• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Jumat, 26 April 2024

Ngalogat

Nganteuran: Tradisi Leluhur untuk Memelihara Keharmonisan Bertetangga

Nganteuran: Tradisi Leluhur untuk Memelihara Keharmonisan Bertetangga
(Ilustrasi: goodnewsfromindonesia.id)
(Ilustrasi: goodnewsfromindonesia.id)

Oleh Herdi As’ari
Nganteuran dalam bahasa Indonesia berarti mengantarkan. Dalam konteks tradisi masyarakat Sunda, nganteuran umumnya dipahami sebagai sebuah kebiasaan saling bertukar makanan saat menjelang hari raya. Terutama saat idul fitri. Tukar-menukar hidangan khas lebaran, seperti ketupat, opor ayam, kentang goreng, dan aneka kue, mewarnai hari raya yang penuh suka cita. Menggenapi rasa bahagia baik si pemberi maupun bagi si penerima.

Namun ada kalanya –dalam aktivitas sehari-hari– nganteuran juga digunakan sebagai istilah untuk kegiatan mengirim makanan kepada seseorang yang sedang bekerja di ladang atau sawah, ketika jam makan tiba. Istilah nganteuran pun sering dipakai mana kala orang tua yang hendak mengirim bekal (makanan atau uang) kepada anaknya yang sedang mondok di pesantren yang jaraknya jauh dari rumah mereka.

Dalam pelaksanaannya, nganteuran mengisyaratkan tiga hal. Pertama, pengirim yaitu seseorang yang memiliki sumber daya berlebih sehingga berkemampuan untuk memberi; kedua, barang/benda yang hendak diberikan; dan ketiga, penerima, yaitu orang yang menerima pemberian. Biasanya, penerima ini identik dengan seseorang yang berkekurangan secara ekonomi.

Yang ingin diketengahkan dalam tulisan ini ialah nganteuran sebagai suatu aktivitas kemanusiaan atas dasar saling tolong-menolong dan membahagiakan dalam konteks kehidupan bertetangga. Dimana, kebiasaan ini telah dipraktikan oleh para leluhur kita. 

Rantang

Bagi yang lahir dan besar di perkampungan, maka akan mengalami betul tradisi nganteuran ini. Begitu halnya penulis –sewaktu kecil dahulu– kerap kali diberi tugas oleh nenek untuk mengantarkan makanan kepada tetangga terdekat. Makanan tersebut diwadahi dalam rantang bersusun. Isinya, bisa satu jenis hidangan atau beberapa jenis menu makanan. Tergantung pada apa yang sudah disiapkan oleh nenek.

Hidangan-hidangan tersebut –jika di daerah penulis– biasanya hidangan yang diolah dari hasil bumi. Seperti, nasi dari hasil panen terbaru atau sering disebut sangu paré anyar; aneka sayur-sayuran, semisal, sayur umbut kelapa, sayur daun singkong, sayur jantung pisang; kolak singkong atau labu; dan lain seterusnya. Makanan-makanan tersebut, dimasukkan ke dalam rantang bertingkat.

Kendati menu yang sederhana, tetapi dibuat dengan penuh cinta, maka tetangga yang menerimanya pun sangat bergembira. Sehingga, tak jarang, wadah rantang tadi ketika kembali akan diisi lagi oleh menu makanan yang sama. Atau bahkan biasanya diisi makanan dengan “nilai” yang lebih tinggi.

Dengan demikian, rantang merupakan salah satu identitas dari pranata sosial masyarakat yang hidup dalam solidaritas. Lebih jauh lagi, praktik “tukar-menukar” makanan tadi dapat kita cermati sebagai pengejawantahan nilai ajaran agama. Pertama, bentuk rasa syukur pada Tuhan; dan yang kedua, etika saling hormat-menghormati dengan tetangga atas dasar tolong-menolong (ta’awun).

Kulkas

Zaman kian berubah. Tradisi nganteuran dewasa ini hampir sulit kita temui. Terutama di gemerlapnya kehidupan kota. Di pedesaan pun kurang-lebih sama. Etos bertani, berladang, atau beternak yang telah dimulai pendahulu, kini perlahan ditinggalkan. Kalau pun ada, hasil tani yang didapat tak mampu mengantarkan kesejahteraan bagi keluarga. Hanya dinikmati sebentar saja, bahkan selalu kekurangan untuk mengejar kebutuhan yang kian beragam.

Atas dasar kesibukan bekerja –yang terbagi-bagi– pola bertetanggapun berubah. Watak individualistik (séwang-séwangan) nampak kelihatan. Ditambah lagi, kehadiran gawai sebagai alat komunikasi yang secara tidak langsung mengeliminasi naluri sosial tatap muka. Kehangatan saling-sapa menjadi langka.

