Ahmad Arip
Kontributor
Sebagai makhluk yang distempel sebagai bentuk terbaik (QS. At-Tin: 4), manusia kerap merasa dirinya paling sempurna dibanding makhluk lain. Terutama terhadap hewan dan tumbuhan, manusia merasa memiliki keunggulan fisik dan infrastruktur hidup: hewan boleh disembelih, tumbuhan boleh dipetik untuk dimakan, sementara sebaliknya tidak terjadi.
Amanah sebagai khalifah (QS. Al-Baqarah: 30) untuk mengelola bumi semakin mengukuhkan perasaan istimewa ini. Manusia dengan leluasa memenuhi keinginannya: jika lapar akan daging, tinggal menyembelih hewan; jika ingin sayuran, tinggal memetik tumbuhan.
Infrastruktur kehidupan ini acap kali menumbuhkan keangkuhan. Bahkan keangkuhan itu merasuki relasi sesama manusia. Ekosistem sosial membentuk stratifikasi berdasarkan kesukuan, kebangsaan, warna kulit, ketampanan atau kecantikan, kekayaan, kemiskinan, dan seabrek perbedaan lainnya. Padahal, perbedaan itu sendiri adalah sunnatullah (QS. Al-Hujurat: 13).
Perasaan lebih baik dari makhluk lain, atau lebih unggul dari manusia lain, mungkin tersembunyi dalam diri setiap orang. Terlebih dalam relasi gender, perbedaan kodrat laki-laki dan perempuan kerap disalah artikan sebagai legitimasi hierarki kekuasaan. Perempuan sering ditempatkan sebagai objek atau pihak yang hanya melayani laki-laki, bukan sebaliknya. Laki-laki dianggap pemegang otoritas mutlak untuk menentukan segalanya. Atau sebaliknya, perempuan merasa paling berhak mengatur laki-laki. Ujung-ujungnya, manusia terjebak dalam keangkuhan: merasa diri paling terbaik dibanding yang lain.
Pada dasarnya, perasaan ini wajar. Namun, ia menjadi bahaya ketika tak terkendali. Manusia tak hanya dianugerahi fisik terbaik, tetapi juga perangkat paling mulia: akal dan hati. Dua komponen inilah yang memampukan manusia mengelola keistimewaannya secara bijak (QS. Al-A’raf: 179). Di sinilah esensi Idul Adha sesungguhnya. Ia bukan sekadar ritual berkurban harta dengan menyembelih hewan, melainkan momentum untuk menyembelih keangkuhan diri. Segala yang di langit dan bumi tunduk bertasbih kepada Allah (QS. Al-Isra’: 44). Merasa diri paling terbaik justru sebuah kehinaan, jika anugerah akal dan hati tak dimanfaatkan sebagaimana mestinya.
Kisah pengorbanan Nabi Ibrahim menjadi ibrah abadi. Kerinduan panjang akan seorang putra (Ismail) yang akhirnya terwujud, justru diuji dengan perintah untuk mengorbankannya.
Peristiwa ini mengajarkan bahwa hakikat Idul Adha melampaui penyembelihan hewan. Ia adalah panggilan untuk: menyembelih keangkuhan diri, memasrahkan segala keinginan pribadi hanya kepada Allah, dan Mengikis habis kepentingan diri di luar ridha-Nya. Inilah pengorbanan sejati: membunuh sifat-sifat tinggi hati yang mengotori jiwa, dan merendahkan diri di hadapan Kemahatinggian Ilahi.
Terpopuler
1
Khutbah Jumat Singkat: Meraih Hidup yang Lebih Bermakna dengan Syukur dan Tafakur
2
Pergunu Jabar Gelar Seleksi Beasiswa S1 hingga S3 bagi Santri, Guru, dan Kader NU, Berikut Jadwalnya
3
Muslimat NU dan Dinkes Gelar Pengajian dan Cek Kesehatan Massal di Pendopo Bupati Cirebon
4
Jamaah Haji Gelombang I Mulai Pulang ke Tanah Air, Gelombang II Lanjutkan Ibadah di Madinah
5
MA KHAS Kempek Jalani Visitasi Adiwiyata, Komitmen Nyata Wujudkan Sekolah Ramah Lingkungan
6
Ancaman Bom di Pesawat Saudia Rute Jeddah-Jakarta, PPIH Pastikan Jamaah Haji Indonesia Aman
Terkini
Lihat Semua