• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Minggu, 28 April 2024

Sejarah

Tafsir Ngebakeun Pusaka Pangeran Papak Cinunuk Wanaraja Garut (2-Habis)

Tafsir Ngebakeun Pusaka Pangeran Papak Cinunuk Wanaraja Garut (2-Habis)
Keris Pasopati dipakai oleh putera Pangeran Papak, Rd Djayadiwangsa
Keris Pasopati dipakai oleh putera Pangeran Papak, Rd Djayadiwangsa

Selanjutnya kita adaptasikan ritual Mulud Ngebakeun Pusaka di Cinunuk kedalam alam pikiran primordial masyarakat Indonesia di atas. 


Pertama, mengapa yang dibasuh keris? Keris yang dimaksud di sini adalah keris tayuhan bukan keris biasa- merupakan benda pusaka yang mengandung daya-daya gaib yang tidak sembarang orang memilikinya. Keris dibuat dengan mempertimbangkan syarat-syarat mulai dari bahannya, pembuatannya, prosesnya, serta tempat dan waktu pembuatannya. Si pembuat keris (empu) adalah manusia yang ber-isi yang harus menjalankan ritual tertentu (semisal puasa, semedi, tirakat, dlsb) ketika akan, sedang, dan setelah membuat keris. Laku ritual dimaksudkan untuk menunggu “suara” keris atau “melihat” gambar keris yang akan ditayuh yang tentunya di luar kuasa si empu. Empu harus sabar, sumereh, menyepi, menutup diri dalam ruangan tertutup (gelap). Si empu harus meyakini bahwa keris yang dibuatnya itu benar-benar telah selesai.


Ritual pembuatan keris tayuhan menunjukkan struktur vertical manunggaling kawulo Gusti, yakni mendatangkan yang di atas ke bilah keris. Menurunkan yang transenden itu bukan kuasa manusia, melainkan karunia atau anugerah semata dari Dunia Atas. Kesabaran, kepasrahan doa, puasa, semedi, laku yoga, dilakukan manusia agar mendapatkan karomah. Sehingga, setelah karomah masuk dalam keris, maka keris akan menyebarkan barokah kepada pemilik dan manusia di sekitarnya.


Itulah sebabnya keris tayuhan setiap tahun, sekurang-kurangnya, harus dimandikan atau disucikan. Daya-daya transenden keris dapat “marah” kalau pemiliknya lupa merawatnya. Keris adalah jodoh pemiliknya. Bobot transenden keris harus seimbang dengan bobot batin pemiliknya. Keris dapat diwariskan, namun si pewaris harus jodoh dengan daya keris tadi. 


Keris yang tidak jodoh dengan pewaris dapat mendatangkan malapetaka, ibarat jodoh suami istri yang tidak cocok. Dengan demikian, keris tayuhan adalah pasangan oposisi bagi pemiliknya. Keris dan pemiliknya saling melengkapi (completio oppositorum). Keris dengan wadahnya yakni warongko diibaratkan wadah dan isi yang merupakan pasangan oposisi juga. Bobot warongko harus sesuai dengan bobot curigonya (keris). 


Sesuatu (malapetaka) pernah terjadi pada keris Pangeran Papak sebagaimana diungkapkan cicit Pangeran Papak yang juga sebagai kuncen makam yakni Raden Agus, bahwa pada satu waktu keris Pangeran Papak yang dinamai Pasopati pernah akan dipindahkan (dibawa) ke tempat di luar rumah Pangeran Papak. Namun apa yang terjadi? Keris tersebut batal dipindahkan karena pada saat itu, tiba-tiba terjadi kemacetan lalu lintas yang luar biasa yang mengakibatkan rombongan si pembawa keris tidak mampu melewati kemacetan itu. Ditambah lagi dengan adanya kegaduhan yang ditimbulkan oleh seekor kuda yang tampaknya tidak rela keris itu dipindah tempatkan. Dua peristiwa itu, mengingatkan kepada kita bahwa keris adalah jodoh bagi pemiliknya. Bobot keris harus seimbang dengan bobot si pemilik atau si pewarisnya. Begitu pula tempat keris harus jodoh pula dengan tempat si pemiliknya. 


