• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Senin, 29 April 2024

Ngalogat

Pilkada dan Secangkir Kopi

Pilkada dan Secangkir Kopi
Pilkada dan secangkir kopi. (Desain: M Iqbal)
Pilkada dan secangkir kopi. (Desain: M Iqbal)

Oleh Iin Rohimin
Tetangga di kampung saya, seorang penarik becak, pada suatu malam menjelang pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2020, tiba-tiba datang ke rumah dengan tergopoh-gopoh. Setelah saya suguhkan sepiring gorengan ubi dia bercerita, bahwa dirinya sangat bingung menghadapi Pilkada ini. 
“Saya bingung harus nyoblos siapa. Calon bupati  A tidak kenal, Cabup B tidak tahu,  para calon ini tidak saya kenal. Waduh, bagaimana ini kang?” ujarnya sambil menikmati sajian ubi goreng.

Mendapat pertanyaan itu, saya juga sebenarnya lebih bingung lagi bagaimana menjawabnya. “Ngomong-ngomong, itu bawa apa di kantong kresek?” tanya saya sambil mencoba mengalihkan perhatian dan menunda waktu barang sejenak untuk mencari jawaban atas pertanyaannya tadi. 

“Ooh iya, ini saya bawa kopi Kang. Tadi siang pas narik becak, ada calon bupati yang bagi-bagi sembako. Salah satu isinya ya kopi ini. Sengaja saya bawa ke sini biar sekalian diseduh. Saya ingin mencoba rasanya seperti apa,” ujarnya sambil menyerahkan serenteng kopi instan dengan merk yang belum terlalu terkenal. 

Lalu saya seduhkan secangkir kopi. Tidak berapa lama setelah kopi siap diminum, ia mulai menyeruput perlahan sambil mencoba merasakan sensasi kopi itu. Tiba-tiba dia tersedak dan terbatuk-batuk. 

“Waduh kopi apa ini? Kok rasanya aneh begini. Tidak enak, bikin batuk. Sudah, Kang, ganti saja kopi hitam yang biasa kita minum itu,” katanya sambil meminum air putih untuk menetralisir tenggorokannya.

Sambil menyeduh kopi hitam dan menyuguhkannya, saya bilang, “Sebenarnya Pilkada itu ibarat secangkir kopi ini. Sampeyan sebenarnya sudah memiliki selera dan kesukaan sendiri, kopi apa yang biasa dan selalu diminum setiap hari. Soal selera, itu bukan soal harga, kemasan atau tampilan. Walaupun harganya mahal, tampilannya bagus, tapi karena sampeyan nggak senang, ya bikin tersedak. Makanya sampean lebih memilih kopi hitam racikan itu.”

Entah dari mana, tiba-tiba saya dapat ide menyamakan Pilkada  dengan secangkir kopi. Tapi yah daripada kelihatan ngarang di hadapan dia, lebih baik saya coba sambung-sambungkan saja, mudah-mudahan bisa nyambung dan bisa menjawab kebingungan tamu saya ini. 

Diapun menanggapi, ”Iya nih nggak enak. Enakan juga ini kopi kesukaan saya sendiri. Meskipun murah, tapi mantap tarikannya. Tapi saya kan ingin juga nyoba kopi yang dikasih calon bupati itu,” ujarnya. 

Saya bilang, “Itulah, Kang, kelemahan kita. Kadang kita suka tergoda dengan hal-hal baru. Tergoda dengan iklan dan propaganda yang menjual kemasan semata. Sama dengan Pilkada ini, dan para Cabup-Cawabup itu, pasti sampean sudah punya pilihan dalam hati, siapa nanti yang akan dipilih. Tapi karena sampeyan ingin tahu yang lain, jadinya bingung sendiri.”

Tetangga saya itu lantas berujar, “Wah baiklah kalau begitu. Saya sudah tahu jawabannya, dan sekarang saya jadi mantap deh mau milih siapa nanti. Terima kasih ya, Kang, nasehatnya. Sampeyan memang hebat, hanya sebentar saja bisa menyakinkan saya. Padahal saya tanya kemana-mana, tapi nggak ada yang bisa jawab secepat ini.”

Setelah sekian lama ngobrol akhirnya dia pamit, “Saya pamit dulu, sudah malam. Maaf mengganggu. Assalamu’alaikum.” Ia berdiri menjabat tangan saya dan berlalu pergi.
“Waalaikum salam,” jawab saya sambil bergumam lirih, “Syukurlah, semoga dia puas dan ada manfaatnya.”

Setelah kepergian tetangga tadi, saya pun merenung sendiri. Apa iya filosofi secangkir kopi bisa menjadi gambaran pelaksanaan Pilkada?  Sebuah pesta demokrasi rakyat Indonesia dan jalur konstitusional untuk menata demokrasi, politik dan pemerintahan daerah di negeri ini. Tetapi setelah saya berpikir lebih lama, ahirnya saya temukan beberapa korelasi yang bisa mempertemukan Pilkada  dengan secangkir kopi.

