Diskusi Imam Al-Ghazali di Istana: Siapakah Ulama Itu?
Selasa, 24 Juni 2025 | 12:12 WIB
KH Husein Muhammad
Kolomnis
Ketika Imam Haramain telah wafat, murid tersayangnya, Abu Hamid Al-Ghazali pergi menuju ke sebuah kantor pemerintahan untuk menemui Perdana Menteri Nizam al Muluk.
Saat itu al Ghazali baru berusia sekitar 28 tahun. Kecerdasannya melampaui pemuda seusianya. Namanya sangat terkenal di seantero Bagdad. Di sana ada balai besar atau aula tempat pertemuan para ilmuwan dan intelektual. Balai ini tak pernah sepi dari kehadiran para ulama/intelektual/ilmuwan untuk berdiskusi, seminar, berdialog dan berdebat, terutama dalam masalah hukum dan teologi.
Baca Juga
Islam dalam Pengertian yang Lebih Luas
Di majlis istana Nizam al Muluk itu Al-Ghazali terlibat dalam diskusi atau perdebatan ilimiyah dengan para intelektual dan cendikiawan. Argumen-argumen Al-Ghazali selalu mampu mengalahkan mereka. Mereka mengakui keunggulan Al-Ghazali dan mereka menaruh hormat yang tinggi kepadanya. Beliau kemudian diangkat sebagai dosen, pengajar di pesantren Nizamiyah yang bergengsi itu. Itu satu jabatan yang diinginkan oleh banyak ulama dan mereka berkompetisi untuk hal itu.
Teman segenerasinya, Abdul Ghafir Al-Farisi mengatakan: Posisi, kebesaran dan ketokohan Al-Ghazali melambung di puncak cakrawala Baghdad, melampaui tokoh dan para pejabat pemerintah di Istana. Pengajian Al-Ghazali dihadiri oleh sekitar 300 orang santri dan para ulama dari berbagai displin ilmu. Bersamaan dengan aktifitas mengajar, Al-Ghazali menulis karya ilmu Ushul Fiqih, Fiqih, ilmu Kalam, Filsafat dan Tasawuf.
Dalam sebuah diskusi, Al-Ghazali ditanya siapakah yang disebut ulama?. Ia menjawab sebagaimana yang ditulis dalam karya monumentalnya Ihya Ulum al Din:
فإنه إن اكتفى بحفظ ما يقال كان وعاء للعلم ولا يكون عالما. ولذلك يقال : فلان من أوعية العلم . فلا يسمى عالما إذا كان شأنه الحفظ من غير إطلاع على الحكم والاسرار. ومن كشف عن قلبه الغطآء واستنار بنور الهداية صار فى نفسه متبوعا مقلَّداً. (إحياء علوم الدين 1 ص 78.)
Artinya: "Jika dia merasa cukup dengan menghapalkan apa yang dikatakan "shahib al-syari'ah" (Nabi atau ulama), maka dia disebut "Wi'a al-'Ilm" (wadah ilmu) dan dia bukan seorang 'Alim. Oleh karena itu dikatakan: "si Fulan/Anu itu termasuk wadah ilmu", (atau "kamus"?). Tidak disebut âlim (pandai/pintar/ulama) orang yang pekerjaannya hanya menghapal teks-teks tanpa mengkaji dan menggali hikmah-hikmah dan rahasia-rahasianya. Dan “Orang yang telah terbuka hatinya dan hati itu memancarkan cahaya petunjuk Tuhan, maka dirinya adalah panutan”. (Ihyâ Ulûm al-Dîn, I/87).
Hikam (kebijaksanaan) dan "Asrar" (yang tersembunyi/rahasia-rahasia) tentu saja adalah hal-hal yang terdalam, yang substantif dan yang rasional, bukan yang formal, yang kulit dan yang tekstual. Hikam adalah kata plural dari “Hikmah”. Kata ini dimaknai para ahli bahasa secara berbeda-beda. Murtaza al-Zabidi dalam kamus Taj al-Arus memaknainya sebagai :
العلم بحقاءق الاشياء على ما هى عليها
al-‘Ilm bi Haqaiq al-Asy-ya ‘ala Ma Hiya ‘alaih
Artinya: "Pengetahuan tentang hakikat segala sesuatu sesuai dengan apa adanya,".
KH Husein Muhammad, salah seorang Mustasyar PBNU
Terpopuler
1
Angkatan Pertama Beasiswa Kelas Khusus Ansor Lulus di STAI Al-Masthuriyah, Belasan Kader Resmi Menyandang Gelar Sarjana
2
PBNU Serukan Penghentian Perang Iran-Israel, Dorong Jalur Diplomasi
3
Isi Kuliah Umum di Uniga, Iip D Yahya Sebut Media Harus Sajikan Informasi ‘Halal’ dan Tetap Diminati
4
Pengembangan Karakter Melalui Model Manajemen Manis
5
LD-PWNU Jawa Barat Gelar Madrasah Du'at ke-IV, Fokus Pengkaderan Da'i di Era Digital
6
Perkuat Sinergi untuk Umat, PCNU Depok Audiensi dengan Wali Kota Supian Suri
Terkini
Lihat Semua