Kedua, ritual Mulud Ngebakeun Pusaka di Cinunuk digelar setiap malam tanggal 12 Mulud. Mengapa waktu yang dipilih untuk membasuh keris pusaka adalah tanggal 12, tidak pada tanggal yang lain? Sementara ritual pembasuhan benda-benda pusaka sejenis yang tersebar di daerah lain ada yang dilaksanakan di tanggal 14 seperti Ngalungsur Pusaka di makam Raden Kian Santang Godog Karangpawitan Garut dan Ngaruwat Pusaka di Makam Syekh Arif Muhammad Kampung Pulo Cangkuang Leles, dan ada juga yang pelaksanaannya tidak terikat dengan tanggal, yang terpenting dilaksanakan pada hari Senin atau Kamis terakhir di bulan Mulud seperti halnya Nyangku di Panjalu Ciamis. Selain di Cinunuk, pembasuhan pusaka yang dilaksanakan pada malam tanggal 12 Mulud yakni pembasuhan pusaka Panjang Jimat di Keraton Cirebon. 


Kembali ke pertanyaan, mengapa pembasuhan pusaka di Cinunuk dilaksanakan pada malam tanggal 12 Mulud. Angka 12 merupakan angka keramat bagi kehidupan masyarakat primordial Sunda. Angka 12 berasal dari kelipatan 6. Angka 6 berasal dari kelipatan 3. Angka 3 inilah yang menjadi angka sakral di kehidupan masyarakat primordial Sunda. Angka 3 adalah Pola Tiga itu sendiri, yang kadang juga disebut Tritangtu Sunda. 


Pola tiga adalah struktur yang membangun pola pikir kebudayaan orang Sunda dalam berbagai hal. Misalnya, dalam memahami alam, orang Sunda membagi alam menjadi tiga: metafisik-mikrokosmos-makrokosmos/dunia atas-dunia tengah-dunia bawah/langit-manusia-bumi. Untuk hasil alam (tumbuhan/buah-buahan), orang Sunda membaginya dengan buah yang tumbuh jauh di atas pohon, merambat di permukaan bumi, dan tumbuh di bawah tanah. Begitupun dalam pembagian kekuasaan, orang Sunda mengenal 3 kekuasaan: resi-ratu-rama. Resi adalah pembuat kebijakan, hukum, atau tatakrama, ratu adalah pelaksana kebijakan, dan rama adalah penjaga kebijakan. Resi adalah pemilik kekuasaan yang tak bergerak (pasif), ratu adalah pelaksana kekuasaan yang bergerak (aktif), dan rama adalah penjaga kekuasaan. Pada perkembangannya resi-ratu-rama bertransformasi menjadi pesantren (ulama)-menak (pemerintahan)-rakyat. Dalam struktur kekuasaan negara resi-ratu-rama itu sama halnya dengan yudikatif-eksekutif-legislatif. 


Pemilihan pelaksanaan Ngebakeun Pusaka pada tanggal 12 Mulud bukan kebetulan. Tanggal 12 dan bulan Mulud dipilih karena merepresentasikan bilangan sakral orang Sunda. Bukankah Mulud itu merupakan bulan ke-3 yang secara hitungan masuk kategori bilangan sakral orang Sunda juga? Jika diperhatikan seutuhnya, ritual Ngebakeun Pusaka dilaksanakan untuk mengenang dan memperingati jejak perjuangan Pangeran Papak yang telah menyebarkan agama Islam di wilayah Cinunuk dan sekitarnya. 


Pertanyaannya, mengapa peringatan kelahiran Nabi Muhammad SAW tidak begitu mendominasi bagi keluarga Pangeran Papak? Justru yang mendominasi adalah peringatan terkait keberadaan leluhurnya (Pangeran Papak) sendiri yang tertuang dalam keseluruhan ritual Mulud dari mulai haul Pangeran Papak, terebangan mapag dan jajap Mulud, nyipuh, hingga Ngebakeun Pusaka. Adapun peringatan kelahiran Nabi Muhammad melalui pembacaan Al-Barzanji SAW hanya sebagai bagian dari pertunjukan terebangan mapag dan jajap Mulud saja. 


