Oleh: KH Husein Muhammad
Hal yang paling menarik dari pemikiran Kiai Sahal adalah pandangannya tentang fiqh sebagai kumpulan pikiran ulama yang sejatinya dibuat untuk menciptakan moralitas kemanusiaan. Kiyai Sahal menyebutnya “Fiqh sebagai Etika Sosial, bukan sebagai hukum negara”. Inilah pikiran brilian Kiai Sahal yang membuatnya pantas memperoleh penghargaan akademis bergengsi : Doktor, dari UIN Jakarta, meski beliau tak memintanya. Usai orasi doktoralnya, Gus Dur segera memberikan apresiasi kepada pamannya itu. Gus Dur menghendaki paradigm ini diikuti para ulama lain. Sangatlah disayangkan jika kemudian tidak banyak orang yang bisa memahami gagasan dan pemikiran-pemikiran yang ditawarkan Rois ‘Am Syuriyah PBNU ini.
Gagasan Kiai Sahal tentang Fiqh sebagai Etika Sosial merupakan puncak dari serangkaian permenungannya yang mendalam atas terma “Fiqh Sosial”.
Melalui tesis ini Kiai Sahal ingin mengembalikan makna awal dari kata itu. Imam Abu Hanifah (w. 150 H), pendiri mazhab fiqh awal, mendefinisikan fiqh sebagai “Ma’rifah al-Nafs Ma Laha wa Ma ‘Alaiha”. Pengetahuan diri tentang apa yang baik dan apa yang buruk, atau tentang apa yang memberi manfaat bagi manusia dan apa yang merugikannya.
Sementara Imam Badruddin al-Zarkasyi (w. 794 H) mendefinisikannya sebagai : “pengetahuan tentang berbagai petunjuk Tuhan yang mengantarkan manusia mengenal Tuhan, Ke-Esaan dan Sifat-sifat-Nya, para Nabi, tentang hak dan kewajiban manusia, tentang etika dan apa saja yang diperlukan oleh manusia sebagai hamba-Nya, dan lain-lain”.
Kedua definisi fiqh ini memperlihatkan betapa luas kandungan fiqh. Akan tetap dalam perjalanan sejarahnya ia kemudian mengalami reduksi sebagai “al-Ilm bi al-Ahkam al-Syar’iyyah al-Muktasab min adillatiha al-tafshiliyyah” (pengetahuan tentang hukum-hukum agama yang praktis yang diproses secara intelektual dari petunjuk-petunjuk umum teks agama yang terkait). Sesudah abad ke IV H, yang kemudian dikenal sebagai “ashr al-Inhthath” (periode terpuruk), pengertian fiqh semakin menyempit menjadi hanya sebagai “produk pikiran manusia ahli hukum (mujtahid), terutama mazhab empat, tentang hukum halal dan haram. Inilah yang kemudian dipahami masyarakat.
Kiai Sahal mengkritik tajam pemahaman umum ini. Pengertian fiqh seperti ini telah mengantarkan fiqh sebagai kumpulan hukum yang kaku dan stagnan. Serba hitam-putih. Proses pembakuan dan pengajiannya yang massif dan berabad, serta larangan berijtihad, pada gilirannya, telah membawa produk hukum para mujtahid tersebut seakan-akan sebagai hukum Tuhan itu sendiri dengan seluruh sakralitasnya. Kritik-kritik atasnya menjadi tabu dan kadang dianggap sebagai menentang hukum Tuhan.
Terhadap cara pandang seperti ini, Kiyai Sahal mengatakan : “Suatu pandangan yang bukan saja tidak proporsional bagi fiqh itu sendiri, bahkan menurunkan derajat Allah dan sunnah Rasul sebagai sumber hukum yang sepenuhnya universal” (Fiqh Sosial, hlm. Xxix).
Terpopuler
1
Khutbah Jumat Singkat: Manfaatkan Sisa Umur dengan Melakukan Hal yang Bermanfaat
2
H Subhan Fahmi Sebut Kader Ansor Kudu Sagala Nyaho, Sagala Boga Tur Sagala Bisa
3
MDS Rijalul Ansor Kertasemaya: Belajar Syukur dari Nikmat Allah SWT
4
Hadiri Santunan Fatayat NU Kedokanbunder, Ayu Widiyana Apresiasi Kekompakan Kader Ranting
5
BUMDes Akan Dibawa ke Mana Setelah Ada Koperasi Merah Putih?
6
Wisata Religi IPNU-IPPNU Kedokanbunder: Ziarahi Makam Sunan Gunung Jati, Teladani Semangat Dakwah Wali Songo
Terkini
Lihat Semua