• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Jumat, 26 April 2024

Kuluwung

Dongeng Enteng dari Pesantren (8): Bergunjing

Dongeng Enteng dari Pesantren (8): Bergunjing
ilustrasi: NU Online
ilustrasi: NU Online

Oleh Rahmatullah Ading Afandie

Sepertinya tak ada hal yang paling gampang dan disukai selain bergunjing menceritakan kejelekan orang lain. Kalau bergunjing, rasanya waktu berjalan begitu cepat dan rasanya sangat betah. Saking asyiknya, para orang-orang yang sedang bergunjing seperti tak mau menggeserkan pantat sama sekali.  

Karena itulah, saat ngabuburit, bergunjing adalah perkara penting dan rutin. Tidak hanya perempuan, tapi juga laki-laki meskipun perempuan, konon, memiliki kebiasaan bergunjing lebih besar daripada laki-laki.

Dalam sebuah dongeng, beberapa perempuan berkumpul. Kemudian beberapa perempuan pulang ke rumah masing-masing, yang tersisa tiga orang. Ternyata, yang seorang pun kemudian menyusul pulang. Hanya dua orang yang masih bertahan.

Kemudian salah seorang perempuan, si pemilik rumah berkata kepada perempuan yang bertahan. 

"Enak ya kamu mah meninggalkan rumah dalam waktu lama, padahal di rumah banyak anak-anak yang mesti diurusi,” kata pribumi. 

“Jelas di rumah banyak pekerjaan,” jawab si tamu. Malah saya belum masak sama sekali. Saya juga berniat hendak pulang dari tadi, tapi takut,” lanjutnya.

“Takut apa? kenapa?” tanya pribumi.

"Begini,” jawabnya, "Dari tadi kan saya ikut ngobrol di sini, tiap orang yang pulang duluan, kita menggunjingkannya. Tiada seorang pun yang tidak kita bicarakan. Karena itulah saya harus pulang paling terakhir. Jadi, kalau pulang paling akhir, saya tidak akan diperbincangkan seperti yang pulang duluan..." jelasnya. 

Begitulah bergunjing, hal yang sebenarnya dilarang.

Ajengan saya pernah berkata, "Di waktu hari akhir, yakni yaumul qiyamah, kita akan berjumpa dengan orang-orang yang berlidah panjang. Ada yang panjangnya hingga seratus depa. Karena tidak nyaman dengan lidahnya sendiri, orang-orang itu mengguntingnya. Darah pun berhamburan dari lidah itu sampai memenuhi tubuhnya. Namun, lidah yang dipotong tersebut kemudian seolah tumbuh lagi, dipotong lagi, tumbuh lagi, terus menerus seperti itu. Orang yang demikian itu, saat di dunianya, senang membicarakan orang lain. Nabi Muhammad pernah menyaksikan semacam itu saat ia melakukan mi’raj."

Masih kata ajengan, "Bergunjing itu sangat dekat dengan fitnah, sementara fitnah, di dalam Al-Quran disebutkan lebih kejam dari membunuh,” katanya.

Ajengan menceritakan hal itu bukan di pengajian, tapi saat ia dicukur oleh Mang Harun di gardu. Kebiasaan ajengan adalah dicukur hingga plontos. Waktu itu, aku dan beberapa santri sedang ngabuburit di gardu. 

“Hati-hati, anakku, saat bulan puasa harus menghindari maksiat. Jangan sampai bergunjing sebab sangat jelek di mata Allah. Bergunjing bukan dosa kecil,” tegas ajengan sambil menikmati pisau cukur Mang Harun di kepalanya. 

“Iya, ajengan,” kata Mang Harun. “Saya tak mengerti kenapa orang-orang senang bergunjing. Kemarin di sini saya sampai kesal mendengarkan si Aceng dan si Kosim yang bergunjing tentang Kang Suta. Kenapa kedua santri itu senang banget menceritakan orang lain."

“Iya bergunjing bagi si Aceng sudah seperti pekerjaan,dilakukan dimana-mana. Sepertinya tak ada obrolan tanpa menceritakan orang lain. Padahal dia anak yang tak bisa apa-apa. Tiga bulan belajar Hidayatul Mustafid tak pernah paham sama sekali. Padahal apa susahnya Hidayatul Mustafid," kata Mang Udin.

"Iya, kata ajengan. “Saat membaca juga dia masih belum terampil.”

"Tapi kenapa ya kemarin si Aceng berbusa-busa menjelekkan kang Suta yang bodoh?" tanya Mang Harun.

"Ah, susah mencari orang yang menyebalkan seperti si Aceng mah, sebelas dua belas dengan si Kosim mah. Dua-duanya menyebalkan. Kemarin, dia menertawakan saya karena memiliki koreng. Padahal dia juga dulu punya. Sekarang memang sudah sembuh,” timpal si Usup.

"Hmmm, Udin, seharusnya si Aceng jangan dibiarkan seperti itu. Kita akan terbawa berdosa kalau membiarkannya," kata Ajengan.

"Perilakunya jelek, Ajengan. Kalau diberi tahu, dia malah melawan," jawab Mang Udin. 

Ketika ajengan hampir selesai dicukur, Si Usup pergi dari situ sembari mengatakan bahwa dia akan pergi ke Juragan Jurutulis Zakat sebab punya kerjaan untuk membantu membuat tangga.

"Si Usup juga sering bergunjing," kata Mang Udin setelah Si Usup pergi.

"iya, dan sepertinya jarang shalat," kata Ajengan.

"Dan sepertinya songong," timpal Mang Harun. 

Aku yang dari tadi mendengarkan semuanya berniat untuk pergi untuk melanjutkan membuat joran yang tertunda.

“Saya tidak suka kepada santri yang baru saja pergi, yang tadi duduk di atas kentungan,” kata Mang Udin. Aku masih mendengarnya karena belum jauh. Tentu saja yang dimaksud Mang Udin adalah aku. 

"Begini Mang Harun, ketika saya ke empang...", sampai di situ pendengaran saya atas perkataan Mang Udin.

Lalu bagaimana denganku yang menceritakan mereka dengan tulisan. Tidak, aku tidak bergunjing. Ini hanya menceritakan orang yang menceritakan kejelekan orang lain.

Cerpen ini diterjemahkan dari bahasa Sunda ke dalam bahasa Indonesia oleh Abdullah Alawi dari kumpulan cerpen otobiografis Dongeng Enteng ti Pesantren. Kumpulan cerpen tersebut diterbitkan tahun 1961 dan memperoleh hadiah dari LBBS di tahun yang sama. Menurut Adun Subarsa, kumpulan cerpen tersebut digolongkan ke dalam kesusastraan Sunda modern sesudah perang. 

Nama pengarangnya Rahmatullah Ading Afandie sering disingkat RAF. Ia lahir di Ciamis 1929 M. Pada zaman Jepang pernah nyantri di pesantren Miftahul Huda Ciamis. Tahun 1976, ia muncul dengan sinetron Si Kabayan di TVRI, tapi dihentikan karena dianggap terlalu tajam mengkritik. Ketika TVRI cabang Bandung dibuka, RAF muncul lagi dengan sinetron Inohong di Bojongrangkong.

 

 


Kuluwung Terbaru