• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Senin, 29 April 2024

Tokoh

Asrul Sani: Membincang NU hingga ke Ranjang

Asrul Sani: Membincang NU hingga ke Ranjang
Asrul Sani
Asrul Sani

Oleh: M. Sakdillah

Mutiara Sani Sarumpaet, istri almarhum Asrul Sani, berkisah bahwa suaminya sering membicarakan NU sampai dibawa di ranjang.

Pada awal tahun 1930an, seorang anak sedang menunggu kedatangan Tukang Kabar keliling yang biasa menggelar barang dagangan di Rao. Kampung istana di utara Sumatera Barat. Ia mengenakan baju Teluk Belanga bangsawan Minang dan Saluak berdasar songket yang miring ke kiri. Pada masa itu, Tukang Kabar seperti koran berjalan yang memberitakan perihal kejadian dan peristiwa dari satu tempat ke tempat lain secara simbolik. Semakin “up date” berita yang dibawa, semakin ramai pengunjung melingkarinya. Tantangan berat baginya adalah agar ia selalu dapat menyajikan berita-berita terbaru. 

Tukang Kabar itu akan membawakan cerita-cerita dengan polesan dan gaya bahasa yang lena. Syair dan dendang lagu lancar diucapkan, lantang, melebihi suara-suara pesuar manakala musim kampanye tiba. Ia mengulang-ulang syair yang dinyanyikan sehingga hapal di ingatan para pemirsanya. Tak jua gosip, Tukang Kabar akan menyelipkan ungkapan-ungkapan petuah dan tutur nasehat. Mengakhiri setiap cabarannya.

Si Anak yang kelak dikenal dengan nama Asrul Sani itu adalah putera seorang raja yang bergelar Sultan Marah Sani Syair Alamsyah Yang Dipertuan Padang Nunang Rao Mapat Tunggul Mapat Cacang. Ia lahir pada 10 Juni 1927. Ia hidup dari Adat Tinggi. Sebutan bagi kalangan bangsawan terpelajar yang tekun dan pandai mengaji di surau. 

Ayah Sani sering mengundang Tukang Kabar untuk menghibur dan mengisi kesenggangan waktu keluarga mereka. Sementara  ibunya adalah puteri Mandailing yang rajin membacakan kisah-kisah menjelang tidur, terutama “Surat kepada Raja” karya Robindranath Tagore, sahabat Ki Hajar Dewantara yang mendirikan lembaga pendidikan “Shantiniketan” di India.

Selepas usia asuhan, Sani si Anak Siak (santri) bersekolah di “Dar Al-Ashar”, sebuah madrasah yang sudah menggunakan program kelas dan kurikulum. Pendidikan dasar yang menguatkan memori dan membentuk karakter orang-orang Minang yang maju.

Politik Etis (Ethische Politiek) sedang digalakkan Pemerintah Hindia Belanda saat itu. Sejak 1901, Politik Etis  adalah bentuk penghalusan sebagai balas budi terhadap suku bangsa pribumi (Bumiputera) yang telah menyumbangkan materi, tenaga, dan pikiran bagi Kerajaan Belanda di Hollandia. Pada era Tanam Paksa (cultuurstelsel), Nusantara adalah wilayah yang telah memberi keuntungan besar bagi Kerajaan Belanda sehingga dikenal dengan sebutan “wingewest”.

Pada mulanya, gagasan Politik Etis tersebut diusulkan melalui tulisan Pieter Brooshoft (1845-1921), wartawan suratkabar “De Locomotief”. Setelah terjadi reformasi birokrasi yang menghendaki adanya sebuah lembaga perwakilan (parlemen), usulan Poltik Etis dilanjutkan oleh Kelompok Kiri yang diwakili oleh C. Th. Van Deventer (1857-1915) kepada Ratu Wilhelmina. 

