Hikmah KOLOM NADIRSYAH HOSEN

Al-‘Isyq: Gelora yang Membakar dan Menyelamatkan

Rabu, 19 Maret 2025 | 09:39 WIB

Al-‘Isyq: Gelora yang Membakar dan Menyelamatkan

Al-‘Isyq: Gelora yang Membakar dan Menyelamatkan. (Ilustrasi: NU Online Jabar/Rizqy).

Di antara kata-kata cinta dalam bahasa Arab, ada tiga tahapan yang menggambarkan perjalanan hati menuju ketidakberdayaan di hadapan cinta:

  1. Al-Hiyām adalah kegilaan cinta yang menghilangkan akal, membuat pecinta tersesat di gurun rindu, tak tahu ke mana harus melangkah.
  2.  Al-Walah adalah cinta yang menyayat jiwa, menghadirkan luka dan kesedihan saat pecinta kehilangan kekasihnya, membuatnya merintih dalam duka.
  3. Al-‘Isyq adalah puncak dari segala cinta—cahaya dan api sekaligus. Ia bukan sekadar nyala rindu, tetapi kobaran yang menghanguskan hingga pecinta lebur dalam kekasihnya, tak ada lagi batas antara keduanya.

Kita sudah bahas sebelumnya tentang al-hiyam dan al-walah. Kini tiba saatnya kita bahas mengenai al-isyq.


Dalam bahasa Arab, العِشْقُ (al-‘isyq) berasal dari akar kata ع-ش-ق (‘a-sya-qa), yang mengandung makna cinta yang mendalam, membara, dan menguasai hati. Kata ini memiliki konotasi yang lebih intens dibandingkan dengan المَحَبَّةُ (al-maḥabbah, cinta biasa) atau المَوَدَّةُ (al-mawaddah, kasih sayang yang lembut).


Secara etimologis, sebagian ulama bahasa berpendapat bahwa al-‘isyq berasal dari kata العَشَقَةُ (al-‘asyaqah), yaitu sejenis tanaman merambat yang tumbuh menempel pada pohon lain, melilitnya, dan terkadang membuatnya layu. Makna ini menjadi simbol bagaimana cinta yang mendalam dapat menguasai, bahkan melemahkan jiwa seorang pecinta.


Dalam penggunaan klasik, al-‘isyq sering dikaitkan dengan cinta yang hampir tak terkendali—cinta yang meluap-luap, mendalam, dan terkadang menyakitkan karena intensitasnya.


Salah satu bait sufi yang terkenal berbunyi:


‎ ذُبْتُ فِي الْعِشْقِ حَتَّى لَمْ يَبْقَ إِلَّا هُوَ


“Aku melebur dalam cinta hingga tiada yang tersisa kecuali Dia.”


Syair ini menggambarkan bagaimana seorang pecinta sejati kehilangan dirinya dalam keagungan cinta Ilahi, hingga ia tidak lagi melihat dirinya sendiri, melainkan hanya melihat kehadiran Sang Kekasih dalam segala sesuatu.


Salam sejahtera dengan sepotong doa yang tak lagi sanggup terucap, hanya mampu berdetak dalam jantungku.


KH Nadirsyah Hosen, Dosen di Melbourne Law School, the University of Melbourne Australia