• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Sabtu, 18 Mei 2024

Ngalogat

Lahirnya PETA dan Hizbullah

Lahirnya PETA dan Hizbullah
Barisan Seinendan yang menyatakan siap bergabung ke dalam PETA. (dok. Pandji Poestaka, 15-10-1943).
Barisan Seinendan yang menyatakan siap bergabung ke dalam PETA. (dok. Pandji Poestaka, 15-10-1943).

Gatot Mangkupradja adalah man of the year pada tahun 1943. Namanya terkenal di seluruh Jawa, bahkan di luar Jawa, setelah ia menulis surat kepada Gunseikan (kepala pemerintahan militer Jepang). Sebagaimana tokoh pergerakan kemerdekaan yang lain, Gatot mengantisipasi kehadiran Jepang dengan "mendukungnya". Gatot memohon agar ia bisa mengambil inisiatif membentuk suatu barisan sukarela untuk membela tanah air. Surat itu adalah sebuah surat resmi yang ia antarkan sendiri ke Jakarta pada 7 September 1943. Sebagai surat resmi, tentu surat tersebut ditulis dengan rapi.

"…Hamba sangat bermohon kehadapan Paduka Yang Mulya, sudi apalah kiranya Paduka kepada Hamba memberi kesempatan untuk menyusun Barisan Pembela itu, di bawah pimpinan Balatentara Dai Nippon, yang sungguh-sungguh hendak turut membela dan mempertahankan kedudukan dan keselamatan pulau Jawa dan Penduduknya."

Kutipan lengkap maupun sebagian dari surat Gatot itu dimuat semua media cetak saat itu. Tidak hanya dalam Tjahaja, tetapi juga dalam Asia Raja (8/9/1943), Soeara Asia, Sinar Matahari, Pembangoen (9/9/1943), dan Pandji Poestaka (15/9/1943).

Ada dua alasan Gatot mengajukan pembentukan PETA. Pertama, selama 350 tahun maka segala kemauan dan segala usaha bangsa Indonesia telah sia-sia belaka karena angkara murkanya penjajahan Belanda, dan oleh karena itu segala semangat dan kemauannya menjadi mati terbenam. Kedua, karena angkara murkanya pemerintah Belanda di Indonesia, dan nafsu imperialisme bangsa-bangsa Barat, yang memakai kekuasaan pemerintah Belanda di Indonesia, maka bangsa Indonesia jatuh ke dalam jurang yang paling bawah, dan menjadikan rakyat miskin baik rezeki maupun budi pekertinya.

Menyusul sambutan yang luar biasa pada surat Gatot, pada 13 September 1943, sepuluh ulama yang tinggal di Jakarta, mengajukan permohonan senada. Mereka juga menghadap kepada Gunseikan. Mereka adalah K.H. Mas Mansur, K.H. Adnan, Dr. Abdul Karim Amrullah (HAMKA), Guru H. Mansur, Guru H. Cholid, K.H. Abdul Majid, Guru H. Yakub, K.H. Djunaedi, H. Mochtar dan H. Moh. Sodri. Alasan yang diajukan para ulama ini hampir sama dengan Gatot, hanya ada penekanan bahwa mayoritas penduduk Jawa adalah Muslim. Oleh karena itu, perlu dibentuk barisan pembela Islam. Salinan surat tersebut juga dimuat lengkap atau sebagian oleh berbagai media cetak, antara lain dalam Tjahaja (14 September 1943).

Usulan pembentukan barisan Pembela Tanah Air, tidak hanya berupa surat permohonan dan dukungan, tetapi juga sejumlah artikel. Misalnya A.D. Haanie menulis "Membela Tanah Air dilihat dari Jihat Islam" (Tjahaja, 13 September 1943), M. Musa Mahfuld menulis, "Membentuk Dasar Balatentara Kebangsaan" (Pembangoen, September 1943), dimuat juga dalam Pandji Poestaka (15 September 1943). Dalam Sinar Matahari (9 September 1943), artikel Musa bahkan dimuat bersamaan dengan surat Gatot.