Saya kira, bagi keluarga Pangeran Papak, peringatan kelahiran Nabi Muhammad SAW bukan tidak terlalu penting. Bagi mereka, biarkanlah peringatan kelahiran Nabi Muhammad SAW diperingati di mana-mana. Namun, mereka sendiri mempunyai kewajiban untuk memperingati jejak perjuangan leluhurnya dalam menyebarkan Islam. Dari realita seperti ini kemudian muncul ungkapan “ulah nepi ka teu datang dina ritual Mulud mah. Teu ku nanaon teu datang ka Cinunuk dina Idul fitri atawa Idul adha. Dina Mulud mah wajib datang.Ungkapan ini memberi makna bahwa begitu pentingnya dalam menghormati jasa-jasa pendahulu dalam menyebarkan agama Islam yang sumbernya juga berasal dari Nabi Muhammad SAW sendiri. 


Ketiga, terkait air dari tujuh mata air Cimora yang digunakan untuk membasuh pusaka Pangeran Papak. Bilangan tujuh merupakan bilangan sakral dalam alam mistis primordial bangsa Indonesia. Biasanya bilangan tujuh juga ada dalam bentuk sesajian (baca:sesajen) seperti tujuh macam bunga, tujuh macam penganan, tujuh macam daun, dan tujuh macam bahan pokok bagi masyarakat tani--bukan sembilan bahan pokok--yaitu padi, palawija, buah dan sayur, daging, tuak/gula merah, garam (laut) dan yang paling vital air. Bilangan tujuh juga dipakai dalam penyebutan tujuh tingkatan keturunan, baik ke atas maupun ke bawah.


Penggunaan air dari tujuh mata air Cimora juga mengingatkan kita pada bilangan tujuh dalam Islam. Dalam Islam dikenal juga bilangan mistis tujuh seperti tujuh ayat (surat al-fatihah), akikah pada hari ketujuh, tujuh takbir pertama shalat id, pertanyaan kubur setelah tujuh langkah, tujuh neraka, tujuh air suci lagi mensucikan, tujuh putaran tawaf dan sa’i haji, tujuh kali pembasuhan untuk najis anjing dan babi, tujuh hari-tujuh malam, tujuh orang untuk kurban ternak sapi, kerbau, maupun unta, dan bilangan mistis angka tujuh-angka tujuh yang lainnya. 


Dari penjelasan di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa penggunaan air sebagai media pembasuhan pusaka Pangeran Papak bisa dikatakan sebagai bagian untuk mensucikan diri demi hadirnya berkah, keselarasan dan keselamatan dari daya-daya ilahiah. Menjadikan bilangan tujuh sebagai persyaratan dalam berbagai ritual primordial masyarakat Indonesia juga menjadi penegas terkait bilangan tujuh, bahwa bilangan tujuh merupakan bilangan sakral yang merata di segala kepercayaan di dunia. 


Keempat, kapas putih yang dilumuri minyak merah japaron. Ini jelas merupakan akar dari pikiran primordial masyarakata Indonesai dualisme-antagonistik atau completio oppositorum, bahwa keberadaan sesuatu merupakan pasangan-pasangan yang saling bersebrangan. Kapas putih simbol Dunia Atas, minyak japaron merah simbol manusia sebagai Dunia Tengah. Sementara yang menjadi simbol Dunia Bawahnya yaitu bumi tiada lain yakni keris itu sendiri yang berwarna hitam. Dengan demikian pola Tritangtu Sunda dalam ritual Ngebakeun Pusaka terpenuhi. Atas-Tengah-Bawah. Langit-Manusia-Bumi. Kapas-Minyak-Keris. Putih-Merah-Hitam. Cair-Cair/Padat-Padat. Perempuan-Perempuan/Laki-Lelaki.


Kelima, parupuyan dan kemenyan. Parupuyan merupakan perapian sebagai wadah pembakaran kemeyan atau dupa. Pembakaran yang menghasilkan asap berbau wangi, berarti medium inderawi terhubungnya dunia manusia dengan kosmologi Dunia Atas. Parupuyan dan kemenyan mengingatkan kita dalam ajaran Islam bahwa memakai wangi-wangian dianjurkan ketika akan melaksanakan ritual shalat. Begitu juga parupuyan dan kemenyan mengingatkan kita akan bukhur Arab yang sering dipakai ketika dalam ritual membersihkan areal bangunan Kabah. 


