Al-Walah; Cinta yang Menghapus Segala
Selasa, 18 Maret 2025 | 06:00 WIB
NADIRSYAH HOSEN
Kolomnis
Inilah kata kedua dalam bahasa Arab tentang cinta, yang ingin kita bahas bersama. Ada cinta yang menghangatkan, ada cinta yang membakar, tetapi ada pula cinta yang meluruhkan segalanya—menghancurkan dinding kesadaran, menghapus batas antara diri dan yang dicinta. Itulah al-walah (الوله), cinta dalam bentuknya yang paling ekstrem, di mana pecinta kehilangan dirinya, larut sepenuhnya dalam gelombang rindu yang tak bertepi.
Al-walah berasal dari akar kata و-ل-ه yang bermakna kebingungan, kehilangan akal, tersesat dalam perasaan yang begitu dalam hingga tak lagi mengenal jalan kembali. Pecinta yang mengalami walah tak hanya memikirkan yang dicintai—ia menjadi pikirannya, ia menjadi rindunya. Hatinya seolah tak memiliki tempat lain untuk berlabuh kecuali di pelabuhan sang Kekasih.
Dalam kehidupan sehari-hari, walah bisa kita temui dalam berbagai bentuk. Seorang ibu yang kehilangan anaknya, berjalan tanpa arah dengan mata kosong, menangis tanpa suara, pikirannya terjerat dalam ingatan tentang sang buah hati—itulah walah dalam bentuknya yang pilu. Seorang kekasih yang ditinggalkan, yang masih merasakan kehadiran sang pujaan meski ia telah pergi, yang mengulang setiap kata dan tawa dalam bayangannya—itulah walah dalam bentuknya yang melankolis.
Seorang hamba yang tersungkur dalam sujud, dadanya sesak oleh rindu kepada Tuhan, matanya basah oleh air mata yang entah dari mana datangnya—itulah walah dalam bentuknya yang suci.
Orang-orang yang mengalami walah tak selalu tampak berlebihan di mata dunia, tetapi dalam hatinya, mereka telah hanyut dalam gelombang yang tak seorang pun dapat menyelamatkan mereka kecuali yang dicintai.
Resapi bait berikut ini:
وَلَهَتْ نَفْسِي فَأَضْحَى يَقِينُهَا
وَهْماً تَخَلَّلَ فِي كُلِّ شَيْءٍ
فَلاَ أَعْرِفُ الدُّنْيَا سِوَاهُ
وَلاَ تَحْسَبُ الرُّوحُ أَنَّا مُنَفَّيْنِ
“Jiwaku telah tenggelam dalam walah, hingga keyakinanku berubah menjadi bayangan yang menyusup ke segala sesuatu. Aku tak mengenal dunia selain dirinya, dan jiwaku tak pernah mengira bahwa kami akan terpisah.”
Kata “Walah” dalam Syair Sufi
Dalam tasawuf, al-walah sering dikaitkan dengan keadaan fana’—kehilangan diri dalam samudra ketuhanan. Para sufi memahami bahwa ketika cinta telah mencapai derajat walah, maka yang ada hanyalah Kekasih, sementara diri sendiri lenyap seperti debu yang tertiup angin.
Baca Juga
Mengambil Spirit Perang Badar
Ibn al-Fāriḍ (w. 632 H/1235 M), penyair sufi terbesar dalam sejarah Arab, menuliskan tentang keadaan ini dalam bait-baitnya:
وَمَا ظَفِرَتْ بِالْوُدِّ رُوحٌ مُرَاحَةٌ
وَلَا بِالْوَلَهِ نَفْسٌ صَفَا الْعَيْشُ وَدَّتْ
“Tak pernah jiwa yang tenteram merengkuh cinta mesra;
dan tiada pula diri yang mendamba tenang hidupnya, menemukan damai saat walah mengguncang kalbunya.”
Sumber: Dīwān Ibn al-Fāriḍ (al-Tā’iyyah al-Kubrā).
Ḥusayn bin Manṣūr al-Ḥallāj (w. 309 H/922 M) menulis bait ini:
أَنْتَ الْمُوَلِّهُ لِي لَا الذِّكْرُ وَلَّهَنِي
حاشا لِقَلْبِي أَنْ يَعْلَقَ بِهِ ذِكْرِي
الذِّكْرُ واسِطَةٌ تُخْفِيكَ عَنْ نَظَرِي
إِذَا تَوَشَّحَهُ مِنْ خَاطِرِي فِكْرِي
“Bukan lantunan zikir yang membuatku mabuk rindu – Engkaulah yang membuat aku tergila-gila (muwallah)!
Tak sudi hatiku terpaut pada ingatanku sendiri akan-Mu.
Zikir itu hanyalah perantara, menyelubungi-Mu dari pandanganku,
tatkala pikiranku tenggelam berselimut zikir kepada-Mu.”
