara terhadap keragaman kultural. Dengan dalih nasionalisme, kontrol ini kadang berjalan secara represif, sehingga kelompok-kelompok minoritas kultural tidak mempunyai kesempatan untuk mengekspresikan identitas di ruang publik. Di Indonesia, identitas kultural itu dibungkus dengan nama “SARA” (suku, agama, ras, antar-golongan) yang tidak boleh dibicarakan secara bebas. Pada masa itu, tetapi ini terus berlanjut hingga sekarang, politik identitas adalah barang haram. 

 

Mengikuti arus di tingkat global, kemunculan dan penguatan politik identitas di Indonesia terjadi sejak akhir 1980-an. Namun, lebih daripada sekadar gejala sosiologis, politik identitas adalah bagian dari konstelasi kekuasaan yang berubah. Saat itu, Presiden Soeharto sedang membutuhkan sekutu dari kelompok Islam politik, padahal sebelumnya mereka disingkirkan. Sejak Pemilu 1992, pemerintahan semakin terlihat “ijo royo-royo”. Sejak itu kelompok Islam politik mendapatkan tempat yang semakin penting di ruang publik. 

 

Sejak itu pula politik identitas di Indonesia identik dengan kemunculan dan penguatan Islam politik. Pandangan ini seolah mendapatkan pembenarannya ketika terjadi berbagai konflik sosial berbasis agama di berbagai daerah mengiringi kejatuhan pemerintahan Orde Baru pada 1998. Perdebatan di parlemen menyangkut amandemen UUD 1945 dan pengesahan sejumlah peraturan daerah berbasis “syariah” menambah kesan bahwa politik identitas adalah sama dengan Islam politik. Kesan ini bertahan hingga berakhirnya era pemerintahan SBY yang memang mempertahankan hubungan baik dengan kelompok Islam politik, termasuk dengan faksi garis kerasnya. 

 

Puncak dari pengasosiasian politik identitas dan Islam politik adalah rangkaian aksi 212 pada tahun 2016. Aksi yang dilatarbelakangi oleh pertarungan menjelang Pilkada DKI Jakarta 2017 itu sedemikian menghentak karena memperlihatkan, setidaknya secara visual, besarnya kekuatan Islam politik. Terlebih dengan adanya figur seperti Habib Rizieq yang dengan retorikanya mampu memobilisasi massa ratusan ribu orang di Lapangan Monas Jakarta. Dari sini lahir berbagai analisis yang menghubungkan aksi 212 dan populisme serta tantangannya, bahkan ancamannya, bagi demokrasi.

 

Akan tetapi, setelah rangkaian aksi 212 terdapat dua momen yang memperlihatkan rapuhnya fondasi struktural kekuatan Islam politik. Momen pertama adalah terbitnya UU. No. 16/2017 tentang Ormas yang menggulung HTI dan kemudian FPI. Momen kedua adalah perubahan konstelasi politik pasca-Pemilu 2019 ketika Prabowo Subianto justru direkrut untuk terlibat dalam pemerintahan bersama dengan Presiden Jokowi. Hal yang terakhir ini berada di luar imajinasi politik formal sebagaimana tertulis dalam literatur kesarjanaan Barat. 

 

Dua momen tersebut memperlihatkan setidaknya dua hal. Pertama, negara ternyata masih memegang kontrol kuat terhadap dinamika pewacanaan politik identitas. Bahkan dapat dikatakan kekuatan terpenting dalam pewacanaan politik identitas tetap berada di tangan kalangan elite pemerintah dan parlemen serta, tentu saja, berbagai koneksinya di kalangan pengusaha dan tokoh-tokoh masyarakat. Kedua, rekrutmen Prabowo Subianto--yang sebelumnya berperan sebagai oposan utama Presiden Jokowi periode pertama (2014-2019)--ke dalam pemerintahan pasca-2019 menggembosi kekuatan Islam politik secara signifikan.

 

Penulis adalah Salah Seorang Peneliti BRIN


Opini Terbaru