• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Sabtu, 27 April 2024

Opini

KOLOM BUYA HUSEIN

Negara dan Agama dalam Pemikiran Kaum Muslimin (1)

Negara dan Agama dalam Pemikiran Kaum Muslimin (1)
Negara dan Agama dalam Pemikiran Kaum Muslimin (1)
Negara dan Agama dalam Pemikiran Kaum Muslimin (1)

Kaum muslimin sepakat bahwa mendirikan negara adalah wajib baik atas dasar syar’iy (aturan hukum agama) maupun aqli (akal pikiran). Abu al-Hasan Al-Mawardi, pemikir politik muslim klasik terkemuka dalam bukunya yang terkenal “al Ahkam al Sulthaniyah: mengatakan :


الاِمَامَةُ مَوْضُوعَةٌ لِخِلَافَةِ النُّبُوَّةِ فِى حَرَاسَةِ الدِّينِ وَسِيَاسَةِ الدُّنْيَا


“Kepemimpinan negara dibuat untuk menggantikan peran kenabian, yakni menjaga "Din"/agama (keyakinan personal) dan mengatur kehidupan dunia”. (hal. 3)


Pandangan yang sama juga dikemukakan Abu Hamid al-Ghazali dalam bukunya “al-Iqtishad fi al-I’tiqad”. Ia mengatakan:


اِنَّ السُّلْطَانَ ضَرُورِيٌّ فِى نِظَامِ الدُّنْياَ وَنِظَامُ الدُّنْيَا ضَرُورِيٌّ فِى نِظَامِ الدِّينِ وَنِظَامُ الدِّينِ ضَرُورِيٌّ فِى الْفَوْزِ بِسَعَادَةِ الآخِرَةِ وَهُوَ مَقْصُودُ الْاَنْبِيآءِ قَطْعاً. فَكَانَ وُجُودُ الْاِمَامِ مِنّ ضَرُورِيَّاتِ الشَّرْعِ الَّذِى لَا سَبِيلَ اِلَى تَرْكِهِ . الدِّينُ أُسٌّ وَالسُّلْطَانُ حَارِسٌ .


“Sultan (kepala Negara/pemerintahan) adalah keniscayaan mutlak dalam sistem dunia (pengaturan dunia). Pengaturan dunia adalah keharusan bagi berlakunya aturan agama, dan aturan agama diperlukan untuk memperoleh kebahagiaan hidup di akhirat. Itulah tujuan diturunkannya para nabi. Atas dasar itu, adanya kepala negara merupakan keharusan agama yang tidak bisa dibiarkan. Agama adalah dasar, sedangkan pengelola negara adalah penjaganya”.


Pertanyaan kita adalah bagaimana merumuskan prinsip ini dalam konsep hubungan antara agama dan negara. Mengenai ini para pemikir politik muslim mengajukan konsep yang berbeda-beda.


Kelompok pertama berpendapat bahwa Negara dan Agama harus menyatu (integratif). Agama dan negara tidak dapat dipisahkan karena agama dihadirkan Tuhan untuk mengatur tingkahlaku manusia baik secara personal maupun dalam berhubungan dengan sesamanya. Atas dasar ini maka, agama harus menjadi dasar negara secara formal. Dengan begitu tuntutan pendirian negara Agama adalah keniscayaan agar hukum-hukum Tuhan dapat diimplementasikan.


Argumen yang dikemukakan kelompok ini adalah bahwa otoritas pengaturan kehidupan ada di Tangan Tuhan, karena Dialah pemilik segala-galanya, termasuk manusia. Tuhan Maha Benar dan Maha Adil. Dia mengatur segala-galanya dengan adil dan benar. Sebaliknya, menurut mereka aturan-aturan (hukum-hukum) yang dibuat manusia bersifat relatif, kebenaran dan keadilannya tidak terjamin, karena ada keterbatasan-keterbatasan di dalam dirinya. Karena itu apapun yang dikatakan Tuhan dalam al Qur-an dan hadits nabi saw. haruslah diterapkan dalam kehidupan. Sementara aturan-aturan yang dibuat manusia tidak bisa dijadikan pegangan atau pedoman untuk kehidupan yang baik.


Pemikiran ini memperoleh landasan Teologisnya dari al-Qur’an antara lain:


اِنِ الْحُكْمُ اِلَّا لِلهِ, يَقُصُّ الْحَقَّ وَهُوَ خَيْرُ الفَاصِلِينَ


“tidak ada hukum kecuali milik Allah”/Yang menetapkan hukum hanyalah Allah.


وَاَنِ احْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللهُ وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللهُ فَأُولَئكَ هُمُ الْكَافِرُونَ


“siapapun yang tidak memutuskan hukum berdasarkan hukum-hukum Tuhan, maka mereka itulah orang-orang yang kafir”.


Pada ayat lain disebutkan : “……., maka mereka itulah orang-orang zalim”. Dan “…….., mereka itulah orang-orang yang fasik”.


