Al-Hiyam: Cinta yang Mengembara Tanpa Akhir
Kamis, 13 Maret 2025 | 08:00 WIB
NADIRSYAH HOSEN
Kolomnis
Dalam bahasa Arab, cinta memiliki banyak tingkatan dan ekspresi yang mencerminkan kedalaman perasaan seorang pecinta. Kita mulai dengan kata al-hiyam (الهيام), jenis cinta paling intens.
Ada cinta yang begitu dahsyat hingga melampaui akal, menghapus batas antara ada dan tiada. Ia bukan sekadar rindu, bukan sekadar kerinduan yang dapat diredakan oleh pertemuan. Ia adalah api yang tak pernah padam, haus yang tak pernah terpuaskan. Dalam bahasa Arab, cinta ini disebut al-hiyam, cinta yang membuat seorang pecinta mengembara tanpa tujuan, tersesat dalam pencarian yang tiada akhir.
Hiyam adalah cinta yang kehilangan arah. Seperti unta di padang pasir yang kehausan, ia terus berjalan, mencari sumber air yang selalu menjauh dari genggamannya. Bayangan oasis di kejauhan tampak begitu nyata, tetapi setiap kali ia mendekat, yang ada hanya hamparan pasir yang membakar. Begitulah seorang pecinta yang dilanda hiyam, ia mengejar kekasihnya, tetapi semakin ia berlari, semakin jauh yang dicinta darinya.
Dalam tasawuf, hiyam adalah perjalanan ruhani yang menyakitkan. Para sufi memandang manusia sebagai musafir yang terus berjalan menuju Tuhan, dan dalam perjalanan itu, ia akan merasakan dahaga yang tiada habisnya. Rabiah al-Adawiyah sering mengungkapkan perasaan ini dalam syairnya, di mana ia merasa terbakar oleh cinta kepada Allah, namun tidak dapat menemukan ketenangan kecuali dalam-Nya.
Di malam-malam yang sunyi, seorang pecinta yang dirundung hiyam akan mendongak ke langit dan bertanya,
“Di manakah Engkau? Mengapa Kau tinggalkan aku dalam kobaran api rindu ini?”
Tetapi langit tetap diam, tak ada jawaban selain gema suaranya sendiri yang memantul di dinding keheningan. Ia terus berjalan, melintasi lembah rindu dan bukit-bukit duka, menapaki jalan yang penuh luka, mencari sesuatu yang ia tahu tak akan pernah bisa ia miliki. Namun, ia tidak bisa berhenti. Karena dalam hiyam, berhenti berarti mati.
Maka begitulah cinta dalam bentuknya yang paling purba—ia menjadikan seorang pecinta lebih dari sekadar manusia, tetapi kurang dari sesuatu yang bisa disebut hidup. Ia bukan lagi dirinya sendiri, tetapi juga belum menjadi Kekasihnya. Ia hanya seorang musafir, berjalan di jalan yang tak pernah berujung.
“Dan di jalan ini, aku tidak mencari perhentian. Aku hanya mencari jejak-Nya di setiap langkah kepergianku.”
Contoh Syair Arab tentang Al-Hiyam (الهيام) dalam Cinta
Makna “al-hiyām” (الهيام) dalam puisi Arab klasik merujuk pada cinta yang amat mendalam, kerinduan menggelora bak dahaga di padang pasir yang membuat sang pecinta “hā’im” (tergila-gila, kehilangan arah). Para penyair sufi menggunakan kata ini untuk menggambarkan isyq ilāhī – cinta dan rindu yang menggebu kepada Tuhan. Berikut beberapa contohnya dari syair sufi klasik yang otentik, lengkap dengan teks Arab berharakat dan terjemahan puitis Bahasa Indonesia:
1. Ibn al-Fāriḍ (w. 632 H/1235 M) – “Sulūk al-Hiyām” (Nazm al-Sulūk)
أَرُوحُ بِقَلْبٍ بِالصَّبَابَةِ هَائِــمٌ * وَأَغْدُو بِطَرْفٍ بِالْكَآبَــةِ هَــامٍ
وَشَأْنِي بِشَأْنِي مُعْرِبٌ وَبِمَا جَرَى * جَرَى، وَانْتِحَابِي مُعْرِبٌ بِهَيَامِي
“Kala senja hatiku mengembara mabuk kepayang,
pagi datang mataku basah murung merana.
Keadaanku telah menjelaskan segalanya yang berlangsung –
isak tangisku membuka rahasia gila cintaku.”
(Sumber: Dīwān Ibn al-Fāriḍ – Nazm al-Sulūk ).
Dalam bait di atas, Ibn al-Fāriḍ (dijuluki Sulṭān al-‘Āshiqīn, “Raja para Pecinta Tuhan”) menyebut kata “hiyām” secara eksplisit. Ia melukiskan dirinya bagai pengembara yang hilang arah karena “ṣabābah” (asmara) dan “kā`ābah” (duka nestapa), di mana tangis rindu yang tak tertahan menjadi bukti kegilaan cintanya kepada Hadirat Ilahi .
2. Abū Madyan (w. 594 H/1198 M) – Qaṣīdah Khamriyyah Ilāhiyyah
لَمَّا دَنَا مُوسَى إِلَى تَسْــمَاعِهَا * أَلْقَى الْعَصَا فَتُكَسَّرَتْ أَلْـوَاحُ
وَغَدَا ابْنُ مَرْيَمَ فِي الْهَوَى هَائِمًــا * فَهُوَ الَّذِي بِشَرَابِهَا سَيَّــاحُ
“Tatkala Musa mendekat ingin mendengar bisikan Anggur Cinta-Nya,
dilemparkannya tongkat – lembaran wahyu pun pecah berantakan.