Keenam, sajian makanan: nasi putih, kuning telur, kacang hitam, kacang tanah merah. Struktur sajian makanan ini jelas mencerminkan pikiran Tritangtu Sunda. Nasi putih simbol dunia atas, kacang tanah merah simbol dunia tengah (manusia), kacang hitam simbol dunia bawah (bumi). Sementara kuning telur yang awalnya berasal dari telur melambangkan axis mundi (penghubung), karena telur itu mengandung tiga lapis, yakni kulit sebagai bumi, putih telur sebagai langit, dan kuning/merah telur sebagai dunia manusia. Jika diadaptasikan dari cara tanam, ketiga sajian itu juga melambangkan simbol Tritangtu Sunda, letak bulir padi menggantung di atas, kacang hitam letaknya merambat di permukaan bumi, kacang merah letaknya ditanam di dalam bumi. Keempat sajian itu juga melambangkan pola mancapat: hitam-putih-kuning-emas. Keempat warna ini kadang menjadi simbol untuk logam: besi (hitam)-perak (putih)-emas (kuning)-perunggu (merah). 


Ketujuh, sajian asakan: ketan bakar, pisang bakar, ubi kukus dan ketela rebus. Sajian ini jelas melambangkan Tritangtu dalam cara memasaknya yaitu dibakar-direbus-dikukus. Dipanggang (dibakar), yakni cara memasak yang kontak langsung dengan perapian. Dikukus yakni cara memasak dengan menggunakan air di atas panci. Direbus (dikulub) yakni cara memasak langsung dengan menggunakan air. Cara memasak seperti dikukus dan direbus yaitu cara memasak antara perapian dan bahan yang dimasak menggunakan bahan perantara seperti tempat memasak sejenis panci, wajan, dan yang lainnya, atau dengan kata lain cara memasak dengan cara dikukus dan direbus tidak kontak secara langsung dengan perapian.


Selain dianalisis dari cara memasaknya, sesaji jenis asakan ini juga dapat dilihat dari bagaimana keempat asakan tersebut ditanamnya. Dari sesaji ini, didapat dua bentuk cara tanam yaitu: pertama, cara tanam dengan biji; dan kedua, cara tanam dengan sirung (tunas) atau batang tumbuhan itu sendiri yang ditanam. Ketan (padi) termasuk dalam katagori cara tanam dengan biji, sedangkan singkong, ubi, dan pisang termasuk dalam katagori cara tanam sirung (tunas). Keempat jenis masakan tersebut ditinjau dari cara tanam  merupakan perpaduan yang saling berlawanan, namun menjadi berpasangan (seperti laki-laki dan perempuan) tidak terpisah. 


Alhasil, ritual Ngebakeun Pusaka Pangeran Papak di Cinunuk Wanaraja Garut bermakna bahwa bentuk, struktur, dan pola dari rangkaian prosesinya sebagai wujud ekspresi  cara berpikir masyarakat primordial dengan menciptakan kohesi sosial masyarakat dalam situasi, aktivitas, tujuan dan keyakinan yang sama. Hal ini juga sebagai cerminan upaya untuk mengaktualisasikan konsep berpikir Sunda Lama (Tritangtu) dalam hubungannya dengan pemahaman agama Islam.


Mengapa ritual Ngebakeun Pusaka Pangeran Papak tetap terlaksana dan begitu penting? Selagi masyarakat memandang ritual ini sebagai bagian untuk menunjukkan pola pikir masyarakat dalam menjunjung tinggi jejak leluhurnya dengan identitas keagamaannya, maka ritual ini akan tetap terlaksana. Wallahualam.


Referensi:
Jakob Sumardjo (2006) “Estetika Paradoks”: Sunan Ambu Press STSI Bandung.
Jakob Sumardjo (2013) “Simbol-Simbol Mitos Pantun Sunda”: Kelir Bandung.
Jakob Sumardjo (2014) “Filsafat Seni”: Pascasarjana STSI Bandung
Jakob Sumardjo (2015) “Sunda Pola Rasionalitas Budaya”: Kelir Bandung.
Jakob Sumardjo (2019) “Struktur Filosofis Artefak Sunda”: Kelir Bandung.


Rudi Sirojudin Abas, peneliti makam keramat Pangeran Papak Cinunuk Wanaraja-Garut. Hasil penelitian dapat dilihat pada tesis “Religiusitas Masyarakat Cinunuk Garut dalam Struktur Ritual Mulud: Pascasarjana ISBI Bandung, 2019.


Sejarah Terbaru