Opini

Gus Wahid: Pemikir dan Penggerak Yang Terlupakan II

Senin, 21 April 2025 | 06:00 WIB

Gus Wahid: Pemikir dan Penggerak Yang Terlupakan II

KH Wahid Hasyim. (Foto: Istimewa)

Oleh Bambang Q-Anees
(2) Gus Wahid memiliki artikel mengenai ‘Kebangkitan Dunia Islam’ adalah artikel pada Mimbar Agama Tahun II, No.3-4, Maret-April 1931. Artikel ini menyajikan beberapa pikiran dasar keislaman yang diyakini Gus Wahid.


Pertama, Gus Wahid mengemukakan bukti yang indah mengenai Islam sebagai agama yang didasarkan wahyu iIalhiah yang selaras dengan akal. Buktinya adalah kemampuan Ajaran Islam berkembang di daerah yang tandus dengan masyarakat yang terbelakang:


“Agama Islam telah lama berkembang di atas  dunia ini. Islam ibarat bibit sangat kuatnya. Sebab masyarakat  tempat Islam tumbuh, ibarat tanah, adalah sangat kurusnya . Biasanya  bibit ditanam di tempat  kering tidak tumbuh. Tetapi bibit Islam ditanam di masyarakat   yang  kurus dapat tumbuh dengan suburnya. Inilah satu bukti, bahwa Islam, adalah bibit yang  kuat, yang  dapat subur di tempat  kering, apalagi di tanah yang  subur.”


Kedua, Agama Islam menghargai akal dan mendorong pemeluknya untuk menyelidiki, memikirkan, dan mengkritisi segala ajaran Islam. Inilah tafsir Gus Wahid terhadap hadits” Tidak terdapat Agama, bagi orang tidak berakal”. Dorongan kritik diri ini menunjukkan kebenaran dalam diri ajaran Islam, “lslam tahu bahwa ajaran-ajarannya  adalah tahan uji, karenanya  ia tidak takut ajaran-ajarannya  itu diselidiki orang.


Ketiga, Islam sebagai bibit yang kuat karena memiliki ajaran Al-Qur’an (surat Al Imran ayat 159):


”Jika engkau telah mengambil kepastian, maka tawakkallah pada Allah”. Ayat ini membuat orang Islam tetap teguh pada ajaran Islam yang telah dipastikannya, kemudian “tiap-tiap orang Islam tidak akan kehabisan jalan. Sebab dengan begitu, kalau misalnya  pada suatu masa akal telah buntu, fikiran telah tertumbuk rationalisatie tidak dapat dipakai lagi, masih ada jalan yang  tidak dapat ditutup yaitu  jalan berharap pertolongan Allah”.


Ilustrasi atas pemikiran ini adalah saat Perang Badr yang digambarkan Gus Wahid secara bertahap:


“Mula-mula beliau mempergunakan akal dan pikiran. Beliau menduduki sumber air minum. Sebab di padang pasir yang  tidak berair, fihak yang  dapat menguasai sumber air tentu dapat bertahan lama. Akan tetapi akhirnya  ternyata, bahwa pasukan Islam yang  berjumlah 313 orang itu tidak akan mungkin menghadapi pasukan Quraisi yang  banyaknya  empat kali lipat. Apalagi senjata pasukan Quraisi jauh lebih sempurna. Di waktu  yang  demikian itu, akal tidak dapat dipakai lagi, fikiran telah buntu tetapi meskipun begitu, masih ada satu jalan yang  selama-lamanya, tidak dapat ditutup. Jalan itu, ialah jalan bermohon kepada Allah, berlindung dan mengharap pertolongannya . Demikian itu lalu diusahakan Junjungan kita. Beliau menengadahkan tangannya , sedang Sayyidina  Abu Bakar dan sahabat-sahabat yang  lainnya  mengaminkan do’anya . Antara lain-lain beliau menyebutkan dalam do’a itu: “Hai Tuhan, berikanlah pertolongan Mu yang  engkau janjikan bagiku: Hai Tuhan, jika golongan ini (Kaum Muslimin) kalah pada hari ini, tentu Engkau tidak akan disembah orang lagi dibumi ini”.


Keempat, Gus Wahid mengemukakan analisa sosiologis terhadap kaum Qurays, masyarakat awal yang menumbuhkan ajaran Islam. Ia menyebutnya sebagai “masyarakat  yang  ibarat tanah kurus kering” atau masyarakat  Jahiliyyah (masyarakat  kebodohan dan keburukan).


