Hikmah

Mengambil Spirit Perang Badar

Sabtu, 15 Maret 2025 | 13:43 WIB

Mengambil Spirit Perang Badar

Perang Badar. (Ilustrasi: freepik.com).

Dalam catatan sejarah, titik balik kegemilangan dan kemenangan Islam diraih di bulan Ramadhan. Sebut saja satu peristiwa besar dan menentukan, perang Badar, justru terjadi di saat umat Islam sedang melaksanakan ibadah puasa. Padahal, jika ditinjau dari asfek lahiriah, sukar dipahami seseorang yang sedang berpuasa, asupan makannya dibatasi, malah memenangkan sebuah pertempuran yang begitu besar.


Inilah kiranya penegasan dari firman Allah SWT dalam Al-Qur'an surat Al-Anfal ayat 17 yang menyebut bahwa kemenangan perang Badar sepenuhnya merupakan skenario dari Allah SWT. 


“Maka (sebenarnya) bukan kamu yang membunuh mereka. Melainkan Allah yang membunuh mereka. Dan bukan engkau yang melempar ketika engkau melempar. Tetapi Allah lah yang melempar. (Allah berbuat demikian untuk membinasakan mereka) dan untuk memberi kemenangan kepada orang-orang mukmin dengan kemenangan yang baik.” (QS al-Anfal [8]: 17). 


Belum lagi pasukan perang yang tidak sepadan antara kaum Muslimin dan kafir Quraisy menjadikan perang Badar sukar dipahami oleh nalar logis. Bandingkan 314 pasukan Muslim yang sedang berpuasa mampu mengandaskan perlawanan dari ribuan lebih pasukan lawan. 


Sekali lagi ini menandakan bahwa perang Badar sepenuhnya adalah kewenangan Allah SWT. Dari perang Badar, tampaknya Allah SWT hendak memperlihatkan kekuasaannya bahwa yang benar akan menang melawan kebatilan. 


Artinya, perang Badar bukan perang yang didasarkan pada kekuatan lahiriah pelakunya, melainkan dipengaruhi oleh faktor keteguhan batin/hati pelakunya. Dengan demikian keteguhan hati menjadi  biang utama kesuksesan dalam setiap permasalahan, termasuk salah satunya dalam sebuah peperangan.


Allah SWT berfirman: 


"Ingatlah) ketika Allah memperlihatkan mereka di dalam mimpimu (berjumlah) sedikit. Dan sekiranya Allah memperlihatkan mereka (berjumlah) banyak tentu kamu menjadi gentar dan tentu kamu akan berbantah-bantahan dalam urusan itu, tetapi Allah telah menyelamatkan kamu. Sungguh, Allah Maha Mengetahui apa yang ada dalam hatimu. Dan ketika Allah memperlihatkan mereka kepadamu, ketika kamu berjumpa dengan mereka berjumlah sedikit menurut penglihatan matamu dan kamu diperlihatkan-Nya berjumlah sedikit menurut penglihatan mereka, itu karena Allah berkehendak melaksanakan suatu urusan yang harus dilaksanakan. Hanya kepada Allah segala urusan dikembalikan." (QS al-Anfal [8]: 43-44). 


Perang Badar dalam realita kehidupan sehari-hari bisa dimaknai sebagai perang antara yang hak melawan kebatilan. Kebatilan tidak dibatasi pada ruang yang sempit. Setiap individu, kelompok masyarakat hingga tatanan kehidupan yang paling besar sekalipun, misalnya sebuah negara, memiliki tingkat permasalahan yang variatif. Oleh karenanya, semakin tinggi garapan kehidupan maka semakin tinggi pula tingkat permasalahannya, begitu pun juga dengan sebaliknya. 


Hendaknya peristiwa perang Badar mampu memberikan stimulus bagi umat Islam untuk lebih empati dan simpati kepada sesama. Umat Islam dahulu pada saat perang Badar, dengan keimanannya mampu tunduk, teguh, dan patuh pada perintah Allah SWT untuk berperang, padahal pada saat itu mereka sedang mengorbankan kekuatan fisiknya, berpuasa. Perang Badar juga hendaknya mampu memberikan spirit kepada umat Islam bahwa sebuah kemenangan tidak akan diraih kecuali dengan adanya berbagai rintangan, tantangan,  pengorbanan, dan hambatan.


Konteks peperangan dalam masa sekarang harus dipahami bukan lagi sebagai arena untuk memanggul senjata, menumpahkan darah, melainkan untuk memerangi segenap nafsu amarah, ankara murka yang ada dalam diri. Perilaku malas, ketamakan, kerakusan, kedengkian hendaknya menjadi hal perlu dikikis dalam diri ini.


Berpuasa, meskipun secara lahiriah ada pengorbanan jiwa. Namun sejatinya, pada yang demikian itu terdapat sebuah rasa empati atas kehidupan yang serba kekurangan. Dalam realita kehidupan sehari-hari misalnya, berapa banyak orang yang serba kekurangan terutama dalam pasokan kebutuhan pangan. Justru dengan berpuasa paling tidak, kita sadar bahwa dalam individu sesama ada kalanya penderitaan mereka harus ditanggung bersama-sama. Dalam hal ini berarti ibadah puasa bukan semata sebagai ibadah vertikal, sebagai bentuk ketaatan antara seorang hamba dengan penciptanya, melainkan juga sebagai bentuk kepedulian yang bersifat sosial. 


Kembali ke perang Badar. Salah satu imbas dari kemenangan perang saat itu adalah timbulnya semangat dan keteguhan umat Islam untuk meraih kegemilangan. Tercatat, pasca perang Badar, dakwah Islam meluas, penganutnya pun bertambah. Puncaknya adalah penaklukan (fathu) kota Mekah. Kaum yang sebelumnya memerangi umat Islam tersadarkan dirinya untuk menerima Islam. Terlebih ketika penaklukan kota Mekah dilakukan dengan tanpa adanya kekerasan, jauh dari kedengkian, seolah menambah keyakinan orang, bahwa Islam merupakan agama yang benar-benar humanis. 


Kaitannya dengan hikmah kemenangan perang Badar yang diraih dengan penuh pengorbanan, salahsatunya dengan ketundukan untuk melaksanakan puasa, semoga dalam kehidupan sehari-hari kita memberikan dampak bagi kehidupan umat Islam untuk terus maju meraih kemenangan di depan, baik yang bersifat individu, sosial kemasyarakatan, maupun dalam tatanan kehidupan yang lebih luas, bangsa maupun negara.  


Semoga saja dengan mengambil hikmah perang Badar di bulan Ramadhan, siapa saja, terutama para pelaku yang korup, sekelompok orang yang pintar memanifulasi kepentingan rakyat tersadarkan dirinya bahwa setiap kebatilan yang dilakukannya pasti akan hancur dengan yang yang hak. Sementara bagi pelaku, pemangku, serta pelaksana kebijakan di setiap sendi kehidupan agar mampu membulatkan tekad untuk tidak terjerumus kepada lembah yang sama. 


Rudi Sirojudin Abas, salah seorang peneliti kelahiran Garut