• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Selasa, 21 Mei 2024

Opini

Belajar dari Pengalaman

Belajar dari Pengalaman
Peringatan Hari Santri Nasional 2022 di Sumedang. (Foto: NU Online Jabar/Fadlil).
Peringatan Hari Santri Nasional 2022 di Sumedang. (Foto: NU Online Jabar/Fadlil).

Oleh Murodi

Saat menjadi santri dahulu, sekira tahun 70 an, waktu yang penuh dengan momen suka dan duka dan bernilai sejarah. Suka, karena kita dipertemukan dengan kawan baru dari berbagai daerah di tanah air. Belajar bersama. Bermain dan bahkan tidur juga bersama dalam barak, kamar atau Kobong. Kita digembleng mandiri dan terus mencari serta belajar ilmu untuk hidup mandiri di kemudian hari. 


Dukanya atau tidak enaknya saat tidak punya uang. Menunggu uang kiriman dari orang tua, lama gak datang-datang. Sedih, memang. Habis mau bagaimana lagi. Di tahun itu, belum ada tukang penghantar surat atau kiriman lainnya, termasuk wesel ke pesantren saya yang cukup terpencil di daerah Cijurai, Tegal Panjang, Sukaraja, Sukabumi, Jawa Barat. Akhirnya, untuk menyambung hidup, makan seadanya. Kadang, bahkan seringnya, kami ngutang di warung Ceu Odah, Mang Afud dan lainnya. 


Saat itu, memang terasa sulit sekali. Makan dan tidur ala kadarnya. Makan, masak nasi sendiri. Pakai kastrol. Di pinggir kompor ditaruh ikan asin dan terasi. Nasi mateng, ikan dan terasi juga mateng. Langsung diambil dan ditaruh di atas daun pisang atau piring kaleng. Meski panas,  langsung diembat. Dimakan. Lauknya ikan asin dan terasi. Semua itu terasa nikmat sekali.


Untungnya, Pondok Pesantren saya di pedesaan, dekat  dengan persawahan yang  dikelilingi bukit nan hijau. Untuk menambah gizi, kadang seminggu 2 atau 3 kali saya mencari belut di malam hari. Lumayan buat perbaikan gizi. 


Hal yang paling menyenangkan kalau diundang tahlilan, acara maulud atau isra mi'raj oleh masyarakat. Kita ikut zikir bersama. Mendengarkan ceramah. Makan bersama. Terkadang, pulang dibungkusin buat dimakan lagi di kamar. 


Kalau tidur, juga ala kadarnya. Tidur di atas tikar di atas bale bambu atau papan kayu. Dingin hembusan udara malam di tengah perbukitan. Tidur tidak nyenyak, karena banyak Tumila. Badan habis korengan karena selalu digaruk akibat gigitan tumila. Dan ini pasti dirasakan oleh para santri. Tak jarang kita tidur tanpa pakai CD. Cuma pakai sarung doang.


Hal menarik lainnya soal mandi. Kalau mau mandi, kita harus antre. Sebelum subuh, sekitar pukul 4.00 pagi, kita sudah dibangunin siap-siap pergi ke masjid untuk persiapan Shalat Subuh berjama'ah. Sebelum itu, kita sudah mandi. Sebab, kalau kesiangan, kita harus antre.


Pernah suatu ketika, saat mandi berbarengan dengan bebek. Kita mandi dari air saluran  yang akan masuk ke kolam, bebek di saluran itu mencari makan, mandi dan buang kotoran. Jadi gak bersih mandinya dan badan  gatel² jadinya. 


Meski cukup perih menang gung beban di pesantren, tapi, semua itu merupakan pelajaran berharga dan momen penting dalam meniti kehidupan...Belajar Kitab Kuning dan buku2 klasik lainnya menjadi kegiatan rutin. Melalu metode Sorogan, Wetonan atau Bandongan, kami belajar. Dan alhamdulillah, berkat bimbingan Kyai/ Ajengan serta para asatidz, ilmu itu kami peroleh. 


Bisanya, saya dan kawan-kawan santri lainnya mengkaji ulang secara berkelompok materi yang diperoleh dari Kyai dan para asatidz  di malam hari. Dan itu kami lakukan setelah pengajian malam, sekitar pukul 22-24 malam hari, sehingga kami betul-betul paham materi dari kitab yang kami kaji. 

 

Dan saat melanjutkan studi lebih lanjut, tampaknya semua yang ajarkan di lembaga pendidikan tersebut, sudah dipelajari di pesantren. Jadi, gak mulai dari awal. Tinggal pendalaman saja. 

 

Ada hal menarik dari pengalaman saat nyantri di Pondok Pesantren, tidak ada bullying. Semua santri memiliki posisi dan status yang sama. Tidak ada senioritas-junioritas. Bahkan, saling bantu dan mengingatkan. Jika kita punya masalah, baik masalah dalam bidang keuangan maupun materi pelajaran. 

 

Untuk itu, ijinkan kami mengucapkan banyak Terima Kasih kepda para Kysi/Ajengan dan para asatidz yang telah membimbing, mengarahkan dan menggembleng kami, hingga menjadi manusia bermanfaat. 

 

Terima Kasih Kyai/Ajengan dan para Asatidz, yang telah mengajari kami berbagai ilmu agama dengan penuh keikhlasan dan kesabaran. Mengajari kami kemandirian, kesabaran dan keikhlasan.

 

Insyaalah, semua itu bermanfaat bagi agama, nusa dan bangsa. Amiin.

 

Kini, para santri itu sudah menjadi pengabdi dan penyebar ilmu...Sementara ada Kyai, ajengan dan para asatidz, yang telah berjuang keras mengajari kami, telah berpulang ke rahmatullah...

 

Lahum al-fatihah


SELAMAT HARI SANTRI NASIONAL, 22 OKTOBER 2022..

 

Penulis adalah Dosen UIN Jakarta yang juga merupakan alumni Pondok Pesantren Al-Masyhad, Cijurai, Sukabumi.


Opini Terbaru