Opini

Menyoal Karakteristik Masyarakat Islam Indonesia (2): Hasil Pendekatan Sufistik Wali Songo 

Sabtu, 5 April 2025 | 08:00 WIB

Menyoal Karakteristik Masyarakat Islam Indonesia (2): Hasil Pendekatan Sufistik Wali Songo 

Menyoal Karakteristik Masyarakat Islam Indonesia (2): Hasil Pendekatan Sufistik Wali Songo. (Ilustrasi: NU Online Jabar/freepik).

Mencermati karakteristik umat Islam di Indonesia sangat menarik. Jika pada tulisan pertama, saya menyebut karakteristik umat Islam Indonesia dipengaruhi oleh sosio-kultural masyarakat Indonesia itu sendiri. Kali ini saya memandang bahwa karakteristik umat Islam Indonesia dipengaruhi juga oleh persinggungan dua tradisi keagamaan yang ada. Pertama, tradisi keagamaan masyarakat Indonesia pra-Islam. Kedua, tradisi atau cara beragama umat Islam pendatang. 


Persinggungan dua tradisi keagamaan yang dimaksud dapat kita saksikan, misalnya pada kegiatan Nyadran (ziarah kubur) menjelang atau selepas bulan Ramadan, likuran malam tarawih, halal bihalal Lebaran, upacara selametan, tradisi mudik, termasuk juga tradisi Grebeg Syawal (lebaran setelah enam hari puasa Syawal) yang masih dilakukan oleh masyarakat Jawa. Tradisi ini nyaris tidak ditemukan di negara-negara lain, termasuk di negara Islam sekalipun. 


Lalu apa yang mendasari tradisi tersebut begitu menggejala pada masyarakat Islam Indonesia yang kemudian menjadi satu identitas yang sulit untuk ditanggalkan? Dengan begitu menguatnya tradisi tersebut, seolah alam bawah sadar masyarakat Islam Indonesia terus tergerak untuk selalu melakukannya. 


Faktor utama menguatnya tradisi masyarakat Islam Indonesia adalah karena strategi dakwah para penyebar Islam (Wali Songo) yang akomodatif terhadap tradisi lokal. 


Misalnya, masyarakat Indonesia jaman Hindu-Budha mengenal upacara keagamaan Sradha, yakni upacara meruwat arwah seseorang setelah dua belas tahun meninggal. Dari sinilah kemudian muncul tradisi Nyadran, yaitu upacara mengirim doa kepada arwah orang meninggal setiap satu tahun sekali. 


Dua persinggungan dua agama dalam praktik Nyadran yakni Sradha dan Haul. Haul merupakan ajaran Islam yang sumbernya berasal dari sikap Nabi SAW ketika menziarahi para syuhada Uhud setiap satu tahun selepas shalat Idulfitri. Itulah kemudian praktik Sradha yang awalnya dilakukan setiap dua belas tahun sekali, oleh Wali Songo diubah menjadi satu tahun sekali. 


Begitupun bagi tradisi-tradisi lain, terbentuk dari proses asimilasi dan sinkretisme di atara dua agama yang ada. Dengan asimilasi dan sinkretisme sebagaimana Mulder (1992) sebutkan, dua tradisi dileburkan, perbedaan-perbedaannya dihilangkan, yang dimunculkan adalah harmoni sehingga yang tampak adalah tradisi baru meskipun secara empiris ajaran dari dua agama masing-masing itu masih tetap ada. 


Sifat akomodatif para Wali Songo dalam memasukan ajaran Islam terhadap ajaran lokal dipengaruhi juga oleh pendekatan mereka yang sufistik yang terkenal luwes dan terbuka dalam memandang ajaran lain. Sejalan dengan hal ini  Agus Sunyoto (2012) menyebut, pendekatan sufistik yang dilakukan Wali Songo-dalam hal penyebaran Islam mudah diterima-lebih relevan jika dibandingkan dengan pendekatan yang dipakai oleh para saudagar dan ahli fikih yang mana dalam sifat ajarannya lebih kaku dan rigid. 


Lantas apakah pendekatan sufistik yang dipakai para Wali Songo juga berlaku bagi seluruh masyarakat Indonesia tanpa membedakan status menggingat pada waktu itu ada dua status sosial: masyarakat biasa (petani/buruh/pedagang, dan sejenisnya) serta masyarakat keraton (kerajaan)?


Pendekatan sufistik juga berlaku bagi terbentuknya orang-orang kerajaan yang kemudian menerima Islam sebagai agama baru. Sebagai buktinya yakni adanya naskah-naskah sufistik yang di dalamnya terdapat kisah-kisah karomah (sakti) para Wali Songo dalam bentuk suluk, hikayat, syair, tembang, serat, dan kidung.  Keberadaan para Wali Songo yang mempunyai berbagai karomah itu kemudian menggantikan peran-peran anasir ketuhanan para dewa-dewa yang dipercayai oleh orang-orang kerajaan.


Tampaknya gerakan dakwah Wali Songo yang adaptif dan akomodatif itu tiada lain dipengaruhi oleh prinsip dakwah Islam yang selama itu dipegang oleh Wali Songo, yakni prinsip "al-muhafazhah 'alal qadimish shalih wal akhdu bil jadidil ashlah," dan "maw'izhatul hasanah wa mujadalah billati hiya ahsan


Wallahu'alam 


Referensi: Wali Songo: Sejarah yang Disingkirkan, Agus Sunyoto (2012) & Poros Kebudayaan Jawa, Sutiyono (2013)


Rudi Sirojudin Abas, salah seorang peneliti kelahiran Garut