• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Sabtu, 4 Mei 2024

Ngalogat

Mencintai Indonesia, Merindukan Bangkalan dan Toleransi Puja Mandala

Mencintai Indonesia, Merindukan Bangkalan dan Toleransi Puja Mandala
Rumah peninggalan Kiai Fadli Badjuri di Bangkalan. (Foto: NU Online Jabar/Nasihin)
Rumah peninggalan Kiai Fadli Badjuri di Bangkalan. (Foto: NU Online Jabar/Nasihin)

Sekilas Perjalanan awal Desember.
"Menemukan dan Ditemukan"

 

Jum'at, 1 Desember, pukul 10:10 WIB, Kereta meluncur dari stasiun Kiaracondong Bandung menuju Gubeng Surabaya. Hampir tengah malam kereta sampai di stasiun Gubeng.

 

Perjalanan yang hampir memakan waktu empat belas jam ini kami akhiri dengan nongkrong di warung kopi setelah keluar dari stasiun. Dari Bandung kami berangkat bersama dua rombongan kecil. Saya, Eri dan Ranyay. Sementara Kang Fatah, Pak Isman dan Teh Lely dari Bandung singgah dulu ke Demak, dan akan menyusul ketika kami sampai di Ampel.

 

Sekitar pukul 02.00 dini ari, kami sampai di pelataran Masjid Ampel sebrang Makam Kiai Hasan Gipo. Sehabis subuh saya berkeliling di area Masjid, bertemu pedagang, peziarah dan mengamati setiap sudut tempat yang yang bersejarah ini. 

 

Ampel adalah tempat yang tak pernah sepi. Tempat di mana  Raden Rohmat atau Sunan Ampel disemayamkan. Beliau adalah Sesepuh dari Walisongo, Guru dari para wali dan ulama saat itu.

 

Sekitar pukul delapan pagi, saya berkumpul dengan para musafir atau lebih tepatnya para Pejalan Spiritual. Mereka bercerita tentang semua perjalanannya: ada yang sudah melakukan laku dari tahun 1985, ada yang berjalan dari usia 8 tahun, ada pula yang sudah keliling Indonesia dan banyak lagi cerita. Alhamdulillah mereka mau bercerita tentang perjalanannya, bahkan mau berfoto bersama dengan kami.

 

Saya masih ingat diantara nama mereka, Kang Rahmat dan Mas Alam, mungkin ketika catatan ini ditulis mereka masih ada di Ampel atau mungkin juga sudah pindah ke tempat lain, saya bertanya pada mereka.

 

"Ada tempat tujuankah ketika perjalanan ini dilakukan?"

 

“Jika kita menentukan tujuan akan bosan, dan setelah sampai akan kembali. Jadi kami tak pernah menentukan tujuan, jalan saja sesuai petunjuk atau hati,” jawabnya.

 

Sebelum berpisah saya minta didoakan mereka, saya yakin mereka adalah bagian orang yang dipilih untuk menempuh jalan hidup yang tak biasa ini. Tapi itulah hidup, banyak hal yang tak kita ketahui. 

 

Setelah semua rombongan berkumpul, kami meluncur menuju Madura, menghirup udara Madura dan merasakan teriknya matahari di Bangkalan. Tujuan pertama yang kami singgahi adalah kediaman Buya Abdullah Mas'ud. Beliau adalah imam di Masjid Mertajasah, tempat Syaikhona Kholil disemayamkan beserta keluarganya.

 

Buya Mas'ud menerima kami dengan ramah, berpakaian sederhana dan sering bercanda, rumah beliau berada di lingkungan pesantren yang beliau asuh, sesudah beberapa lama mengobrol beliau mengajak ziarah ke Syaikhona Kholil di Mertajasah. Saya berkesempatan menjadi sopir beliau.

 

Mesjid Mertajasah sudah penuh oleh peziarah, padahal waktu itu masih sore. Banyak Bus, kendaraan pribadi dan ada juga yang memakai mobil pickup yang terparkir. Alunan Tahlil, Sholawat dan berbagai macam bacaan silih berganti di area Makbaroh. Suasana yang selalu saya rindukan dan membuat hati tenang.

