Pesta demokrasi kita hampir usai, akan tetapi seluruh proses demokrasi lima tahunan tersebut masih menyisakan pertanyaan besar terkait persoalan etik dan moralitas yang muncul begitu kuat di publik. Banyak suara dari berbagai elemen bangsa baik sebelum, ketika hingga setelah pencoblosan yang mempertanyakan aspek etika dan moralitas proses demokrasi ini.
Akan tetapi, bagi mereka yang berfikir bahwa demokrasi adalah penentu siapa yang menang dan kalah secara prosedural, pertanyaan-pertanyaan tersebut tentu saja tidaklah penting, bahkan kadang dipandang sebagai pengganggu bagi yang menang dan menjadi kendaraan gratis bagi yang kalah.
Terlihat jelas bahwa pandangan etik dan moral benar-benar menjadi masalah baik bagi yang menang dan bagi yang kalah, ketika demokrasi diperlakukan layaknya pertandingan tinju untuk menentukan siapa sang jawara. Padahal dilihat dari sisi urgensinya, agenda politik lima tahunan ini sangat menentukan bagaimana wajah bangsa ini lima tahun ke depan.
Baca Juga
Katanya Beras Mahal?
Hilangnya legitimasi etika dan moral menjadi modal yang sangat rapuh bagi pembangunan bangsa yang beradab sesuai dengan prinsip-prinsip yang terkandung dalam ideologi negara ini yaitu Pancasila.
Kemenangan Yang Bermoral
Melihat ini, saya terinspiriasi oleh tulisan Pangeran Hendriks Sang Pelaut (1820-1879), putra bungsu Raja Willem II (bertahta 1840-1849) dari Kerajaan Belanda yang dikutip secara panjang oleh Peter Carey dalam salah satu bab dari bukunya bersama Farish A. Noor yang berjudul Ras, Kuasa dan Kekerasan Kolonial di Hindia Belanda, 1808-1930 yang diterbitkan pada tahun 2022.
Tulisan Pangeran Hendriks tersebut merupakan bagian dari surat yang ia kirimkan ke ayahnya terkait bagaimana perlakuan pemerintah kolonial terhadap Pangeran Dipenogoro yang diasingkan ke Benteng Rotterdam Makassar. Surat itu sendiri berisikan kesan Pangaren Handriks setelah melakukan kunjungan ke “dua kamar yang panas dan menyedihkan” yang menjadi tempat tinggal pengasingan Pangeran Dipenogoro.
Di sini saya ingin menulis ulang apa yang dikutip oleh Peter Carey dari tulisan Pengeran Hendriks Sang Pelaut tersebut pada hal. 27-28, sebagai berikut:
“Semua orang tahu bahwa Diponegoro memberontak melawan kita, tetapi bagaimana cara ia ditangkap akan selalu, menurut hemat saya, menjadi sebuah aib atas pamor kita orang Belanda yang sejak dulu dikenal jujur dan menepati janji.
Benar dia adalah seorang pemberontak, tetapi dia datang menemui kita (di Magelang) untuk mengakhiri sebuah perang yang telah memakan begitu banyak korban jiwa di kedua belah pihak, dan apalagi dia datang untuk berunding karena dia mempercayai niat baik kita.
Kemudian dia ditahan atas perintah Jenderal (Hendrik Merkus) de Kock. Saya percaya bahwa urusan ini, yang telah menguntungkan pihak kita (berkaitan dengan kekuasaan kita atas keseluruhan Pulau Jawa), telah mengakibatkan kerusakan besar dalam artian moral, karena kalau, sialnya, kita terlibat lagi dalam peperangan (besar) di pulau Jawa.
Lalu apakah kita atau orang Jawa mengalami kekalahan, tidak akan ada seorangpun petinggi (orang Indonesia) yang bersedia menjalin hubungan dengan kita lagi, dan ini tidak akan hanya terjadi di pulau Jawa, tetapi akan terjadi pula di semua tempat (di seantero kepulauan Hindia Belanda).”
