• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Senin, 29 April 2024

Sejarah

Tafsir Ngebakeun Pusaka Pangeran Papak Cinunuk Wanaraja Garut (1)

Tafsir Ngebakeun Pusaka Pangeran Papak Cinunuk Wanaraja Garut (1)
Keris Pasopati dipakai oleh putera Pangeran Papak, Rd Djayadiwangsa
Keris Pasopati dipakai oleh putera Pangeran Papak, Rd Djayadiwangsa

Menyaksikan ritual Mulud Ngebakeun Pusaka Raden Wangsa Muhammad (Pangeran Papak) di Cinunuk Wanaraja Kabupaten Garut pada 12 Rabiul Awal (Mulud) 1445 H menyisakan banyak pertanyaan. Apa makna ritual budaya yang sering dikaitkan dengan peringatan kelahiran Nabi Muhammad SAW itu? Mengapa struktur, pola, maupun perlengkapan ritual yang secara turun temurun tidak mengalami perubahan itu dikemas sedemikian rupa? Misalnya, gelaran waktunya dilaksanakan pada malam hari di tanggal 12, media yang dijadikan inti ritualnya adalah keris pusaka, tujuh mata air Cimora, kapas putih yang dilumuri minyak merah japaron, parupuyan, kemenyan, sajian makanan: nasi putih, kuning telur, kacang hitam, kacang tanah merah dan sajian asakan: ketan bakar, pisang bakar, ubi kukus dan ketela rebus. Apa makna dibalik itu semua dan sejauh mana kiranya masyarakat sebagai penyangga ritual Mulud memandang ritual itu penting untuk tetap dilakukan.


Jika beragam pertanyaan itu diajukan kepada masyarakat yang selama ini menjadi penyangga ritual Mulud, saya kira mereka akan menjawab bahwa kegiatan ritual Mulud memang begitu adanya. Mereka hanya mengikuti apa-apa yang telah digariskan dan diwariskan oleh para pendahulunya. Mereka percaya bahwa dengan melaksanakan ritual Mulud dengan tanpa banyak tanya tetap akan membawa keberkahan. Yang terpenting bagi mereka adalah mampu untuk tetap melakukannya tanpa berpikir ini itu. Bagi mereka, melaksanakan rutinitas ritual Mulud merupakan sebagai perwujudan kepatuhan diri mereka terhadap para leluhurnya. 


Memang demikianlah karakter masyarakat pedesaan (baca:primordial). Mereka akan melaksanakan begitu saja tentang apa yang harus dikerjakan dalam hidup ini, tanpa harus berpikir panjang mengapa setiap sesuatu harus dilakukan. Mereka hanya percaya bahwa apa-apa yang diperintahkan dan dilakukan oleh para orangtua (nenek moyangnya) sedari dulu akan memberikan manfaat bagi keberlangsungan hidup mereka. 


Berbeda halnya dengan orang-orang modern yang rasional (seperti halnya saya). Sepertinya begitu banyak makna yang kiranya menarik untuk diungkap dari perayaan ritual Mulud Ngebakeun Pusaka di Cinunuk. Bagi saya, dalam ritual Mulud Ngebakeun Pusaka terdapat beragam makna yang digambarkan melaui unsur-unsurnya sebagai sebuah perilaku simbolik yang harus diketahui oleh masyarakat, baik secara pribadi maupun kelompok. Setelah kita mengetahui makna dari ritual Mulud Ngebakeun Pusaka, barulah kita sadar mengapa ritual ini begitu sangat penting untuk dilakukan sehingga sampai sekarang masih tetap lestari. Namun, tidak demikian dengan masyarakat pedesaan, bagi mereka tidak begitu penting mengapa harus bertanya begini begitu jika toh pada akhirnya ritual Mulud akan membawa keselamatan dan keberkahan. 


Jika ditelusuri lebih jauh, untuk memahami makna dibalik semua unsur dari ritual Mulud Ngebakeun Pusaka, kita harus masuk ke dalam alam pikiran primordial masyarakat Indonesia. Menurut Jakob Sumardjo dalam buku Filsafat Seni (2014) bahwa inti dari keseluruhan budaya suku-suku primordial di Indonesia berpangkal pada pemahaman akan keberadaan segala sesuatu yang bersifat religio-magis. 


Yang dipentingkan dalam dunia ini adalah adanya daya-daya transenden ilahiah di dunia manusia, karena alam ilahiah, alam semesta, dan alam manusia menurut pikiran primordial suku-suku di Indonesia adalah sebuah satu kesatuan. Kehadiran daya-daya ilahiah (metakosmik) diperlukan untuk keselamatan, kesejahteraan, kesehatan, dan kebahagiaan hidup. Meskipun manusia bertanggung jawab atas keberlangsungan hidupnya, namun kesulitan-kesulitan hidup yang tak mampu dipecahkan manusia mesti memerlukan kehadiran daya-daya transenden keilahiahan. Oleh sebab itulah, maka segala sesuatu yang dilakukan dan dibuat manusia primordial Indonesia selalu didesain dan dipola sesuai dengan syarat-syarat kehadiran-Nya (Sumardjo, 2014).


Religiusitas masyarakat primordial Indonesia juga berpangkal pada faham dualisme-antagonistik atau completio oppositorum, bahwa keberadaan sesuatu merupakan pasangan-pasangan yang saling bersebrangan. Manusia dalam budaya primordial Indonesia (termasuk bangsa-bangsa lain di Asia Tenggara dan sebagian Asia) mempercayai bahwa segala sesuatu itu ada karena ada yang lain yang bersebrangan subtansinya dengan yang ada itu. Tidak ada terang kalau tidak ada gelap, tidak ada dingin tanpa panas, tidak ada panjang tanpa pendek, tidak ada lelaki tanpa perempuan, dan entitas pasangan-pasangan dualitas yang lainnya. Sementara, sesuatu yang yang tidak membutuhkan pasangan itu adalah hanya Yang Maha Esa yang tanpa pembedaan sehingga pasangan dualitas tidak berlaku bagi Yang Esa. 


