• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Jumat, 29 Maret 2024

Hikmah

Hubungan Agama dan Negara

Hubungan Agama dan Negara
Hubungan Agama dan Negara (Foto: IG KH Ahmad Chalwani)
Hubungan Agama dan Negara (Foto: IG KH Ahmad Chalwani)

Agama dan negara merupakan dua hal yang saling melengkapi. Tanpa negara, agama tidak bisa dilaksanakan dangan maksimal. Begitu pula tanpa agama, negara tidak akan memiliki kontrol moral.


Menjalankan ibadah tentunya perlu kenyamanan, kemananan, dan kedamaian untuk menciptakan kualitas ibadah yang khusu. Salah satu faktor kenyamanan dalam beribadah yaitu dilaksanakan di tempat yang aman dan damai yang dalam hal ini yaitu dimana kita tinggal, negara maupun rumah. Kita tidak bisa beribadah dengan tenang jika kondisi negara sedang tidak stabil. Karena ibadah kita tidak bisa lepas dari stabilitas negara, maka menjaga keamanan negara adalah wajib. Dalam sebuah kaidah fiqih disebutkan:

 


مَا لَا يَتِمُّ الْوَاجِبُ إِلَّا بِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ 

 

Artinya: “Sesuatu yang menjadi penyempurna sebuah kewajiban, maka hukumnya juga wajib. Dari sini lah muncul sebuah konsep yang dinamkan nasionalisme atau mencintai tanah air. 

 

Salah satu ayat Al-Qur’an yang menjadi dalil relasi agama dan negara adalah surat Al-Qashash ayat 85:

 

 إِنَّ ٱلَّذِى فَرَضَ عَلَيْكَ ٱلْقُرْءَانَ لَرَآدُّكَ إِلَىٰ مَعَادٍ ۚ قُل رَّبِّىٓ أَعْلَمُ مَن جَآءَ بِٱلْهُدَىٰ وَمَنْ هُوَ فِى ضَلَٰلٍ مُّبِينٍ  

 

Artinya: “Sesungguhnya yang mewajibkan atasmu (melaksanakan hukum-hukum) Al-Qur’an, benar-benar akan mengembalikan kamu ke tempat kembali. Katakanlah: ‘Tuhanku mengetahui orang yang membawa petunjuk dan orang yang dalam kesesatan yang nyata.”


Imam Fakhruddin al-Razi dalam tafsirnya menjelaskan maksud kata ma’âd dalam ayat di atas kota Makkah, tanah kelahiran Nabi Muhamad SAW.  

 

Lebih tegas lagi, Syekh Ismail Haqqi Al-Hanafi Al-Khalwathi dalam kitabnya yang berjudul Rûḫul Bayân menjelaskan, ketika Rasulullah SAW sedang melakukan perjalanan hijrah ke Madinah, beliau sering membahas kecintaannya terhadap kota Makkah. Seolah beliau ingin mengatakan bahwa mencintai tanah air merupakan sebagian dari iman.

 

 وفي تَفسيرِ الآيةِ إشَارَةٌ إلَى أنَّ حُبَّ الوَطَنِ مِنَ الإيمانِ، وكَانَ رَسُولُ اللهِ – صلى الله عليه وسلم – يَقُولُ كَثِيرًا: اَلْوَطَنَ الوَطَنَ، فَحَقَّقَ اللهُ سبحانه سُؤْلَهُ ... قَالَ عُمَرُ رضى الله عنه لَوْلاَ حُبُّ الوَطَنِ لَخَرُبَ بَلَدُ السُّوءِ فَبِحُبِّ الأَوْطَانِ عُمِّرَتْ البُلْدَانُ 

 

Artinya: “Dalam penafsiran ayat tersebut (QS. Al-Qashash ayat 85), terdapat suatu petunjuk atau isyarat bahwa ‘cinta tanah air sebagian dari iman’. Rasulullah SAW (dalam perjalanan hijrahnya menuju ke Madinah) banyak sekali menyebut, ‘cinta tanah air, cinta tanah air’. Kemudian Allah mewujudkan permohonannya (dengan kembali ke Makkah)... Sahabat Umar berkata, ‘Jika bukan karena cinta tanah air, niscaya akan rusak negeri yang jelek (gersang). Sebab dengan cinta tanah air lah, negeri-negeri dibangun.” 