Tulisan yang bernada reflektif sekaligus protes di atas menunjukkan adanya kesadaran pada diri Pangeran Hendriks yang melihat perlakuan yang salah oleh pemerintah Kolonial terhadap Pangeran Diponegoro. Betul, ia mengakui bahwa penangkapan Pangeran Diponegoro berhasil menunjukkan akan kemenangan kekuasaan pemerintah Kolonial atas pulau Jawa secara keseluruhan.
Akan tetapi ia menggarisbawahi adanya kecacatan moral dalam perlakuan terhadap sang Pangeran Jawa yang gagah berani itu. Kecacatan moral ini dalam pandangan Pangeran Hendriks memiliki dampak yang jauh lebih luas dan dalam daripada kemenangan perang Jawa itu.
Pertama, kecacatan moral memunculkan pertanyaan mendasar terhadap prinsip dan nilai yang selama ini identik dengan Belanda yaitu jujur dan menepati janji. Kedua, kecacatan moral ini menjadi preseden buruknya citra dan reputasi orang Belanda dimana-mana.
Dengan kata lain, kemenangan adalah hal yang sangat diperlukan dalam situasi perang, akan tetapi prinsip moral dalam perang pun tetap harus dijaga dan dijunjung tinggi.
Sejarah memang kemudian menunjukkan bahwa Perang Dipenogoro sering menjadi rujukan bagi berbagai gerakan perlawanan khususnya di pulau Jawa, terhadap pemerintah Kolonial Belanda yang dipandang sangat negatif. Hal yang dalam banyak hal sangat berbeda dengan sebelum terjadinya Perang Dipenogoro.
Pada saat yang sama, bangsa Belanda sebagaimana bangsa Eropa abad 19 pada umumnya didominasi oleh pandangan rasis pada bangsa lain. Semangat perlawanan pribumi terhadap kesewenang-wenangan dan pandangan rasis pemerintah Kolonial Belanda telah menjadi jalan bagi tercapainya kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945.
Kejujuran dalam Demokrasi
Belajar dari catatan reflektif Pangeran Hendriks di atas, pesta demokrasi yang hanya didominasi oleh narasi menang dan kalah dan tidak memperdulikan aspek etika dan moral tentu saja akan dicatat dalam sejarah politik kita sebagai catatan hitam pelaksanaan demokrasi di negeri ini.
Jika itu terus yang dipelihara pada akhirnya muncul pertanyaan mendasar bagi masyarakat apakah masih diperlukan demokrasi yang niretika dan nirmoralitas ini diteruskan? Apakah masyarakat rela jika pemimpin yang dihasilkan lewat demokrasi model yang akan memandu kehidupan lima tahun kedepan?
Lebih jauh dari itu, jika ini yang terjadi, bolehkah Masyarakat juga menuntut untuk dibebaskan dari segala aturan yang berbasis pada etika dan moralitas. Sekali lagi jika ini yang terjadi, bagaimana wajah peradaban bangsa ini ke depan?
Dalam konteks inilah semua pihak terutama para aktor utama politik negeri ini untuk mengedepankan nilal dan prinsip kejujuran dalam berdemokrasi termasuk kerelaan untuk melakukan koreksi yang menyeluruh terhadap proses demokrasi yang ada guna melakukan perbaikan ke depan. Wallahu’alam.
Didin Nurul Rosidin, Direktur Pesantren Terpadu Al-Mutawally Kuningan, Wakil Ketua Syuriah PCNU Kuningan, Guru Besar IAIN Syekh Nurjati Cirebon
Terpopuler
1
Saat Kata Menjadi Senjata: Renungan Komunikasi atas Ucapan Gus Miftah
2
Susunan Kepanitiaan Kongres JATMAN 2024: Ali Masykur Musa Ditunjuk sebagai Ketua Pelaksana
3
Sungai Cikaso Meluap Akibat Tingginya Intensitas Hujan, Ratusan Rumah Terendam hingga Sejumlah Kendaraan Terbawa Arus
4
STKQ Al-Hikam Depok Gelar Lomba MHQ dan Debat Internasional, Ini Cara Daftarnya
5
Tanah Bergerak di Kadupandak Cianjur: LPBINU Jabar Turun Tangan Bantu Korban
6
Keabsahan Mukena Bermotif dan Warna-Warni dalam Ibadah Shalat
Terkini
Lihat Semua