Oleh karena itu, bagi golongan ini konsep warga negara harus didasarkan atas kesamaan keyakinan agama (Islam). Sementara warga negara non Islam tetap dijamin hak hidupnya, sepanjang mereka tidak melakukan penentangannya terhadap undang-undang Islam. Dalam wacana mereka umat non muslim dipandang sebagai ahl dzimmah (orang yang dilindungi). Mereka adalah kafir dzimmi. Mereka dibebaskan menjalankan ritus-ritus agama mereka, akan tetapi mereka adalah warga Negara kelas dua. Boleh jadi dalam konteks modern mereka sama dengan “orang asing” (WNA).


Dengan begitu konsep ini mengharuskan berlakunya sebuah sistem pemerintahan yang mendunia dengan kewarganegaraan yang dibatasi oleh agama/keyakinan, bukannya oleh kesatuan wilayah (geografis) dan identitas kultural pluralistik. Dalam tradisi politik Sunni sistem ini disebut “Khilafah”. Dalam Syi’ah disebut “Imamah”. Pemegang kekuasaan tertinggi disebut khalifah/al-Imam. Semua keputusan khalifah/Imam bersifat mengikat untuk semua kaum muslimin di manapun di dunia ini.


Sistem Pemerintahan seperti ini, telah berlangsung di dunia muslim selama berabad-abad. Sekitar 13 abad. Meskipun demikian, fakta sejarah, sejak kehancuran dinasti Abbasiah, 1260 M, telah terjadi pemerintahan-pemerintah kecil di berbagai wilayah, yang tidak tunduk pada kekuasaan pemerintahan pusat di Baghdad. Kekhilafahan beralih ke Turki Usmani. Keberadaannya juga demikian. Dengan berakhirnya kekuasaan dinasti Usmaniyah, usai perang dunia I, yakni sejak Kemal Attaturk membubarkan kekhilafahan Islam dan menggantinya dengan Republik Turki, tahun 1924, sistem khilafah ini praktis tidak ada lagi.


Pemikiran politik golongan ini pada dasarnya menginginkan kaum muslimin kembali pada situasi kehidupan politik pada awal Islam. Yakni kekhilafahan sebagaimana disebut di atas. Dewasa ini tuntutan ke arah ini tengah marak di sejumlah negara muslim. Ketertindasan dan ketidakberdayaan kaum muslimin menurut mereka karena mereka tidak berada dalam sistem Islam. Jargon mereka adalah “Islam adalah jalan keluar”. Artinya, system pemerintahan “Khilafah” adalah jalan keluar dari kemerosotan dan ketertindasan kaum muslimin.


Kelompok kedua berpandangan bahwa Agama dan negara adalah dua institusi yang saling mendukung dan membutuhkan. Simbiosa Mutualistik. Agama membutuhkan badan yang disebut negara, dan negara membutuhkan ruh yang disebut agama.


Imam Al-Ghazali menyebut agama dan negara bagai kembaran.


الدِّينُ وَالْمُلْكُ تَوْأَمَانِ مِثْلُ أَخَوَيْنِ وُلِدَ مِنْ بَطْنٍ وَاحِدٍ


“Agama dan Negara adalah kembaran, bagai dua saudara sekandung. (Al Tibr al Masbuk fi Nashihah al Muluk, hlm. 55)


Pikiran dasar kelompok ini adalah :


Sama seperti aliran yang pertama, hukum Tuhan adalah satu-satunya kebenaran dan berkeadilan mutlak. Akan tetapi, golongan ini tidak secara ketat menuntut agar agama secara formal menjadi dasar negara. Yang terpenting bagi mereka adalah bahwa hukum-hukum Tuhan atau Syari’ah diberlakukan dalam masyarakat. Dengan kata lain kaum muslimin dapat menjalankan ajaran agamanya dengan tenang dan aman. Negara tidak boleh melarangnya.


Juga sama seperti golongan pertama. Kedaulatan berada di Tangan Tuhan. Tetapi penafsirannya tidak terserah kepada “khalifah”, melainkan diserahkan kepada apa yang disebut Ahl al-Halli wa al-Aqd. Secara literal frase ini berarti orang yang memiliki kemampuan menyelesaikan dan merumuskan masalah/problem. Sebagian ulama menyebutnya Ahl al-Ikhtiar. Yakni orang yang mempunyai kemampuan memilih. Dalam pengertian konvensional klasik Ahl al-Halli wa al-‘Aqd, adalah mereka yang memahami hukum-hukum Islam. Mereka adalah para ahli agama Islam. Ini mengingatkan pada kebijakan Umar bin al-Khattab, yang membentuk tim seleksi yang terdiri dari enam orang tokoh terkemuka untuk yang bertugas memilih pemimpin penggantinya. Istilah ini sekarang boleh jadi identik dan menjadi dasar dari “lembaga perwakilan rakyat (parlemen)”.