Permohonan Gatot dikabulkan dengan pembentukan PETA dan permitaan para ulama dijawab dengan pembentukan Hizbullah. Inilah yang dimaksud oleh KH Wachid Hasjim,

"Sukar bagi Nippon untuk hanya membuat satu wadah. Faktor-faktor objektif yang ada pada golongan Islam dan Nasionalis tak bisa dibantah. Itu sudah ada sejak zaman Majapahit-Demak." (Saifuddin Zuhri, 1987). PETA dilatih di Kota Bogor, Hizbullah agak ke pinggiran, di Cibarusah.

PETA mewakili kelompok nasionalis, Hizbullah merepresentasikan kalangan Islam. Secara kultural, adanya dua kelompok ini memang menjadi bagian tak terpisahkan dalam tubuh bangsa Indonesia.

Osamu Seirei No. 36 & 44

Menjawab permohonan di atas, pada tanggal 3 Oktober 1943 Letnan Jenderal Kumakichi Harada sebagai Saiko Sikikan (Panglima Tentara ke 16 di Jawa), mengeluarkan Osamu Seirei (undang-undang) Nomor 44 yang berisi empat pasal. Pada prinsipnya UU tersebut mengabulkan permohonan pembentukan tentara PETA.
 
Dalam amanat pribadinya, Saiko Sikikan menyatakan, "Pada waktu yang akhir ini, dalam masyarakat hidup semangat yang bernyala-nyala untuk membela tanah air serta meruntuhkan Amerika dan Inggris, dan semangat itu telah ’meletus’ berupa surat-surat permohonan untuk menyusun pasukan sukarela guna membela tanah air, meletus dengan hebat di antara seluruh penduduk Jawa. Peristiwa ini adalah sesuatu hal yang sangat menyenangkan hati saya, dan saya pun telah mengambil keputusan memperkenankan permohonan-permohonan itu."

Keluarnya UU ini, tak lepas dari UU sebelumnya yang dikeluarkan pada 5 September 1943 bernomor 36 dan berisi 13 pasal. Melalui UU itulah secara resmi dibentuk Tyuuoo Sangi In, suatu dewan yang melibatkan wakil-wakil rakyat untuk terlibat dalam pemerintahan. Anggotanya ada yang ditunjuk dan ada yang dipilih. Anggota dari Jawa Barat yang ditunjuk misalnya Oto Iskandar di Nata, sementara yang dipilih adalah Sutisna Senjaya. Adanya ketentuan itulah yang ikut memicu Gatot untuk mengajukan permohonan pembentukan PETA.

Hingga hari ini masih ada sejarawan yang menilai simplistik bahwa proses pembentukan PETA itu tak lebih sebagai rekayasa Nippon belaka. Memang benar, faktor Nippon sangat vital dalam pembentukan PETA karena merekalah yang berkuasa. Tetapi jika melihat begitu cerdiknya para pemimpin kita waktu itu mengelola emosi masyarakat, rekayasa itu menjadi luar biasa dampaknya, bagi percepatan kemerdekaan Indonesia.

Rekayasa itu berhasil menggerakkan masyarakat Jawa. Bahkan sekarang, ketika teknologi komunikasi sudah sedemikian canggih, merekayasa dukungan massal seperti yang terjadi pada 1943 itu, tetap tidak akan mudah dilakukan. Meminjam teori bela diri Tiongkok, pembentukan PETA dan Hizbullah adalah jurus "memukul menggunakan tenaga lawan".

Sejak awal, adanya tudingan sebagai antek Jepang itu dirasakan oleh para pemimpin yang mendukung PETA. Maka untuk menunjukkan bahwa kerja sama dengan Nippon hanyalah bagian dari strategi perjuangan, Warta Indonesia, 4 Oktober 1945, memuat statemen berbunyi, "Our Republic is guaranteed ’Domestic Product’. It is not Made in Japan".

Dirgahayu TNI ke-75!

Penulis: Iip Yahya

 


Editor:

Ngalogat Terbaru