• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Sabtu, 20 April 2024

Opini

KOLOM BUYA HUSEIN

Negara dan Agama dalam Pemikiran Kaum Muslimin (2)

Negara dan Agama dalam Pemikiran Kaum Muslimin (2)
Negara dan Agama dalam Pemikiran Kaum Muslimin (2)
Negara dan Agama dalam Pemikiran Kaum Muslimin (2)

Problem Penafsiran
Bagi saya problem masyarakat muslim, sepanjang sejarahnya, dalam kaitan hubungan agama dan negara dan dengan masalah kebudayaan secara umum adalah problem pembacaan atau pemaknaan atas teks-teks keagamaan. Saya kira pernyataan “tidak ada negara Islam” bukanlah semata-mata karena alasan bahwa teks-teks otoritatif tidak menyebutkannya secara eksplisit. Meskipun ada teks yang menyatakannya secara tegas sekalipun, tetap saja ada kemungkinan lahirnya pandangan yang plural. Apalagi al Qur-an yang oleh Ali bin Abi Thalib dinyatakan sebagai “hammal awjuh” (mengandung banyak dimensi). Teks-teks selalu mengandung sejumlah pemaknaan/pemahaman. Ini karena setiap teks apapun bentuknya tidaklah berdiri sendiri dan terlepas dari ruang dan waktunya.


Tiga atau dua pandangan di atas juga berangkat dari pilihan-pilihan interpretasi atas teks-teks agama. Dan yang lebih penting daripada itu adalah bahwa di balik pluralitas pemaknaan tersebut sesungguhnya terdapat kepentingan-kepentingan yang bersifat sosio-kultural dan selanjutnya adalah kepentingan ideologis atau politis.


Pada tataran teori pembacaan atau pemaknaan teks selalu terdapat dua aliran besar: formalis-tekstualis dan substansialis-rasionalis. Bagi teori pertama negara Islam itu ada dan menjadi tuntutan kaum muslimin untuk mendirikannya. Ini karena mereka melihat praktek kenegaraan yang dilaksanakan oleh Nabi dan para khulafa al-Rasyidin, misalnya. Bagi mereka pengalaman tersebut sudah cukup menjadi bukti bahwa negara Islam pernah eksis. Apa yang dilakukan Nabi dan para sahabatnya tersebut, menurut mereka, merupakan jawaban atau respon atas seruan Allah agar orang-orang Islam menjalankan hukum-hukum Allah sebagaimana dinyatakan dalam al Qur-an. Bagi mereka perintah penegakan hukum Allah tetap berlaku sepanjang masa dan di mana saja. Tetapi saya kira sistem pemerintahan masa Nabi dan khulafa al Rasyidin, bukanlah Dinastik, Imperium atau Kerajaan.


Sementara teori kedua melihat bahwa praktek kenegaraan awal Islam itu semata-mata karena tuntutan sosial budaya. Menurut pandangan ini kaum muslimin sesudah generasi itu tidak harus mengikutinya secara apa adanya, secara persis dan tekstual berkaitan dengan hukum-hukum agama. Itu adalah tidak mungkin. Hal ini karena bagaimanapun kehidupan manusia selalu dimanis, berkembang dan berubah. Karena itu hal yang paling penting adalah kepengikutan kepada Nabi dalam bentuk substansinya, bukan dalam bentuk formalnya. Dalam sejarah terbukti, apa yang pernah diputuskan bahkan dipraktikkan oleh Nabi, tidak selalu dapat dijalankan pada masa sesudahnya. Pada masa Umar misalnya, terdapat banyak kasus yang sama, tetapi Umar memutuskannya secara berbeda.


Meski begitu tetapi mempunyai tujuan yang sama. Contohnya adalah hukuman terhadap pencuri yang telah memenuhi syarat untuk dihukum potong tangan. Meski Qur’an menyebutkannya secara eksplisit, tetapi Umar tidak melakukannya. Pembagian harta rampasan perang bagi para prajurit yang disebutkan al-Qur’an dan dipraktikkan oleh Nabi, tidak dijalankan oleh Umatr bin Khattab, dan sebagainya. Hal ini karena kondisi sosial yang dihadapi Umar tidaklah sama dengan kondisi pada waktu Nabi masih hidup.


Menurut golongan ini substansi dari negara adalah sebuah instrumen bagi penegakan relasi-relasi manusia dan relasi-relasi sosial yang menjamin kemaslahatan (kebaikan dan kesejahteraan) bersama secara lahir dan batin. Sepanjang fungsi ini dipenuhi oleh negara, maka ia dapat berarti islami.