Sumber: Dīwān al-Ḥallāj
Baca Juga
Ramadhan Titik Balik Peradaban
Jalāluddīn Rūmī (1207–1273 M) – dalam terjemahan Arab, baitnya ditulis begini:
لَا يَهْدَأُ قَلْبُ الْعَاشِقِ قَطُّ مَا لَمْ يُبَادِلْهُ الْمَحْبُوبُ الْوَلَهَ.
وَحِينَ يُشِعُّ نُورُ الْحُبِّ فِي الْقَلْبِ فَذَاكَ يَعْنِي أَنَّ هُنَاكَ إِحْسَاسًا بِالْحُبِّ فِي الْقَلْبِ الْآخَرِ.
“Tak pernah tenang hati sang pecinta, sebelum Sang Kekasih membalasnya dengan cinta nan menggelora (al-walah).
Dan ketika cahaya cinta memancar di dalam kalbu, itulah tandanya ada rasa kasih bersemi dalam kalbu yang satunya.”
Sumber: Jalāluddīn Rūmī, Muḫtārāt min Qaṣāʾid Mawlānā Rūmī
Cinta yang Membakar dan Menghapus Diri
Cinta dalam derajat walah bukan lagi cinta biasa. Ia tidak sekadar rindu yang membuat gelisah, tidak sekadar kasih sayang yang membuat nyaman. Ia adalah api yang membakar segala, menghapus batas antara pecinta dan yang dicinta. Dalam keadaan ini, seorang pecinta tidak lagi memisahkan dirinya dari kekasihnya—mereka telah menyatu dalam makna, meski masih terpisah dalam rupa.
Seperti lilin yang rela meleleh demi menerangi ruang di sekitarnya, seorang yang mengalami walah rela melebur dalam cinta, tanpa peduli apakah ia akan musnah dalam kobaran itu. Ia tak menginginkan imbalan, tak mengharapkan balasan—karena ia tahu, dalam cinta yang sejati, tidak ada “aku” dan “dia”. Yang ada hanyalah satu.
Sebagaimana syair berikut ini:
لَقَدْ وَلَهْتُ بِحُبِّكَ وَإِنِّي فِي نَشْوَتِي
فَإِنْ كَانَ حُبِّي صِدْقًا فَخُذْنِي إِلَيْكَ
“Aku telah tenggelam dalam walah cinta kepada-Mu, dan aku mabuk dalam ekstasi ini. Jika cintaku benar, maka ambillah aku ke hadirat-Mu.”
Kesimpulan: Walah sebagai Puncak Cinta
Cinta memiliki banyak warna—ada yang lembut seperti belaian angin, ada yang bergejolak seperti ombak di lautan, dan ada yang dahsyat seperti badai yang meluluhlantakkan segalanya. Walah adalah cinta dalam bentuk terakhir ini—ia mencabut seorang pecinta dari dirinya sendiri, meninggalkannya dalam keadaan tak tahu lagi siapa dirinya, kecuali sebagai bagian dari yang dicintai.
Dalam kehidupan ini, kita semua pernah mengalami sepercik walah—saat di mana kita begitu mencintai sesuatu hingga kehilangan kendali, saat di mana kita terhanyut begitu dalam hingga lupa pada dunia. Namun, di antara semua cinta, hanya cinta kepada Tuhan yang benar-benar layak untuk kita lalui hingga derajat walah. Karena hanya dalam cinta-Nya, kehilangan diri bukanlah kebinasaan, melainkan awal dari kehidupan yang sejati.
Sebagai penutup, mari kita sodorkan kalimat indah di bawah ini:
وَالْعِشْقُ نَارٌ إِذَا وَقَعَتْ فِي قَلْبِكَ
أَحْرَقَتْ كُلَّ شَيْءٍ فِيهِ إِلَّا الْمَعْشُوقَ
“Cinta adalah api, jika ia jatuh ke dalam hatimu, ia akan membakar segala yang ada di dalamnya—kecuali Sang Kekasih itu sendiri.”
KH Nadirsyah Hosen, Dosen di Melbourne Law School, the University of Melbourne Australia
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Tiga Keutamaan Berbagi Kebahagiaan dengan Sesama
2
Wakil Wali Kota Cirebon Luncurkan Produk Ekonomi Fatayat NU
3
Gandeng Bagana Kota Bekasi, YPI Al-Marzukiyah Gelar Pendidikan Mitigasi Bencana Gempa Bumi
4
Mengenal KH Muhammad, Pejuang NU Sampai Akhir Hayat dari Pesantren Fauzan Garut
5
KBIH NU Pangandaran Berangkatkan 85 Calon Jamaah Haji
6
LAZISNU Kota Bogor Terima Kunjungan Akademik Mahasiswa UNUSIA Jakarta
Terkini
Lihat Semua