NU dan Prinsip al-Muhafazhah 'alal Qadimish Shalih wal Akhdzu bil Jadidil Ashlah
Senin, 7 April 2025 | 07:16 WIB
Rudi Sirojudin Abas
Kontributor
Realita kehidupan terus berkembang sesuai dengan kemajuan jaman. Kondisi demikian kemudian mengakibatkan teks dalam kitab suci secara perlahan mengalami kontekstualisasi, dalam artian teks diadaptasikan dengan kondisi real di lapangan. Sebuah teks dalam kitab suci ditujukan bukan hanya sebagai respon atas kondisi atau permasalahan sosio-kultural pada masa teks itu diturunkan, melainkan juga sebagai solusi atas permasalahan yang akan timbul jauh setelah teks itu diturunkan.
Islam sebagai agama universal tentu menjunjung tinggi kontekstualisasi kitab suci. Tektualisasi penting dilakukan untuk mengungkap makna, terutama makna terdalam yang tersirat dalam sebuah teks. Sehingga, dengan kontekstualisasi, setiap permasalah yang tidak ditemukan di jamannya akan tetap mendapatkan jawabannya.
Berangkat dari kondisi demikian, kemudian lahirlah sebuah hukum-hasil ijtihad para sahabat Nabi, generasi Tabiin hingga para ulama-dalam Islam yang mampu menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang tidak ada di era risalah kenabian, yakni Ijma (konsesus) dan Qiyas (analogi). Ijma dan Qiyas lahir berdasarkan interpretasi teks kitab suci secara kontekstual, apik, dan komprehensif. Dalam keterikatan hukum, Ijma dan Qiyas pun tetap mempunyai kedudukan yang sama pentingnya dengan Al-Qur'an dan Hadis.
Dalam perkembangannya, keempat sumber hukum dalam Islam tersebut kemudian bersinggungan dengan praktek tradisi keagamaan lain, terutama sejak Islam mulai tersebar ke seluruh dunia, termasuk Indonesia.
Khusus di Indonesia, Islam disebarkan dengan tidak serta merta menafikan identitas agama lain. Islam mampu membumi dan mudah diterima oleh masyarakat berkat pendekatan yang dilakukan penyebarnya yang luwes, akomodatif, dan toleran. Dengan strategi demikian, Islam pun kemudian dapat dianut oleh kebanyakan masyarakat atas dasar kerelaannya, bukan atas dasar keterpaksaannya.
Salah satu penyebab Islam mudah diterima oleh masyarakat Indonesia adalah karena metode dakwah penyebar Islam yang toleran dengan berpegang pada prinsip al-Muhafazhah 'alal Qadimish Shalih wal Akhdu bil Jadidil Ashlah (memelihara tradisi lama yang baik dan mengambil kebiasaan baru yang lebih baik). Prinsip ini kemudian dijadikan pegangan oleh Nahdlatul Ulama (NU) untuk menyikapi berbagai persoalan keagamaan dan kemasyarakatan.
Hasil dari pendekatan ini kemudian lahirlah corak kehidupan beragama pada masyarakat Indonesia yang khas dengan berlandaskan pada sikap tawasuth (moderat) tasamuh (toleran), tawazun (seimbang), dan i'tidal (adil). Karena adanya prinsip al-Muhafazhah 'alal Qadimish Shalih wal Akhdu bil Jadidil Ashlah yang didukung dengan keempat sikap (tawasuth, tasamuh, tawazun, i'tidal), maka lahirlah karakteristik keagamaan masyarakat Indonesia yang berbeda dengan yang lain. Corak keberagamaan Indonesia yang khas juga lahir karena adanya proses asimilasi dan akulturasi budaya sehingga corak tradisi keberagamaannya sedikit sinkretis.
Prinsip al-Muhafazhah 'alal Qadimish Shalih wal Akhdu bil Jadidil Ashlah yang dipegang NU menjadi semacam rambu untuk bermuhasabah dalam kaitannya dengan perjalanan organisasi. Dengan prinsip ini, ketika selesai bertindak, NU selalu berpikir bagaimana cara memperbaiki kesalahan, menyempurnakan kekurangan, dan mengembangkan capaian.
Prinsip al-Muhafazhah 'alal Qadimish Shalih wal Akhdu bil Jadidil Ashlah juga selalu dipegang NU untuk mengadapi dan merespon tantangan jaman yang semakin komplek. Dengan berpegang teguh pada prinsip ini, dalam memandang modernisasi misalnya, NU sangat adaftif dan responsif selagi hal yang ambilnya itu bermanfaat.
Salah satu sikap yang ditempuh NU yang dalam perjalanannya selalu menyertakan prinsip al-Muhafazhah 'alal Qadimish Shalih wal Akhdu bil Jadidil Ashlah, selain menerima corak pendidikan modern, misalnya yaitu terkait dengan sikap pluralisme dalam memandang kenyataan keragaman budaya dan agama yang ada, yang oleh sebagian Islam, terutama oleh Islam fundamental, pluralisme ditolak.
Prinsip al-Muhafazhah 'alal Qadimish Shalih wal Akhdu bil Jadidil Ashlah kemudian dijadikan barometer pijakan NU dalam bertindak dan bersikap. Dengan prinsip ini, maka NU seolah akan selalu meracik kearifan masa lalu untuk kemudian ditemukan relevansinya terhadap permasalah kini dan mendatang. Selama prinsip ini dipegang terus, maka hingga kini dan yang akan datang tampaknya NU akan terus ikut serta menjawab persoalan yang ada. Inilah sebetulnya keyakinan kita bersama.
Rudi Sirojudin Abas, salah seorang peneliti kelahiran Garut yang juga sebagai instruktur Pendidikan Dasar-Pendidikan Kader Penggerak Nahdlatul Ulama (PD-PKPNU)
Terpopuler
1
Nekat Berhaji Tanpa Visa Resmi, WNI Terancam Dideportasi dan Dilarang Masuk Arab Saudi 10 Tahun
2
KH Aceng Aam Sebut Anak Terbaik Adalah yang Melebihi Orang Tuanya dalam Kebaikan
3
Shalawat Haji Karangan KH M Nuh Addawami Mustasyar PBNU Asal Garut
4
Peringati Harlah ke-91, GP Ansor Kertasemaya Gelar Tasyakuran dan Halal Bihalal
5
PCNU Cianjur Bersama Kemenag dan BPN Gelar Sosialisasi Sertifikasi Tanah Wakaf
6
Penerima Beasiswa Pascasarjana Pergunu Depok Jalani Ujian Tesis di Universitas KH Abdul Chalim Mojokerto
Terkini
Lihat Semua