Saya sepenuhnya menyepakati pandangan terakhir ini. Ada pernyataan klasik mengenai ini. Imam al Syafi’i mengatakan : “la siyasah illa ma waafaqasysyar’. Abu al Wafa Ibnu Aqil, sesudah mengutip pandangan Imam Syafi’i tersebut mengatakan :


السِّيَاسَةُ مَا كَانَ فِعْلاً يَكُونُ مَعَهُ النَّاسُ أَقْرَبَ اِلَى الصَّلِاحِ وَأَبْعَدَ عَنِ الْفَسَادِ وَإِنْ لَمْ يَضَعْهُ الرَّسُولُ وَلَا نَزَلَ بِهِ وَحْيٌ. فَإِذَا أَرَدْتَ بِقَوْلِكَ لَا سِيَاسَةَ "اِلَّا مَا وَافَقَ الشَّرْعَ. أَىْ لَمْ يُخَالِفْ مَا نَطَقَ بِهِ الشَّرْعُ, فَصَحِيحٌ . وَإِذَا أَرَدْتَ بِقَوْلِكَ "لَا سِيَاسَةَ اِلّا مَا نَطَقَ بِهِ الشَّرْعُ فَغَلَطٌ وَتَغْلِيطُ لِلصَّحَابَةِ".


“Al-Siyasah (al-Syar’iyyah pen) – kebijakan publik/politik- adalah aturan berperilaku yang mengantarkan manusia (individual maupun kolektif) kepada kehidupan yang maslahat dan menjauhkan kerusakan, meskipun tidak ada aturan dari Nabi atau tidak ada ayat yang diturunkan. Jika anda mengatakan bahwa yang penting dalam kebijakan publik adalah yang sesuai, yakni tidak bertentangan dengan agama (syara’), maka anda benar. Tetapi jika anda mengatakan bahwa kebijakan publik harus sesuai dengan bunyi harfiyah teks maka anda bisa salah dan bisa menyalahkan para sahabat nabi”. (Ibn Qayyim, al-Thuruq al-Hukmiyyah fi al-Siyasah al-Syar’iyyah),


Ibnu al Qayyim kemudian mengomentari bahwa :


و هذا موضع مَزَلَّة أقدام ومَضَلَّة افهام, وهو مقام ضنك ومعترك صعب فرط فيه طائفة فعطلوا الحدود وضيعوا الحقوق وجرَّؤا أهل الفجور على الفساد وجعلوا الشريعة قاصرة لا تقوم بمصالح العباد, محتاجة الى غيرها. وسدوا على نفوسهم طرقا صحيحة من طرق معرفة الحق والتنفيذ له وعطلوها مع علمهم وعلم غيرها قطعا أنها حق مطابق للواقع ظنا منهم منافاتها لقواعد الشرع. ولعمر الله إنها لم تناف ما جاء به الرسول, وان نفت ما فهموه هم من شريعته باجتهادهم والذى اوجب لهم ذلك نوع تقصير فى معرفة الشريعة وتقصير فى معرفة الواقع وتنزيل احدهما على الاخر.


وأفرطت طائفة اخرى قا بلت هذه الطائفة فسوغت من ذلك ما ينافى حكم الله ورسوله. وكلا الطرفين أُتيت من تقصيرها فى معرفة ما بعث الله به رسوله وأنزل الله به كتابه. فإن الله سبحانه أرسل رسله وأنزل كتبه ليقوم الناس بالقسط وهو العدل, الذى قامت به الارض والسموات , فإن ظهرت أمارات العدل وأسفر وجهه بأى طريق كان فثم شرع الله ودينه,


Persoalan ini memang seringkali menimbulkan kekeliruan banyak orang, ia bisa menyesatkan dan bisa menimbulkan keresahan bahkan konflik sosial yang meluas. Ada orang-orang yang sangat dangkal dalam memahami agama sehingga mereka mengabaikan penegakan hukum atau membiarkan masyarakat melakukan kekerasan atas nama agama. Mereka memahami agama secara sempit sehingga agama tidak menjadi maslahat bagi masyarakat manusia. Pikiran mereka tertutup untuk menemukan jalan dan cara yang benar guna menemukan kebenaran dan melaksanakannya. Mereka mengabaikannya seraya menganggap apa yang dilakukan masyarakat tersebut menyalahi kaedah-kaedah agama, padahal, demi Tuhan, sama sekali tidak. Mereka manafikan hasil ijtihad para ulama sebagai bagian dari syari’at. Hal ini terjadi karena mereka berpikiran sempit dalam memahami syari’at, tidak memahami realitas dan latar belakangnya.


Ada kelompok yang lain berpandangan sebaliknya mereka bersikap permisif terhadap perilaku masyarakat. Dua pandangan tersebut sama-sama keliru dan memperlihatkan kedangkalan dalam memahami agama. Tuhan sesungguhnya telah mengutus para nabi dan menurunkan kitab suci-Nya untuk tugas dan fungsi menegakkan keadilan di antara manusia. Keadilan adalah pilar tegaknya bumi dan langit. Jika telah jelas ada indikator-indikator keadilan dan keputusan hukum yang adil telah menampakkan wajahnya, melalui cara apapun, maka di situlah agama Allah. Setiap cara atau jalan yang dapat menghasilkan keputusan atau aturan yang adil adalah agama Allah (syar’uhu wa diinuhu) dan tidak melanggar agama". (Al-Thuruq al-Hukmiyyah fi al-Siyah al-Syar’iyyah, hlm. 38-39. Baca juga, Ibn Qayyim, I’lam al Muwaqqi’in, IV, hlm. 372).


Bersambung.


KH Husein Muhammad, salah seorang Mustasyar PBNU


Opini Terbaru