Rudi Sirojudin Abas
Kontributor
Langkah pemerintah mencabut Izin Usaha Pertambangan (IUP) terhadap beberapa badan usaha pengelola pertambangan di kawasan Raja Ampat patut diapresiasi. Pasalnya, pengelolaan tambang yang minim pengawasan dikhawatirkan akan menghilangkan keindahan alam kawasan Raja Ampat yang dikenal sangat menakjubkan itu.
Sebagaimana diketahui, kawasan Raja Ampat merupakan destinasi wisata yang terdiri dari deretan pulau-pulau kecil yang tersebar di sekitaran lautan dan memiliki wisata bahari yang masih sangat alami dan belum terkontaminasi oleh limbah. Oleh karena itu, pencabutan IUP itu sangat tepat dilakukan mengingat keindahan alam kawasan wisata Raja Ampat harus tetap menjadi prioritas.
Dengan beragam pesatnya pembangunan di negeri ini, misalnya pengadaan jalan tol, industri, pusat ekonomi, reklamasi, dan kawasan perumahan elit, kita sering dihadapkan pada persoalan pembebasan lahan untuk kepentingan hal itu. Begitupun yang terjadi pada kawasan Raja Ampat, dalih pembangunan menjadi salah satu alasan pertambangan itu dilakukan.
Dalam hal ini, seharusnya semua pihak cermat pada dampak yang akan terjadi. Harus diakui juga dampak terbesar dari pertambangan tanpa batas yakni akan hilangnya ekosistem lingkungan setempat. Jika hal ini dibiarkan terus maka selain akan terjadi kerusakan lingkungan, destinasi wisata yang menjadi pusat unggulan pun lambat laun akan berkurang. Oleh karena itu, jika tidak ada penanganan serius terhadap hal itu, mungkin saja semuanya akan habis. Hal ini jelas akan merugikan semua pihak.
Fenomena semacam ini memang menjadi hal yang ironis bagi negara yang memfokuskan diri pada pembangunan dan pemerataan wilayah. Tetapi yang harus diingat, projek yang mengarah pada pembangunan jangan sampai mengakibatkan hilangnya destinasi, kawasan hutan lindung, konservatori, hingga kawasan sejenis cagar budaya misalnya. Pembangunan dan pemerataan wilayah memang perlu dilakukan, akan tetapi jangan sampai hal itu membuat ekosistem lingkungan dan budaya yang sudah ada menjadi porak poranda.
Memang, pemerintah dari masa ke masa terus melakukan upaya perlindungan terhadap keberadaan alam lingkungan terutama hutan lindung dan cagar budaya. Namun ketika kurangnya pengawasan di lapangan, upaya pemerintah tersebut hanya menjadi peraturan yang sifatnya stagnan (beku). Kondisi ini kemudian diperparah dengan tidak adanya sinergitas pemerintah pusat dan daerah dalam menangani hal itu. Padahal seharusnya pemerintah di semua tingkatan semestinya harus mampu menjadi garda terdepan dalam mengawasi sekaligus menjamin lingkungan yang masuk kategori hutan lindung maupun cagar budaya, eksistensinya tetap terjaga.
Sikap yang mesti kita pegang sebagai masyarakat yang hidup dalam dunia modern terkait dengan kelestarian alam yakni harus mampu mencontoh sikap para leluhur kita terdahulu dalam memandang ekosistem alam lingkungan. Bagi mereka alam adalah segala-galanya. Alam takambang jadi guru, demikian pepatang Minang untuk memastikan kelestarian alam tetap terjaga.
Para pendahulu kita juga memandang bahwa manusia merupakan pengejawantahan dari alam (mikrokosmos). Oleh sebab itulah tabu bagi mereka untuk mengeksploitasi alam secara besar-besaran. Jika pun harus memanfaatkan alam untuk kebutuhan kehidupan sehari-hari, namun disatu sisi, pelestarian, pengadaan sumber alam baru tetap dilaksanakan. Selain itu, pandangan akan alam yang bersifat sakral menjadikan sikap leluhur kita terhadap alam sangat memuliakannya. Dari sinilah kemudian mucul pemahaman akan konsep hutan larangan dan kabuyutan.
Konsep hutan larangan maupun kabuyutan yang kita kenal di beberapa tempat pada dasarnya dilakukan untuk menjamin keberlangsungan alam. Namun di zaman modern ini, banyak orang melupakan hal itu. Salah satu pemicunya karena kurangnya kesadaran akan pemahaman hal itu, sehingga banyak orang yang termakan isu negatif, misalnya dengan dalih bid'ah tahayul dan churafat. Penyebabnya sederhana, karena beragam ritual alam selalu dihadapkan pada persoalan agama. Padahal jika hal itu dikaji secara lebih mendalam, persoalannya tidak sesederhana itu.
Kembali ke persoalan tambang, kurangnya pemahaman masyarakat akan pentingnya pemaknaan ekosistem dan sakralitas alam disinyalir menjadi penyebab utama terjadinya eksploitasi alam secara besar-besaran. Selain itu alasan ekonomi berbau kapitalis juga menjadi pemicu eksploitasi besar-besaran itu. Berangkat dari kondisi ini, hendaknya kita semua terutama pemerintah sebagai pemegang kebijakan memikirkan hal ini agar jangan sampai kehilangan arah.
Terakhir, sebagai bagian upaya memperbaiki keadaan sehingga eksploitasi alam tidak terus berlanjut, hendaknya pemerintah melakukan komunikasi dengan berbagai pihak terutama dengan pemerhati alam, budayawan, maupun para agamawan. Komunikasi sangat penting untuk dilakukan, paling tidak untuk meminimalisir dampak terburuk yang akan terjadi. Dari mereka kita akan diingatkan lingkungan mana yang kiranya bisa dimanfaatkan dan yang tetap harus dijaga kelestariannya. Dari mereka juga kita akan diberikan pemahaman mana lingkungan yang bersifat sakral maupun profan.
Rudi Sirojudin Abas, salah seorang peneliti kelahiran Garut
Terpopuler
1
Haul ke-96 Eyang Santri, Ulama dan Negarawan dari Trah Mangkunegaran, Digelar di Puncak Gunung Salak
2
Doa Perjalanan Pulang Usai Menunaikan Ibadah Haji
3
Dari Hafal Alfiyah hingga Mendirikan Pesantren Cipasung, Keteladanan Abah Ruhiat Diharapkan Jadi Inspirasi
4
Inilah Daftar Kandidat sekaligus Nomor Urut Calon Ketua PKC dan Kopri PMII Jawa Barat Masa Khidmat 2025-2027
5
Jelang Konkoorcab XXI, PMII Jabar Gelar Pengambilan Nomor Urut hingga Pemaparan Visi-Misi Kandidat
6
Innalilahi, Pengasuh Pesantren Al-Huda Garut Hj Euis Paridah Meninggal Dunia
Terkini
Lihat Semua