Di dalam  masyarakat Jahiliyyah  itu orang mempunyai semboyan: orang yang  kuat memakan orang yang  lemah, sedang si lemah sama sekali tidak mendapat perlindungan, bahkan digencet dan ditindas. Di dalam  masyarakat Jahiliyyah  keluhuran martabat seseorang diukur menurut kecakapannya  menindas. Makin pandai menindas, makin mendapat kedudukan dan kehormatan. Juga diukur dengan kepandaiannya  berlaku curang dan berkhianat, makin naik pangkat dan martabatnya.


Di dalam  suasana hidup cara Jahiliyyah  itu, di mana penindasan dan kecurangan menjadi dasar tiap-tiap orang yang  ingin naik dan meningkat derajat yang  tinggi, tentu tidak ada jalannya  lagi kecuali menjilat dan menjual muka. Sudah tentu dalam masyarakat  Jahiliyyah  yang  demikian itu, golongan yang  senang selalu memuas-muaskan kesukaannya , melepaskan hawa nafsunya. Mereka sama-sekali tidak memikirkan kesukaran golongan yang  lemah.


Akibatnya, ialah tidak menyukai pikiran yang  sehat. Mana-mana hal yang  menurut akal adalah baik, dianggap tidak bagus. Mana-mana perkara yang  menurut akal tidak pantas, malah dipakai dan alami. Oleh karena tidak menyukai akal yang  sehat itu, maka akhirnya  masyarakat  Jahiliyyah  itu lalu memakai dasar hawa nafsu.


Jadi semua peraturan diikuti pada hawa nafsu semata-mata. Maka akibatnya  masyarakat  itu kucar-kacir, tidak dapat diatur lagi. Dan kesudahannya  menurut ilmu masyarakat (sociology) tidak lain nasibnya  dari pada keruntuhan dan kerobohan.


Islam mentransformasi keburukan pada masyarakat  Jahiliyyah  menjadi keutamaan berdasarkan persaudaraan, keadilan dan kebaikan budi pekerti.


Kelima, Semua ajaran Islam yang  baru itu bukanlah hanya sebagai semboyan  kosong, umpamanya  semboyan-semboyan  kaum penjajah yang  kedengarannya manis sebagai madu, tetapi prakteknya  pahit seperti empedu.


Bukan…  Ajaran-ajaran lslam bukanlah kosong begitu, tetapi berisi. Di dalam  Islam ada ketentuan, bahwa orang bersalah, haruslah dihukum, orang merampas barang lain di samping dihukum, juga harus mengembalikannya . Ketentuan yang  demikian bukanlah aturan yang  kosong, guna memikat hati orang. Tetapi betul-betul dijalankan. Ketika menjalankan hajjatul wadaa (haji beliau yang  penghabisan), Junjungan kita Nabi Muhammad SAW berkhutbah , antara lain-lain:


“Hai manusia sekalian, barang siapa pernah saja ambil uangnya , maka inilah uang saja, ambillah. Barang siapa pernah saja pukul, meskipun Cuma sekali, maka hendaklah membalas saja sebelum pembalasan di hari Kiamat”.


Oleh karena ajaran-ajaran Islam itu betul-betul berisi maka tampak sekali kebenarannya  pada semua orang. Meskipun pemuka-pemuka Jahiliyyah  menghalang-halangi dengan halus dan kasar, tetapi pengikut-pengikut Islam kian lama kian besar jumlahnya. Akhirnya  masyarakat  yang  kucar-kacir itu lalu memeluk Islam seluruhnya .


Maka di dalam  masa yang  singkat (23 tahun) orang Arab yang  dahulunya  hidup tidak berarti, maju dan mengikat hingga menjadi bangsa yang  disegani dan ditakuti orang. Di waktu  itu bangsa Persi (Iran) dan Romawi adalah dua bangsa yang  berkuasa dan gagah berani dipandang orang. Jajahannya  terdapat di mana-mana.


Di jaman itu kedua bangsa tadi (Persi dan Romawi) tidak mempunyai keinginan sama sekali akan orang Quraisy, karena ibarat sapi, mereka itu sangat kurusnya. Tetapi setelah mereka bangkit berdiri karena pimpinan lslam, mereka lalu merupakan suatu bangsa yang  menakuti kedua bangsa yang  kuat dan gagah tadi.


Berkali-kali pasukan-pasukan Islam berhadapan muka dengan pasukan-pasukan kedua bangsa yang  kuat dan gagah itu. Tetapi pasukan-pasukan Islam selalu memperoleh kemenangan. Demikianlah Ummat lslam dahulu kala itu maju dengan pedang ditangan kanannya  dan buku (Kitab) ditangan kirinya. Dengan pedang mereka mencukur dunia dan di samping itu mereka menyebar peradabannya.