 

Setelah hijrah ke Madinah, beliau juga begitu mencintai negeri keduanya itu. Dalam beberapa riwayat dijelaskan bahwa Nabi juga sangat mencintai Madinah. Hal ini menunjukkan betapa Nabi tidak hanya aktif dalam mendakwahkan ajaran Islam, tetapi juga menjunjung tinggi nilai-nilali kebangsaan.  

 

Rasulullah sendiri pernah menjanjikan, barang siapa yang mengalami kesulitan di Madinah dan mau bersabar, niscaya anak mendapatkan syafa’at beliau kelak di hari kiamat. Beliau bersabda:

 

 الْمَدِينَةُ خَيْرٌ لَهُمْ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ، لَا يَدَعُهَا أَحَدٌ رَغْبَةً عَنْهَا، إِلا أَبْدَلَ اللهُ فِيهَا مَنْ هُوَ خَيْرٌ مِنْهُ، وَلا يَثْبُتُ أَحَدٌ عَلَى لَأْوَائِهَا وَجَهْدِهَا، إِلا كُنْتُ لَهُ شَهِيدًا أَوْ شَفِيعًا يَوْمَ الْقِيَامَة 

 

Artinya: “Kota Madinah lebih baik bagi mereka seandainya mereka mengetahui. Tidaklah seseorang meninggalkan kota Madinah karena benci kepadanya, kecuali Allâh akan menggantikannya dengan orang yang lebih baik darinya, dan tidaklah seseorang tetap tegar atas kesusahan dan kesulitan kota Madinah, niscaya aku akan menjadi saksi dan pemberi syafa’at baginya pada hari kiamat.” (HR. Imam Muslim) 


Dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indoesia, ulama-ulama kita sudah mencontohkan, bagiamana antara agama dan negara harus sama-sama diperjuangkan. Sehingga ulama-ulama Indonesia tidak hanya menguasai ilmu agama, tetapi juga memiliki semangat  kebangsaan yang luar biasa. 

 

Contohnya adalah semangat nasionalisme yang dimiliki Hadratussyaikh KH M. Hasyim Asy’ari dalam melawan penjajah. Ia mengeluarkan fatwa-fatwa yang dikenal sebagai ‘Resolusi Jihad’ yang disampaikan pada 22 Oktober 1945. Sekarang, tanggal itu diperingati sebagai Hari Santri Naional. 

 

Dalam catatan sejarah, pada 22 Oktober 1945 atau tepat setelah delapan minggu Indonesia merdeka, terjadi peperangan di Surbaya. Untuk mempertahankan kemerdekaan bangsa Indonesia, KH. Hasyim Asy’ari mengeluarkan fatwa untuk memobilisasi dukungan umat Islam. Ada lima butir fatwa yang ia keluarkan:


Kemerdekaan Indonesia yang diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus wajib dipertahankan. 
Republik Indonesia, sebagai satu-satunya pemerintah yang sah, harus dijaga dan ditolong. 
Musuh Republik Indonesia yaitu Belanda yang kembali ke Indonesia dengan bantuan sekutu (Inggris) pasti akan menggunakan cara-cara politik dan militer untuk menjajah kembali Indonesia. 
Umat Islam, terutama anggota NU harus mengangkat senjata melawan Belanda dan sekutunya yang ingin menjajah Indonesia kembali. 
 

Kewajibaan ini merupakan perang suci (jihad) dan merupakan kewajiban bagi setiap Muslim yang tinggal dalam radius 92 kilometer. Sedangkan mereka yang tinggal di luar radius tersebut, harus membantu secara material terhadap mereka yang berjuang.


Lima butir fatwa ini kemudian dikenal dengan Resolusi Jihad yang meyebabkan meletusnya pertempuran 10 November 1945 di Surabaya.


Editor: Abdul Manap
Sumber: NU Online


Hikmah Terbaru