• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Senin, 29 April 2024

Kuluwung

Serba-Serbi Jamaah Haji di Tanah Suci: Tak Ada Kursi Roda, Kain Ihram pun Jadi

Serba-Serbi Jamaah Haji di Tanah Suci: Tak Ada Kursi Roda, Kain Ihram pun Jadi
Serba-Serbi Jamaah Haji di Tanah Suci: Tak Ada Kursi Roda, Kain Ihram pun Jadi
Serba-Serbi Jamaah Haji di Tanah Suci: Tak Ada Kursi Roda, Kain Ihram pun Jadi

Fase Armuzna (Arafah, Mina, dan Muzdalifah) selalu menyisakan pengalaman berkesan. Saya rasa bukan hanya bagi jamaah haji, tapi juga para petugasnya. Bahkan ketika mereka pulang ke Tanah Air.

Bagaimana tidak. Fase Armuzna adalah tahapan terberat yang dilalui jamaah haji. Tak salah jika puncak haji dinisbatkan kepadanya. Di tempat ini pula 3 jamaah hilang dan tidak ketemu hingga lebih dari 10 hari. Armuzna merupakan perbaduan antara kesyahduan ibadah dan beratnya kegiatan fisik para jamaah, terutama di Mina.

Di Mina, menurut aplikasi penghitung langkah, saya bisa menempuh jalan kaki belasan hingga lebih dari 20 kilometer. Hal ini lantaran jarak tenda jamaah dengan jamarat bisa mencapai 4-7 kilometer. Energi ekstra dikeluarkan ketika jamaah mesti jalan pulang-pergi, belum lagi ketika terpaksa tersesat dan muter-muter entah ke mana.

Tak heran, pada hari pertama di Mina, persisnya 10 Dzulhijjah, jamaah banyak yg bertumbangan di tengah jalan. Kepanikan terjadi ketika "korban" bertubi-tubi ambruk di tempat yang sama, petugas kesehatan tidak di lokasi, dan tidak tersedia kursi roda.

Itulah yang kami alami. Siaran di grup WA pun tak akan banyak membantu. Bukan karena petugas lain abai, tetapi mungkin mereka juga menangani masalah yang sama, atau medan yg dilalui sulit: berjubel manusia dan tanpa kendaraan sama sekali.

Dalam video ini, sore jelang Maghrib sejumlah rekan Media Center Haji terpaksa menggotong jamaah perempuan yang pingsan menggunakan kain ihram jamaah lain. Menunggu kursi roda, sudah terlalu lama. Memanggil ambulan, ternyata jg hanya untuk yg wafat saja. Dalam kondisi kritis itulah, sejumlah personel MCH berinisiatif melakukan pertolongan darurat--tentu ini di luar tugas pokok mereka sebagai wartawan. Mereka murni membantu karena didorong rasa kemanusiaan. Walaupun, di hati ini ada kebimbangan tentang efektivitas cara ini. 

Namun, di benak hanya ada satu fokus: jamaah kritis mesti pindah dari tempat itu, segera mendapat tempat lebih aman, dan segera mendapat bantuan.

Selanjutnya, personel mesti dibagi karena yang (akan) pingsan tidak hanya satu. Saat inilah manajemen istirahat menjadi sangat penting diperhatikan, meski kadang harus "berdebat" dgn askar Saudi yang kerap mengusir jamaah karena dianggap menghalangi jalan. Berhenti sejenak biasanya akan membuat stamina mereka pulih. Lalu bisa jalan, dan berhenti lagi. 

Begitulah, menit demi menit, jam demi jam, yang berat kami lalui di hari itu.

Mahbib Khoiron, Redaktur Pelaksana NU Online


Kuluwung Terbaru