 

Selepas ziarah, kami melanjutkan silaturahim ke daerah keramat, menuju kediaman Kiai Thobari, Pesantren Keramat. Di Pesantren ini terdapat Langgar tempat Syaikhona Kholil kecil mengaji. Rumah yang ditempati Kiai Thobari adalah rumah peninggalan Nyai Maryam Kakak Syaikhona Kholil.

 

Kiai Thobari bercerita, Syaikhona ketika kecil selain rajin belajar sering pula membantu Nyai Maryam berdagang sereh dan terkadang memetik kelapa. Beliau hidup sangat sederhana, Beliau dititipkan di Nyai Maryam oleh ayahnya Kiai Abdullatif, dikarenakan Kiai Abdullatif sering meninggalkan rumah untuk berdakwah ke desa dan perkampungan. Itu mungkin sekilas cerita yang saya simak dari Kiai Thobari.

 

Kiai Thobari beristrikan Nyai Yeti, asli kelahiran Garut, tepatnya masih keluarga dari Pesantren Fauzan, Bu Nyai adalah sepupu dari Kang Fatah, atau cucu dari Kiai Fadli Badjuri pendiri Majelis Cakrabuana Bandung yang masih terikat keluarga dengan Syaikhona Kholil. 

 

Menjelang malam kami melanjutkan Silaturahim ke kediaman sekaligus Basecamp Lesbumi Bangkalan. Kebetulan ketika kami sampai di kediaman Lora Imam Gozali, di sana baru beres rutinan Ratib Syaikhona Kholil. 

 

Di bagian depan samping parkiran berdiri Kafe Warung Tumbuh, dibelakangnya berdiri beberapa joglo berasitektur Jawa Timur dengan ukiran yang khas. Tempat yang indah dan nyaman. Dari obrolan singkat malam itu, Lora Imam mengundang kami hadir diacara Lesbumi Bangkalan di tempat beliau ini, "Harus hadir nanti tanggal 10 Desember, karena banyak Seniman Madura akan tampil,” katanya.

 

Setelah kami berembug akhirnya diputuskan akan hadir, walaupun jadwal di Bali yang awalnya hanya beberapa hari menjadi tujuh hari. Berkah dari perubahan jadwal itu, akhirnya saya banyak mendapatkan pengalaman dan informasi yang saya dapatkan selama perjalanan Madura dan Bali. Sebagian pengalaman itu sudah saya tulis dan diberitakan di NU Online Jabar. 

 

Malam itu setelah bersilaturahim di Kepang, Kemayoran Kediaman Lora Imam yang juga beliau adalah keturunan dari Syaikhona Kholil, kami meluncur kembali ke Stasion Gebang untuk melanjutkan perjalanan ke Bali, melewati Banyuwangi, Pelabuhan Ketapang dan Gilimanuk sebelum di jemput Pak Umar menuju daerah Bedugul Bali. 

 

Di Bali, kami banyak mengunjungi tempat-tempat yang indah: Air terjun Gitgit, Munduk, Telaga Buyan, Beratan, Puja Mandala, Kampung Muslim Candi Kuning, Komunitas Sunda di Denpasar. Berdialog bersama Mas Sabar Ansor Tabanan, Mbak Dewi Fatayat Baturiti, Bli Nyoman, Putu Puspita, Billy.

 

Bercengkrama bersama Imam dan jamaah Mesjid Ibnu Batutah, Benoa. Kemudian melihat pohon-pohon Pusaka (endemik) yang ditanam langsung Syaikh Issa Sekjen Liga Muslim Dunia didampingi Kiai Jadul Maula dari Lesbumi PBNU dan disaksikan para Pemuka Agama lainnya, pohon di tanam di lima tempat ibadah pada acara R20 yang lalu di Komplek Puja Mandala.

 

Keindahan Alam, Budaya, Toleransi adalah harta kekayaan yang tak ternilai, sepatutnya seluruh masyarakat Indonesia menjaga itu, mengembangkan dan menyebarkan   keramahan ini, dan inilah ajaran Rasulullah, Islam Rahmatan Lil Alamin.

 

Nasihin, Sekretaris Lesbumi PWNU Jawa Barat


Ngalogat Terbaru