Yang Hilang dari Teknologi
Oleh Moch Ikmaluddin,
Dulu, ketika Ibu saya kecil, untuk menikmati tayangan televisi, Ia dan teman-temannya berbondong-bondong ke rumah Pak Lurah. Itupun hanya satu stasiun televisi, yaitu TVRI.
Zaman terus berjalan. Di era tahun 80-an, ketika saya kecil, untuk menonton TV tidak perlu ke rumah Pak Lurah lagi. Karena di rumah saya sudah ada TV, walau hanya hitam putih. Tayangannya juga itu-itu saja. Namun begitu, hampir tidak ada yang “interupsi” gonta-ganti saluran (chanel). Iya, karena dua stasiun TV. TVRI dan satu lagi TPI.
Artinya apa, dulu, untuk menikmati sebuah informasi atau hiburan orang harus berkumpul, bersosial. Namun sekarang, ada rumah yang masing-masing kamarnya ada TVnya. Bahkan semenjak ada gawai (gadget), di satu meja makan atau ruang keluarga, masing-masing anggota asyik dengan gawainya. Ini menandakan hadirnya teknologi berpotensi membuat orang semakin individualis.
Cara sederhana yang bisa diterapkan di keluarga adalah pamit, ucapkan salam dan salim ketika mau pergi dan masuk rumah. Ditambah memberi kabar ketika sudah sampai tujuan.
Suatu ketika, Bima yang gagah, berani, kuat, patuh, dan jujur diperintah gurunya, Durna untuk menyelam ke laut Selatan. Begitu akan menyeburkan diri ke laut Selatan, Ia mengurungkan niatnya karena lupa belum pamit ke ibunya, Dewi Kunti. Namun setelah menyeburkan diri ke laut Selatan Ia tidak memberi kabar ke ibunya. Kenapa? Ya karena dulu tidak ada alat komunikasi. Ini hanyalah ilustrasi.
Kembali ke cerita pewayangan di atas, kita bisa memanfaatkan gawai yang kita miliki untuk menumbuhkan kesadaran “sesadar-sadarnya’’ bahwa di sekitar kita ada banyak orang harus tetap kita “orangkan”, kita sadari keberadaanya. Tidak bisa kita cuek begitu saja.
Kesimpulannya, teknologi tidak serta-merta bisa kita salahkan. Kita bisa tetap menjadi manusia jika kita bisa mengendalikan teknologi, bukan dikendalikan teknologi.
Penulis adalah Kontributor NU Online Jabar asal Depok