Dalam banyak hal golongan ini sama dengan yang pertama, yakni bahwa urusan kenegaraan termasuk dalam urusan agama, atau sebagai bagian dari agama, bukan sebagai urusan duniawi semata-mata. Mereka juga dalam banyak pendapat menuntut pemberlakuan Syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya.


Kelompok ketiga memandang bahwa : Agama dan negara adalah dua sistem yang terpisah. Ini sering disebut konsep negara sekuler. Atau sistem pemisahan agama dari negara. Tetapi dalam dunia modern ia sering dan populer disebut negara demokrasi. Konsep ini mengatakan :


Negara dipandang sebagai urusan duniawi, bukan urusan agama atau keyakinan individual. Al-Qur’an dan hadits Nabi tidak menentukan bentuk negara/pemerintahan secara tegas (eksplisit). Keduanya hanya menyebutkan prinsip-prinsipnya, seperti keharusan penegakan hukum yang adil dan musyawarah (konsultasi public). Atas dasar ini, maka kaum muslimin dapat menentukan sendiri sistem kenegaraan sesuai dengan kondisi dan situasinya.


Pokok-pokok pikiran golongan ini adalah :

 
  1. Negara diperlukan karena tuntutan sosial-kemasyarakatan.
  2. Kedaulatan sepenuhnya berada di tangan rakyat.
  3. Mengakui realitas keberagaman (pluralisme) bangsa dan politik.
  4. Mendukung Nasionalisme ( negara bangsa /nation state )
  5. Kewarganegaraan dibatasi oleh wilayah geo-politik
  6. Bersifat lintas etnis, ras, agama, jenis kelamin, dsb.


Landasan Theologis :


وَلَوْ شَآءَ اللهُ لَجَعَلَكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلَا يَزَالًونَ مُخْتَلِفِينَ إِلَّا مَنْ رَحِمَ رَبُّكَ وَلِذَلِكَ خَلَقَهُمْ .{هود, 118}.


“Andaikata Tuhan menghendak, niscaya dijadikan-Nya manusia ummat yang satu. Tetapi mereka selalu saja berbeda-beda, kecuali orang yang dikasihi Tuhanmu. Dan untuk itulah Tuhan menciptakan mereka)”.(Q.S. Hud, 118).


وَلَوْ شَآءَ اللهُ لَآمَنَ مَنْ فِى الْاَرْضِ كُلُّهُمْ جَمِيعاً. أَفَأَنْتَ تُكْرِهُ النَّاسَ حَتَّى يَكُونُوا مُؤْمِنِينَ {يونس, 99}


“Dan andaikata Tuhanmu menghendaki, tentulah semua orang yang di muka bumi seluruhnya beriman. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya ?.


Kalimat Tanya di atas, tidak memerlukan jawaban, melainkan kalimat pengingkaran (istifham inkary). Yakni berarti kalian tidak boleh memaksa manusia agar semuanya beriman.


وَمَا اَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِين {الانبياء, 21}


“Dan Aku tidak mengutusmu (Muhammad) kecuali sebagai rahmat bagi alam semesta”. ( Q.S. al Anbiya, 21 ).


Dengan dasar pemikiran di atas mereka memandang peran dan fungsi agama adalah memberi dasar etis/moral bagi perundang-undangan negara. Hukum-hukum yang dihasilkan dari teks-teks agama tidak harus dimaknai secara skriptural, harfiah. Manusia dapat menyusun perundangan-undangan yang sesuai dengan konteks kehidupan mereka dan diambil dari sumber manapun sepanjang tidak bertentangan dengan nilai-nilai dasar dan landasan etis/moral universal. Nilai-nilai dasar universal itu antara lain adalah, kesetaraan (al-musawah), kebebasan (al-hurriyyah), keadilan (al-‘adalah), toleransi (al-tasamuh), persatuan (al-ittihad), persaudaraan (al-ukhuwwah) dan kepentingan publik (al-mashalih al-‘ammah).


Tentang tujuan agama tersebut kelompok ini belakangan sering mengutip pandangan Al Ghazali yang mengatakan : “ tujuan agama meliputi 5 hal : hifzh al din (perlindungan atas agama), hifzh al nafs (perlindungan atas jiwa), hifzh al aql(perlindungan akal pikiran), hifzh al-nasl/irdh (perlindungan reproduksi) dan hifzh al mal (perlindungan atas hak milik)”(Al Mustashfa III/ . Lima hal ini biasa disebut : “al Kulliyat al Khams“, atau “Maqashid al Syari’ah”. Dalam bahasa modern lima prinsip tujuan agama ini sering disebut sebagai Hak-hak Asasi manusia.


Pandangan golongan ketiga (terakhir) ini dikemukakan secara terbuka oleh antara lain Ali Abdul Razik melalui bukunya yang kontroversial : Al-Islam wa Ushul al-Hukm dan sejumlah tokoh Islam modern lainnya. Pandangan ini ditolak oleh para ulama konservatif dan tradisional.


Bersambung.


KH Husein Muhammad, salah seorang Mustasyar PBNU


Opini Terbaru