Suatu peradaban yang  betul-betul patut dinamakan peradaban, karena peradaban itu didasarkan keadilan, kemanusiaan dan persaudaraan, bukan peradaban sebagai yang  digembar-gomborkan negeri-negeri Barat dan negeri-negeri penjajah, yang  kedengarannya  manis, tetapi praktiknya  pahit getir


Pada bagian selanjutnya, Gus Wahid melakukan kritik diri terhadap kondisi umat Islam,


“…karena kesalahan mereka sendiri, maka keluhuran dan kemuliaan itu lalu berangsur hilang. Setelah mereka menduduki kursi kemuliaan dan kejayaan, maka akhlak  luhur dan budi pekerti baik yang  bersarang di dada mereka itu lalu berubah, sifat-sifat yang  menjadikan mereka naik dan mendaki, seperti keuletan bekerja, kemauan yang  keras, keberanian, keeratan bersatu dan lain-lainnya, lalu bertukar menjadi sifat-sifat yang  mendorong mereka menurun dan terjun ke bawah. Keuletan bekerja mereka menjadi lekas putus asa. Kemauan mereka yang  keras bertukar jadi menyerah pada nasib. Keberanian mereka berubah menjadi kekuatan, dan keeratan bersatu hilang berganti sifat nafsi-nafsi (Cuma memikirkan kepentingan diri sendiri)”.


Maka akhirnya  dapat dikira-kirakan sendiri, yaitu  keluhuran dan kemuliaan yang  gilang gemilang itu lenyap, dan yang  terdapat ialah kelemahan, kerendahan dan kekurangan.


Walaupun demikian, Gus Wahid meyakini bahwa umat Islam akan kembali pada kejayaannya. Merujuk penulis L Stoodard, Eugene Younge,  P. Schmidt, Gus Wahid meyakini bahwa


“Kemungkinannya  Islam di masa yang  akan datang sangat besar dan sangat bagus. Memang Dunia ini tempat yang  tidak tetap, silih berganti, naik dan turun. Al-Qur’an (Surat Al Imran ayat 140) telah menyebutkan: “,Bahwasanya  masa kemuliaan itu kami buat berganti-ganti di antara  semua manusia”.  Bahkan penulis Lothrop Stoddard di dalam  bukunya  menggambarkan Dunia Islam sebagai raksasa yang  kuat. Sekarang raksasa besar itu sedang tidur dengan nyenyak. Cuma telah ada tanda-tanda, bahwa raksasa itu akan bangun”.


Keenam, Gus Wahid memberikan cara pandang Qurani terhadap situasi sosial politik.  Peperangan dan konflik antar Negara tidak selamanya buruk, konflik dapat dianggap sebagai peluang bagi kemunculan umat Islam:


“Kita Umat Islam harus bersyukur pada Allah SWT karena pecahnya  peperangan dunia yang  baru lalu ini. Kita jangan berkecil hati karena banyaknya  kesukaran-kesukaran ditimbulkan oleh peperangan. Peperangan yang  hebat dan dahsyat jangan kita pandang dari sudut yang  gelap. Sebab jika begitu, tentu hati kita menjadi kecil. Sebaliknya  kita harus memandang peperangan ini dengan penuh kegembiraan dengan keyakinan  yang  teguh, bahwa Allah s.w.t. menjadikan sekalian ini, mustahil tidak ada gunanya. Ingatlah akan firman-Nya  dalam surat (Al-Baqarah ayat 251): “Kalau Allah tidak mentakdirkan manusia semua tolak-menolakkan (berperang) antara segolongan lawan golongan lainnya, tentulah bumi akan rusak."


Jadi peperangan itu ada baiknya. Karena dengan adanya  peperangan antara satu golongan dengan golongan lainnya, tidak dapat satu golongan berkuasa terus menerus, menindas, memeras dan menganiaya sepanjang masa. Karena adanya  peperangan dunia, maka negeri-negeri Barat yang  selama ini menindas, berkurang kekayaannya, jadi lemah jiwanya. Dan makin lemah di jiwanya, itu makin bagus bagi negeri-negeri Timur, khususnya  Umat Islam.


Karena kesempatan dan kemungkinan akan bangkitnya  negeri-negeri yang  lemah menjadi makin besar. Di sini  saya ingat firman Allah dalam Al-Qur’an (Surat Al-Qasash ayat 5): “Dan kami (Allah) menghendaki akan memberi kenikmatan pada mereka yang  diperlemah dan akan menjadikan mereka Imam-Imam (Pemuka-pemuka) dan akan menjadikan mereka golongan yang  mewarisi”.


Penulis adalah Ketua Lakpesdam NU Jabar