Makanan-makanan yang ada di rumah lebih lama “parkir” di dalam lemari pendingin (kulkas). Bahkan, saking lamanya parkir, makanan-makanan itu tanpa disadari menjadi busuk, tak layak konsumsi. Alhasil, tempat terakhir makanan-makanan tersebut ialah tong sampah. Pesta dini bagi mereka, bakteri pengurai; dan pesta tertunda bagi cacing-cacing dalam perut tetangga yang lapar.

Apakah fenomena itu adalah bentuk kesengajaan atau bukan: Wallahu’alam. Namun faktanya, dewasa ini memang ada. Di antara kita, lebih disibukkan bagaimana mengumpulkan beragam jenis makanan dan menimbunnya, ketimbang berbagi terhadap sesama. Bahkan sering lupa, makanan-makanan itu yang menikmatinya adalah jamur dan bakteri, bukan saudara atau tetangga kita yang lebih membutuhkan.

Apabila kita belajar pada dua benda itu dalam masing-masing contoh kasus di atas –rantang dan kulkas– maka sesungguhnya akan ditemui ibrah (pembelajaran) yang luar biasa. Di mana, letak kemanfaatan maupun kemadaratannya, berpulang pada kebijaksanaan manusia itu sendiri.

Diplomasi kultural makanan

Selain sebagai kebutuhan dasar, makanan juga memiliki makna yang sangat luas serta mendalam dalam sejarah hidup manusia. Sajian makanan dalam beberapa acara, seperti rapat, hajatan, syukuran, pengajian, dan lainnya, menggambarkan bahwa keberadaannya itu penting. Termasuk dalam tradisi nganteuran, di mana makanan ialah salah satu wujud konkrit diplomasi dalam keharmonisan bertetangga.

Pada tahun 2016-2017-an saat penulis aktif menjadi relawan di salah satu komunitas sosial di Kabupaten Garut, di mana kegiatan rutinan dari komunitas tersebut ialah membagikan sebungkus nasi setiap malam Jum’at. Sasarannya adalah orang-orang yang berkegiatan di malam hari. Seperti, tukang becak, pemulung, atau siapa saja yang memang membutuhkan.

Yang menariknya, melalui (asbab) dari kegiatan bagi-bagi nasi itu, kami pernah merubah kebiasaan beberapa orang atau sekelompok “orang jalanan”. Dari kebiasaannya yang tidak terpuji, seperti “nge-lem”, mengkonsumsi minum-minuman keras, mengambil hak orang, dan lain-lain, menjadi tersadar dan merubah  perilakunya itu. Dengan sedikit “sentuhan” dan petuah-petuah, mereka mengakui salah satu alasan berbuat demikian itu karena mereka lapar. Sangat ironis!

Berdasarkan contoh tersebut menegaskan bahwa makanan bisa menjadi media dakwah serta sarana ibadah yang efektif. Makanan, apabila difungsikan sebagaimana mestinya akan menjadi sesuatu yang menggerakan yang penuh keberkahan. Tetapi sebaliknya, ketika kita abai terhadap nilai-nilai yang dikandung pada makanan, mungkin kita akan menganggapnya biasa saja dan melewatinya begitu saja.

Sekurang-kurangnya ada tiga hal yang perlu dipahami dari nilai sebuah makanan. Pertama, nilai fisikal merupakan wujud dzahir yang akan mengenyangkan apabila dimakan; kedua, nilai sosial yaitu makanan sebagai pranata sosial dalam membangun kesadaran bersama; dan ketiga, nilai spiritual, di mana makanan sebagai anugerah dari Tuhan yang mesti kita pertanggung-jawabkan keberadaannya.

Dengan demikian, dalam dimensi sosial dan spiritual, posisi makanan menjadi penting. Oleh karena, nikmat dari Tuhan itu mesti kita syukuri dengan cara kita berbagi terhadap sesama. Barangkali itulah makna esensial dari tradisi nganteuran yang pernah dipraktikan para leluhur kita. 

Karena boleh jadi musik yang haram itu bukan suara gitar, piano, atau drum. Melainkan suara piring dan sendok yang saling beradu saat kita makan, sehingga terdengar oleh tetangga yang sedang kepayahan menahan lapar. Atau bisa juga, wewangian yang haram itu bukan bau parfum hasil mencuri saja, tetapi wangi makanan yang tercium oleh tetangga yang seharian belum makan.

Penulis adalah Mahasiswa Magister Prodi Sejarah Peradaban Islam, UIN Sunan Gunung Djati Bandung


Ngalogat Terbaru