Pada 17 September 1901, saat penobatan Ratu Wilhelmina, Deventer menyampaikan tiga kebijakan Politik Etis yang meliputi bidang irigasi, emigrasi, dan edukasi. Namun demikian, penerapan kebijakan tersebut telah disalahgunakan oleh pihak Gubernur Jenderal dan Parlemen (volsraad) di Hindia Belanda. Kebijakan irigasi justeru difungsikan untuk pengairan dan membangun sentra-sentra perkebunan baru; kebijakan emigrasi (transmigrasi) digunakan untuk memanfaatkan tenaga-tenaga murah manusia seperti dari Madura ke Banyuwangi atau dari Jawa ke Lampung; dan, kebijakan edukasi digunakan untuk menyiapkan tenaga-tenaga administratif terlatih di seluruh wilayah kekuasaan Hindia Belanda. Dalam suasana demikian, suatu kewajaran apabila sastra perlawanan kemudian muncul dan berkembang pesat di Sumatera Barat, seperti kisah kasih tak sampai yang menjadi tema yang digemari.

Pada 1933, Sani si Anak Bangsawan itu menempuh pendidikan di “Hollands Inlandsche School” (HIS) di Bukittinggi yang berjarak 100 kilometer dari Rao. Ia tinggal di asrama bersama kakak satu-satunya, Chairul Basri. Setamat dari HIS, Sani kemudian melanjutkan sekolah di “Koningin Wilhelmina School (KWS)” di Jakarta. Namun, ayahnya yang ingin Sani menjadi “Tukang Insiyur” dan bekerja di jawatan itu kandas. Sani tidak berbakat di bidang teknik dan lebih suka kebebasan.

Pada 1942, Sani pindah ke Taman Siswa yang ada di Jakarta. Di sekolah yang didirikan oleh Ki Hajar Dewantara ini, ia lalu bersahabat dengan Pramoedya Ananta Toer (PAT). Selesai menjalani pendidikan di Taman Siswa, Sani kemudian melanjutkan studinya di Perguruan Tinggi Kedokteran Hewan (IPB sekarang) di Bogor hingga mendapat gelar sarjana pada 1955. Selama perjalanan itu, Sani mengasah kemampuan menulisnya. Di kemudian hari, ia dikenal sebagai sastrawan, dramawan, dan akhirnya sutradara film. Selama 67 tahun (1959-1992), ia menghabaikan waktunya di dunia perfilman Indonesia.

Kegemaran Sani pada sastra telah menabalkan dirinya sebagai seorang penyair, cerpenis, penerjemah naskah-naskah mancanegara, dan penulis naskah-naskah drama dan film. Di bidang  sastra ini, Sani lebih dikenal sebagai esais handal. Kegiatan yang menjauhkan diri dari titel kesarjaannya. Bersama Chairil Anwar, Sani dikenal sebagai pelopor Angkatan ’45. Bersama Chairil Anwar dan Rivai Apin, Sani menerbitkan Antologi “Tiga Menguak Takdir” yang legendaris. 

Ketiganya kemudian menerbitkan sebuah manifes kebudayaan, Surat Kepercayaan Gelanggang, pada 22 Oktober 1950 yang dikonsep oleh Sani di Gelanggang, Stasiun Pasar Senen, Jakarta. Sebuah pernyataan dasar pedoman dan sikap dari anggota Gelanggang Seniman Merdeka.

Keterlibatan Sani secara intensif ke dalam NU ketika bersama Usmar Ismail dan H. Djamaluddin Malik mendirikan Lembaga Seniman dan Budayawan Muslimin Indonesia (Lesbumi) untuk mengambil jalan tengah (moderat) antara dua kelompok seniman dan budayawan yang sedang berseteru hangat kala itu, Lembaga Kesenian Rakyat (Lekra) dan Manifes Kebudayaan (Manikebu). Pada 24 Maret 1956, Lesbumi resmi menjadi lembaga aspirasi dan rekomendasi di bidang kebijakan strategi budaya NU. Di Lesbumi, Sani sebagai Ketua Redaksi menerbitkan media corong budaya NU yang diberi nama “Abad Muslimin”. 

Melalui Partai NU, Sani kemudian menapaki jenjang politik praktis. Sejak tahun 1966 sampai pada 1976, Sani menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mewakili warga NU. Ada beberapa posisi jabatan strtategis yang dipimpin olehnya kemudian seperti Dewan Kesenian Jakarta, Badan Sensor Film, Dewan Film Nasional, Rektor Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta (LPKJ) atau Institut Kesenian Jakarta (IKJ) sekarang, dan BP2N (Badan Pertimbangan Perfilman Nasional).

Penulis adalah Nahdliyin peminat kebudayaan dan keislaman, pernah nyantri di Tebuireng


Tokoh Terbaru