Selanjutnya pasangan-pasangan yang subtansinya saling berbalikan itu harus  dipasangkan menjadi sebuah jodoh, baik dalam pertentangannya maupun dalam kesatuannya. Sehingga dalam realitanya, struktur artefak-artefak budaya yang dibuat oleh masyarakat primordial merupakan bentuk material sebagai wadah untuk menampung isi yang rohaniah spiritual. Karena gagasan dasarnya adalah untuk menghadirkan daya spiritual Yang Esa, maka artefak dan tingkah laku budaya masyarakat primordial selalu distruktur sedemikian rupa agar daya spiritual Yang Esa itu dapat hadir di dunia manusia melalui artefak-artefak wadah yang dibuatnya untuk mewujudkan keselamatan, kesejahteraan, dan kebahagian hidup di dunia ini.


Yang Esa itu tidak dipahami dalam konsepnya yang jelas, namun dipahami sebagai sesuatu yang adikodrati, yang transenden, penuh daya-daya gaib, tidak dualistik, sesuatu yang Kosong bagi manusia tetapi sejatinya adalah Isi sepenuh-penuhnya yang tak terbatas bagi Dia (Yang Esa) atau bagi yang Itu (Yang Esa juga). 


Dari pemahaman di atas, kemudian timbul dua pola dasar pikiran besar yang menstruktur setiap laku masyarakat primordial Indonesia. Dua pola besar itu yakni pola perang dan pola perkawinan. Dalam pola peperangan, kondisi dualistik harus dimenangkan salah satu pihak. Dualisme laki-laki lawan perempuan tinggal dimenangkan oleh laki-laki atau perempuan. Ada yang kalah dan ada yang menang. Yang satu mati yang satu lagi hidup. Kalau mau hidup maka harus mematikan salah satunya (oposisinya). Kematian adalah kehidupan. Inilah prinsip dominasi. 


Sebaliknya, pola perkawinan lebih berpihak pada hidup. Dualistik yang ada tidak dimatikan. Meskipun hidup memang dualistik dalam konflik, tetapi tidak ada satupun yang dibinasakan. Penyelesaiannya bukan dengan mematikan yang satu agar  yang lain tetap hidup, tetapi membiarkan kedua pasangan konflik tetap hidup. Jalan keluarnya yaitu dengan mengharmonikan, mengawinkannya. Harmoni tidak berarti meniadakan kedua pasangan, tetapi menciptakan entitas baru yang mengandung keduanya. Maka dalam pola ini, hidup itu melahirkan kehidupan, bukan mematikan. Hidup baru akan muncul apabila terdapat harmoni paradoks di antara keduanya. Kehidupan baru sebagai hasil harmoni yang paradoks di antara dua entitas selanjutnya disebut dengan dunia tengah (axis mundi) sebagai medium, jalan tengah terciptanya kehidupan baru dari dua entitas yang berbeda itu. Selanjutnya pola ini disebut dengan pola tiga. Pemikiran pola tiga hampir tersebar di seluruh wilayah Indonesia, terutama di masyarakat yang mengandalkan mata pencahariannya dengan berladang. Misalnya di Sunda (Priangan) pola tiga ini disebut dengan Tritangtu, di Ciptagelar Sukabumi dan Banten disebut Tilu Sapamulu, di Batak Toba disebut Dalihan na Tulo, di Minang disebut Tigo Tungku Sajarangan. 


Harmoni dalam pola perkawinan merupakan entitas tunggal yang mengandung hal-hal yang saling bertentangan. Maka muncullah “yang esa”, “yang tunggal” dan yang tunggal itu penuh paradoks dalam dirinya. Di sinilah daya-daya adikodrati transenden itu memasuki dua pasangan opisisi yang imanen. Sejatinya hidup itu paradoks, penuh pergolakan energi. Awalnya memang ada Yang Esa, Yang Tunggal, Yang Absolut. Yang Tunggal itu paradoks. Ia menyebabkan dirinya terpecah-pecah dalam fenomena dualistik oposisioner. Yang Esa menjadi plural. Yang plural masing-masing berpasangan secara oposisioner. 


Pasangan oposisi ini pada dasarnya saling membutuhkan dan saling melengkapi, karena memang asalnya dari “yang esa”. Yang esa penuh daya, yang plural tidak berdaya karena terpisah dengan pasangannya. Agar daya-daya esa itu muncul kembali, maka diperlukan penyatuan kembali dari dua pasangan entitas oposisi. 


Selain itu, ada dua pola budaya lagi yang menstruktur pemikiran masyarakat Indonesia yakni pola empat dan pola lima. Keempat pola budaya religo-magis itu didasarkan pada karakteristik kehidupan masyarakakat Indonesia yang sesua dengan mata pencaharian dari alam tempat tinggalnya yakni budaya peramu (hutan), budaya peladang (bukit), budaya petani (sawah), dan budaya maritim (laut). Kesemua pola budaya itu sumbernya tetap sama yakni faham dualisme antagonistik atau completion oppositorum, bahwa keberadaan ini merupakan pasangan-pasangan yang saling bersebrangan. (bersambung)


Rudi Sirojudin Abas, peneliti makam keramat Pangeran Papak Cinunuk Wanaraja-Garut. Hasil penelitian dapat dilihat pada tesis “Religiusitas Masyarakat Cinunuk Garut dalam Struktur Ritual Mulud: Pascasarjana ISBI Bandung, 2019.


Sejarah Terbaru