Dan Putera Maryam pun terhanyut dalam cinta hingga hilang arah,
dialah musafir dahaga peneguk Anggur Ilahi ke mana pun berjalan.”
(Sumber: Dīwān Abū Madyan – Qaṣīdah “Qum yā Nadīmī ilā al-Madāmah” ).
Abū Madyan al-Ghawth, seorang wali sufi Maghrib, dalam syair khamriyah (metafora “anggur” cinta Ilahi) di atas, menggunakan kata “hā’im” (derivasi hiyām) untuk menggambarkan Nabi ‘Īsā (Yesus) yang tenggelam dalam kerinduan Ilahi. Syair ini menyebut bagaimana para nabi pun “mabuk” cinta Tuhan: Musa sampai terpana meletakkan mujizatnya, dan ‘Īsā mengelana dalam keadaan hā’im (tersihir cinta), senantiasa mencari “minuman” cinta-Nya . Penggunaan kata هائم (hā’im) di sini menegaskan bahwa kerinduan kepada Tuhan bisa begitu dahsyat hingga membuat jiwa hilang dalam keasyikan cinta (haīmān).
3. Ḥusayn ibn Manṣūr al-Ḥallāj (w. 309 H/922 M) – Syathiyyāt (Ungkapan Ekstatis)
وَاللَّهِ لَوْ حَلَفَ العُشَّاقُ أَنَّهُمُ * مَوْتَى مِنَ الحُبِّ أَوْ قَتْلَى لِمَا حَنَثُوا
قَوْمٌ إِذَا هُجِرُوا مِنْ بَعْدِ مَا وُصِلُوا * مَاتُوا وَإِنْ عَادَ وَصْلٌ بَعْدَهُ بُعِثُوا
تَرَى المُحِبِّينَ صَرْعَى فِي دِيَارِهِــمُ * كَفِتْيَةِ الْكَهْفِ لاَ يَدْرُونَ كَمْ لَبِثُوا
“Demi Allah! Andai para pecinta bersumpah bahwa mereka mati oleh cinta,
atau tewas di altar kasih, tiadalah sumpah itu dusta belaka.
Kaum pecinta – bila tercerai setelah perjumpaan – sontak wafat,
namun andai sang Kekasih kembali, merekapun bangkit hidup semula.
Lihatlah para pengasih tergeletak di ambang pintu rumahnya,
bagai Ashabul Kahfi – tak sadar sudah berapa lama terlelap cinta.”
(Sumber: Dīwān al-Ḥallāj ).
Al-Ḥallāj, sufi martir terkenal, melukiskan hal (keadaan ekstasis) para pecinta Tuhan. Meskipun bait di atas tidak menyebut kata “al-hiyām” secara langsung, suasananya penuh nuansa “hiyām”: cinta Ilahi yang begitu ekstrem hingga seolah-olah membunuh sang pecinta lalu menghidupkannya kembali. Para ‘ushshāq (pecinta Tuhan) digambarkan tak ubahnya pemuda-pemuda Kahfi yang fana dalam cinta dan lupa diri karena lama tenggelam dalam kecintaan kepada-Nya .
Sufi Lainnya dan Catatan tentang Rūmī
Para sufi klasik lain juga kerap memakai idiom “al-hiyām”. Misalnya, Sumnūn al-Muḥibb (w. 298 H) dijuluki “Sang Pecinta” karena syair-syair rindu ilahinya. Begitu pula ungkapan masyhur yang dinisbatkan kepada Rābi‘ah al-‘Adawiyyah: “Ilāhī, ana fī hiyāmin ilayka…!” (“Tuhanku, aku tenggelam dalam hiyām kepada-Mu!”) – meski bersifat legendaris, ini menegaskan konsep cinta-ilahi-majnun dalam khazanah sufi.
Adapun Jalāluddīn Rūmī (w. 672 H/1273 M), ia menulis dalam bahasa Persia sehingga kata “al-hiyām” jarang muncul secara literal dalam teks aslinya. Namun, tema serupa terungkap dengan istilah lain. Contohnya, Rūmī menggambarkan rindu Ilahi sebagai “ḥayrān” (kebingungan takjub) dan “dīwānagī” (kegilaan cinta). Terjemahan Arab modern atas ghazal Rūmī kerap menggunakan padanan “haymān” atau “hiyām” untuk mengekspresikan mabuk cinta spiritualnya. Hal ini menunjukkan bahwa semangat “al-hiyām” – cinta Ilahi yang membara dan meresahkan jiwa – meresapi puisi sufi lintas bahasa dan zaman.
Bagaimana? Sudahkan bulan Ramadan ini membuat dirimu tenggelam dalam cinta pada level al-Hiyam?
Mumpung kita masih di bulan cinta (Ramadan), nantikan pembahasan kata-kata cinta berikutnya dalam kosa kata Arab berikut syairnya yang penuh dengan gelora cinta.
KH Nadirsyah Hosen, Dosen di Melbourne Law School, the University of Melbourne Australia
Terpopuler
1
Lazuardi Al-Falah Serahkan Zakat, Infaq, dan Sedekah Siswa kepada LAZISNU Kota Depok
2
Kemenag Targetkan BOS dan PIP Santri Rp230 Miliar Cair Sebelum Lebaran
3
Menyoal Legalitas Panitia Zakat Fitrah di Masjid Kampung
4
Kurangi Sampah Lebaran, Ketua LPBINU Jabar Ajak Masyarakat Bijak Kelola Lingkungan
5
Santunan Ramadhan DKM Al Hidayah: 114 Anak Yatim dan Duafa Terima Bantuan
6
Timnas Indonesia Menang 1-0 atas Bahrain di Kualifikasi Piala Dunia 2026
Terkini
Lihat Semua