Rudi Sirojudin Abas
Kontributor
Bagi peminat kajian sufistik, siapa yang tidak kenal dengan Abu Yazid al-Busthami. Ia dikenal sebagai pelopor, pendiri perguruan sufi. Lahir di Bustham, Persia, dari seorang kakek penganut Zoroaster, Abu Yazid al-Busthami dikenal dalam dunia sufi karena keberaniannya menyatakan peleburan yang sempurna seorang mistikus ke haribaan Tuhan.
Secara khusus penjelasan-penjelasan mengenai perjalanan Abu Yazid al-Busthami ke surga (yang mirip dengan Mi'raj Nabi Muhammad SAW) banyak dipelajari oleh para peminat kajian sufistik. Tidak hanya itu, kisah kehidupan perjalanan Abu Yazid al-Busthami pun selalu menjadi inspirasi bagi manusia-manusia sesudahnya.
Dikisahkan, setelah Abu Yazid al-Busthami dewasa, ibunya melepaskannya untuk berkelana mencari ilmu. Abu Yazid al-Busthami merantau dari satu negeri ke negeri lain selama tiga puluh tahun, dan melakukan disiplin diri dengan terus menerus berpuasa di siang hari dan bertirakat sepanjang malam. Ia belajar di bawah bimbingan seratus tiga belas guru spiritual.
Berbagai negeri telah dikunjungi Abu Yazid al-Busthami. Tentu setiap negeri yang dikunjunginya meninggalkan jejak spiritual yang menakjubkan. Misalnya, suatu waktu Abu Yazid al-Bustahmi melakukan sebuah perjalanan. Ia membawa seekor unta sebagai tunggangan dan pemikul perbekalannya.
Seorang pemuda yang melihat perilaku Abu Yazid al-Busthami bergumam "Binatang yang malang, betapa berat beban yang engkau tanggung. Engkau sungguh kejam," serunya.
Setelah mendengar seruan itu berulang kali, akhirnya Abu Yazid al-Busthami menjawab, "Wahai anak muda, sebenarnya bukan unta itu yang memikul beban."
Setelah si pemuda meneliti, barulah ia percaya bahwa beban itu tidak ditanggung unta. Ia melihat beban itu mengambang satu jengkal di atas punggung unta dan binatang itu sedikit pun tidak memikul beban sebagaimana yang disangkanya. "Maha Besar Allah, benar-benar menakjubkan," seru si pemuda.
Melihat respon si pemuda, Abu Yazid al-Busthami berkata: "Jika kusembunyikan kenyataan-kenyataan yang sebenarnya mengenai diriku, engkau akan melontarkan celaan kepadaku. Tetapi, jika kujelaskan kenyataan-kenyataan itu kepadamu, engkau tidak akan memahaminya. Bagaimana seharusnya sikapku kepadamu?"
Baca Juga
Keadilan Basis Negara Sejahtera
Satu waktu, ketika Abu Yazid al-Busthami sedang mengunjungi kota Madinah, datang sebuah perintah untuk kembali pulang ke kota Bustham untuk merawat ibunya. Ditemani serombongan orang, ia pun bergegas menuju Bustham.
Berita kedatangan Abu Yazid al-Busthami tersebar di kota Bustham dan penduduk kota sudah datang dan berkumpul untuk menyambutnya. Mereka menduga, Abu Yazid al-Busthami tidak akan lekas menemui ibunya, mengingat melayani orang-orang yang menyambutnya juga merupakan sebuah kewajiban yang harus dipenuhi oleh sang sufi.
Tahu ia sudah ditunggu oleh sekumpulan Abu orang yang menyambutnya, Abu Yazid al-Busthami lantas mengeluarkan sepotong roti dari lengan bajunya dan memakannya, sedang saat itu sedang bulan Ramadhan. Melihat perilaku Abu Yazid al-Busthami yang demikian, sekumpulan orang yang ingin menyambutnya pun berpaling, bubar, menjauh, serta tidak menghiraukan kedatang sang sufi besar itu.
Melihat sikap orang-orang yang meninggalkannya, Abu Yazid al-Busthami berkata kepada sahabatnya: "Tidaklah kalian saksikan. Betapa aku mematuhi sebuah perintah dari hukum suci, tapi semua orang malah berpaling dariku," terangnya.
Baca Juga
Ramadhan Titik Balik Peradaban
Singkat cerita, Abu Yazid al-Busthami tanpa rintangan kemudian bisa bertemu dengan ibunya.
Jadi, untuk sekelompok orang yang suka melakukan sweeping saat bulan Ramadhan, berprasangka baiklah, tinggalkan tindak kekerasan, serahkan sepenuhnya kepada yang berwenang. Jangan-jangan yang tidak sedang berpuasa itu adalah mereka yang sedang dalam perjalanan yang diperbolehkan untuk berbuka. Atau boleh jadi mereka adalah seorang non muslim yang tidak ada kewajiban untuk melakukan puasa. Yang harus diingat puasa adalah ibadah privat, hanya Allah dan yang bersangkutan lah yang mengetahuinya.
Mungkin saja seseorang di siang hari tampak lesu, lemah dan tak bertenaga; yakni mempunyai tanda-tanda lahiriah bahwa dia adalah seseorang yang sedang berpuasa. Namun tentu saja hal itu tidaklah menjadi jaminan bahwa dia benar-benar sedang berpuasa, sebab mungkin saja dia melakukan sesuatu yang dapat membatalkan puasa ketika sedang sendirian, misalnya dengan meneguk segelas air.
Sebaliknya, mungkin juga seseorang nampak bersemangat, biarpun hari telah tinggi; yakni, dia tidak menunjukkan tanda-tanda lahiriah bahwa dia sedang berpuasa. Tetapi justru sebenarnyalah dia sedang berpuasa, dan tetap teguh mempertahankan diri dari godaan yang dapat mengakibatkan ibadah puasanya batal.
Itu semua menunjukkan bahwa puasa adalah suatu ibadah yang amat pribadi, privat. Artinya suatu ibadah yang tidak mungkin disertai oleh orang lain, dan juga pada hakikatnya tidak diketahui orang lain. Cag ah.
Referensi: Fariduddin al-Attar, "Warisan Para Awliya".
Rudi Sirojudin Abas, salah seorang peneliti kelahiran Garut
Terpopuler
1
Makna Idul Fitri dan Amalan Didalamnya menurut Imam Al-Ghazali
2
Khutbah Idul Fitri: Gembira di Hari Raya, Diqabul di Akhir Puasa
3
Posko Mudik Ansor-Banser Cianjur 2025: Tempat Istirahat yang Nyaman dan Aman bagi Pemudik
4
Peduli Pemudik, Satkorcab Banser Garut Bentuk Pos Pelayanan Keamanan, Kesehatan hingga Santunan di Jalur Selatan
5
Ole Romeny: Striker Timnas Indonesia yang Cerdik Lesatkan Gol
6
Dedikasi Banser di Posko Mudik Indramayu: Satu Bulan Berkhidmat untuk Umat
Terkini
Lihat Semua