• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Jumat, 19 April 2024

Sejarah

Makna Kata Sunda

Makna Kata Sunda
Kampung Kasepuhan Ciptagelar Sukabumi (Dok. ciptagelar.info)
Kampung Kasepuhan Ciptagelar Sukabumi (Dok. ciptagelar.info)

Oleh Ayatrohaedi

Kamus Jawa Kuna susunan P.J. Zoetmulder mencantumkan jejar Sunda sebagai sebuah samawanda (=homonim). Jejar pertama diartikan 'bersandar', sedangkan jejar kedua dikaitkan dengan negara bernama Sunda (1851). Sementara itu, kata itu dalam bahasa Sansekerta sebagai bahasa "pemilik" awal kata itu, memberikan makna antara lain 'cahaya' dan juga 'air'.

Dalam kaitannya dengan widyanama, baik widyawasta maupun widyaloka, kita mencoba menyelusuri sejak kapan kata itu dikenal. Untuk itu sumber utama yang harus digunakan adalah berbagai sumber tertulis, baik yang berasal dari "dalam negeri" (dalam hal ini Tatar Sunda) maupun yang berasal dari "luar negeri" (luar Tatar Sunda, termasuk dari negara di luar Nusantara sekarang).

Bukti tertua "dalam negeri" adalah berita yang terdapat pada prasasti Kebonkopi 2 (Bogor) yang antara lain berbunyi ba(r)pulihkan haji sunda 'memulihkan raja Sunda'. Prasasti itu berangka tahun dalam bentuk candrasangkala yang berbunyi kawi haji panca pasagi. Para sarjana tidak sepaham mengenai pengangkaan candrasangkala itu. Mereka yang menganggap bahwa angka tahun itu harus ditafsirkan sebagai candrasangkala pada umumnya, menyimpulkan angka tahun itu 458 Saka atau 536 Masehi.

Namun, karena bentuk aksaranya dianggap terlalu tua untuk abad keenam, sarjana lain beranggapan bahwa candrasangkala itu penafsirannya harus dikecualikan dari yang biasa. Artinya, tafsirannya tetap dari depan sehingga diperoleh angka 854 Saka atau 932 Masehi. Prasasti berikutnya adalah prasasti Bantarmuncang yang dikeluarkan oleh Maharaja Sri Jayabhupati dari tahun 1030 Masehi. Prasasti itu antara lain menyebutkan, prahajyan sunda 'kerajaan Sunda', sementara rajanya berulangkali menyatakan diri sebagai haji ri sunda 'raja di Sunda'. Dalam pada itu juga ada sebuah prasasti dari Jawa Timur yang berdasarkan bentuk aksaranya diduga berasal dari zaman pemerintahan Erlangga, yaitu prasasti Horen yang antara lain menyebutkan satru sunda 'musuh (dari) Sunda'.

Prasasti Kebantenan yang dikeluarkan oleh Sri Baduga Maharaja (1482-1521) menyebutkan pendirian semacam kabuyutan, salah satunya bernama Sunda Sembawa. Padahal, dalam naskah Wangsakerta disebutkan bahwa Sunda Sembawa adalah anak raja Tarusbawa yang mati muda sehingga tidak sempat menjadi raja.

Selain dalam prasasti, kata Sunda juga ditemukan dalam sejumlah naskah, baik yang berbahasa Sunda maupun bahasa lain. Naskah-naskah itu di antaranya adalah Sanghyang Siksa Kandang Karesyan (1518) dan Carita Parahyangan (1580), sementara naskah yang lain kurang terlihat nilai sejarahnya. Naskah-naskah yang lain itu lebih berupa naskah agama atau ajaran mencapai kesejatian.

Selain itu, ada sejumlah berita asing yang juga menyebut Sunda atau ditafsirkan sebagai Sunda. Tome Pires (1513), misalnya, menyebut negara yang berkuasa di Jawa bagian barat dan mengadakan hubungan niaga dengan Portugis bernama regno de cumda 'kerajaan Sunda'. Demikian pula halnya dengan Antonio Pigafetta (1522) penyusun kamus Melayu-Italia yang mengembarkan bahwa Sunda adalah sebuah daerah yang banyak menghasilkan lada. Bahkan, Camoes, seorang penyair yang ikut dalam pelayaran keliling dunia Maglhaes dalam sajaknya hanya menyebutkan Sunda sebagai negara yang ketika itu ada di Nusantara. Mungkin ketika itu (1522) Majapahit memang sudah tumbang (1478), sementara Sunda baru runtag tahun 1579. Berita Cina dari zaman dinasti Ming (1368-1643) menyebutkan adanya negara bernama Sun-la yang ditafsirkan sebagai lafal Cina untuk Sunda.

Namun, jika embaran dalam Carita Parahyangan dapat dijadikan pegangan, kehadiran negara yang bernama Sunda itu seharusnya menjadi lebih tua. Naskah itu menyebutkan bahwa Sanjaya pergi ke arah barat (dari Galuh) dan menjadi menantu tohaan di sunda 'yang dipertuan, raja Sunda'. Raja Sunda itu bernama Maharaja Tarusbawa; dan jika Sanjaya disesuaikan dengan prasasti Sthirengga atau Canggal (732 Masehi), berarti nama Sunda sudah dikenal sekurang-kurangnya menjelang akhir abad ke-7. Menurut naskah Pangeran Wangsakerta, Maharaja Tarusbawa memproklamasikan berdirinya negara Sunda yang berdaulat dalam tahun 669 Masehi, segera setelah raja terakhir Tarumanagara meninggal dalam tahun itu.

Dalam pada itu, patut dicatat bahwa menurut naskah Wangsakerta itu, kata Sunda justru sudah digunakan sejak berdirinya kerajaan Tarumanagara. Naskah itu mengembarkan bahwa setelah naik takhta menggantikan ayahnya (1395), Purnawarman segera memindahkan ibu kota negara ke daerah di tepi laut. Ibu kota itu dinamakannya Sundapura 'kota Sunda', dan pemindahan itu terjadi antara tahun 395 dan 400 Masehi.

Berdasarkan semua itu dapat disimpulkan bahwa Sunda sebagai nama negara dikenal baik di dalam maupun di luar Nusantara. Nama itu sudah mulai dikenal sejak akhir abad keempat (naskah Wangsakerta), atau sekurang-kurangnya sejak abad keenam (Kebonkopi tafsiran umum), abad ke-10 (Kebonkopi tafsiran khusus), abad ke-11 (Bantarmuncang).

Nama yang sudah cukup tua itu, alangkah baiknya diikuti dengan prestasi gemilang dari mereka yang selama ini membanggakan kesundaan mereka.

Penulis adalah filolog, lahir pada 5-12-1939 dan wafat 18-02-2006

Artikel ini pernah dimuat dalam Pikiran Rakyat edisi cetak pada 26 Juni 2002.


Editor:

Sejarah Terbaru