Kopi, bagi orang yang tidak suka dan merasakan dampak negatif dari minuman itu adalah barang yang sangat dibenci, dengan alasan mengganggu kesehatan. Pilkada juga demikian, bagi penganut paham Golput, Pilkada sangat dibenci dengan berbagai alasan. Di antaranya, para calon kepala daerah yang tidak berkualitas, politik kotor, kecurangan, prilaku elit parpol yang korup, dan segudang alasan lainnya.

Tetapi bagi yang lainnya, kopi sangat digemari dan bahkan banyak orang yang suka terhadap minuman  yang katanya mengandung banyak manfaat ini. Dalam Pilkada, nampaknya juga terjadi hal yang demikian. Banyak hal positif yang terjadi. Banyak pemimpin daerah yang dihasilkan oleh Pilkada dengan kepemimpinan yang berkualitas dan mampu membawa kemajuan daerahnya, bahkan sangat dicintai oleh rakyatnya.

Kopi juga bisa menimbulkan kecanduan bagi penggemarnya, demikian juga dengan Pilkada. Betapa banyak orang yang kecanduan politik sehingga berkali-kali mencalonkan diri menjadi calon bupati dan wakil bupati. Kalah dalam Pilkada 5 tahun lalu, maju lagi di Pilkada berikutnya. Menang dan jadi kepala daerah  periode lalu, maju lagi dan lain sebagainya. 

Salah satu efek negatif  kopi adalah membuat orang asyik dengan dirinya sendiri dan lupa dengan orang lain. Demikian juga Pilkada. Banyak orang yang berhasil duduk menjadi kepala daerah, seringkali lupa dengan konstituennya. Asyik dengan dirinya sendiri, lupa dengan tugas dan fungsinya, lupa dengan rakyat, bahkan terjerat kasus korupsi karena asyik menumpuk kekayaan untuk kepentingan politik, golongan dan dirinya sendiri.

Secangkir kopi juga tentu sangat berbeda jauh dengan Pilkada, bahkan sangat jauh perbedaannya. Satu bungkus kopi diproses sejak bahan mentah hinga menjadi produk yang siap jual, dengan berbagai proses yang terkontrol dan kualitas mutu yang terjamin. Pilkada  nampaknya tidak demikian. Selama pelaksanaan Pilkada di negeri ini, proses, tahapan dan pelaksanaan Pilkada masih jauh dari semua itu, kecurangan terjadi dimana-mana. Politik uang menjadi fenomena yang sangat luar biasa, kampanye hitam menjadi pilihan untuk menyerang lawan, pendidikan politik bagi rakyat diabaikan, intimidasi dan keterlibatan birokrasi juga terus terjadi.

Jika  pembuatan satu bungkus kopi saja terjadi kelalaian oleh perusahaan pembuatnya yang mengakibatkan keracunan pada seorang konsumen misalnya, maka sudah dapat dipastikan perusahaan itu akan dituntut dan dijerat dengan pasal hukum yang sangat berat dengan tuduhan kelalaian. Penanggung jawab produksi akan dikenakan sanksi, pengawas produksi akan dievaluasi dan pekerja akan diberhentikan. 

Tapi anehnya, kelalaian yang dilakukan oleh penyelenggara Pilkada selama ini, seolah biasa-biasa saja. Adem-adem saja. Tidak ada tuntutan, tidak ada sanksi pidana yang dijatuhkan. Kalaupun ada, hanya sekedar sanksi administratif semata. Meskipun produk Pilkada berupa kepala daerah yang menjabat selama lima tahun di sebuah provinsi, kabupaten atau kota, pada akhirnya membahayakan rakyat. Berbuat korup dan membawa keterpurukan sebuah daerah. Penyelenggara Pilkada tetap tidak bisa dituntut. Bahkan partai pengusungnya pun bisa lepas dari tanggung jawab. Buktinya, ketika ada kepala daerah terjerat kasus korupsi, maka dengan mudah partai pengusung cuci tangan dengan memecatnya sebagai kader partai tersebut.

Pendek kata, produk kopi sangat terjamin kualitasnya, sedangkan produk Pilkada masih banyak penyelenggaraannya di daerah-daerah yang jauh dari kualitas yang diharapkan seluruh rakyat. Pemilu Jurdil, bermartabat dan berkualitas, entah kapan akan mampu terwujud di seluruh daerah di negeri ini. 

Sementara bagi warga Nandlatul Ulama, sebenarnya soal Pilkada ini dianggap enteng-enteng saja. Tidak menghilangkan esensi, terus berjuang menegakkan demokrasi, namun ketika terjadi hal-hal yang di luar ekspektasi, kita tidak pernah mati gaya dan frustasi. Ada slogan yang lumrah digunakan generasi muda NU, 

“Kuat ya dihadapi, tidak kuat ya ditinggal ngopi.” Sedemikian santainya kita menghadapi momen politik ini. 

“Gitu aja kok repot,” kata Gus Dur sih. 

Kopi saya tinggal satu tegukan lagi, tapi kedua mata ini malah mengantuk. Ini juga yang aneh dari kopi, katanya bisa membuat tahan melek, tapi malam ini tak berlaku buat saya. Saya pun beranjak ke tempat tidur. Menjemput mimpi indah di malam Pilkada.

Penulis Adalah Pewarta NU Online Jabar, tinggal di Indramayu
 


Editor:

Ngalogat Terbaru