Kisah Petani Empati: Menolak Kalah oleh Tekukan Harga, daripada Jadi Tomat Busuk, Lebih Baik Dibagikan
Senin, 7 September 2020 | 14:00 WIB
Oleh Budhiana Kartawijaya
Minggu siang kemarau. Terik matahari tikam kepala. Teman-teman Yayasan Odesa baru turun dari kampung-kampung. Ada yang pulang mengajar, ada yang baru sidak pencurian pipa air, dan sejumput masalah lain menambah gerah hari. Begitu sampai di sekretariat, ada tida petani dengan semobil bak tomat baru petik, nongkrong di pelataran parkir.
Ini adalah cerita berulang tentang panen bagus tapi harga anjlok. Toha, petani binaan Yayasan mengatakan, minggu-minggu ini adalah panen raya tomat. Tapi harga anjlok. Untuk balik modal, minimal harga jual adalah Rp 4.500/kg. Tapi di pasar, harga cuma Rp. 1.500/kg.
Kebanyakan petani membiarkan tomatnya membusuk di tangkai. Ongkos petiknya saja melebihi harga jual. Maka ceklah petani tomat di seluruh Bandung Raya, mungkin juga Jabar dan Indonesia, sedang dilanda duka.
"Harga jatuh, pasti petani dililit utang. Karena mereka harus bayar utang pupuk, dan obat-obatan," kata Toha.
Bagi petani kampung, bertani itu adalah berjudi. Cerita berulang selama puluhan tahun ya. Tapi Toha dan teman-teman menolak kalah berjudi.
Dia kebetulan mengelola tanah lapang di Oraytapa yang pemandangannya indah, dan banyak didatangi orang untuk swafoto. Biasanya dia pungut bayaran Rp 5.000 bagi mereka yang mendatangi spot yang disebut Taman Cemara ini. Tapi dia naikkan tiket menjadi Rp 15.000, dan pengunjung mendapat sekantung tomat seberat 3 kg. Bahasa keren-nya: price bundling.
Tapi tak semua tomat terjual. Masih banyak sisa. Pilihannya dibuang.
Toha dan tiga petani lain, sekali lagi, menolak kalah. Dia bawa tomat itu ke Odesa. Buat dibag-bagi. Iya, buat dibagi-bagi.Â
"Dari pada busuk, lebih baik dibagi-bagi, biar bermanfaat," kata temannya.
Maka berkuintal-kuintal tomat itu pun dibungkus dalam puluhan kantong keresek 3-4kg. Dibagi-bagikan kepada siapapun yang kebetulan ada di sekretariat. Kami hanya mengganti bea bensin mobil saja. Plus di gudang masih ada beras, jadi kami berikan beras masing-masing 5 kg kepada mereka.
Nah, saya kebagian 20 bungkus tomat. Maksud Toha itu kira-kira begini: para bapak dan ibu pengurus yayasan itu orang kota yang teman-temannya banyak. Jadi kalau didrop ke kantor, pasti akan dibagikan juga kepada jejaringnya. Ngerjain juga sih. Tapi ya, biar tomat itu bisa dirasakan manfaatnya.
Maka saya pun turun, dari Pasir Impun ke Buahbatu. Sambil ada beberapa tempat teman yang terlalui dan saya bagi mereka satu bungkus.Tiba di rumah, saya bagi ke tetangga depan, kanan dan kiri. Tentu saja mereka sumringah. Malam hari, empat bungkus juga dibagikan ke saudara-saudara di lain tempat.
Di rumah, tomat itu juga diblender jadi juice. Kepala dan hati yang panas jadi adem. Saya menyeruput juice itu sambil memejamkan mata sambil banyak bertanya.Â
1.Kok cerita berulang puluhan tahun ya. Padahal kita ada insititut pertanian, ada fakultas-fakultas pertanian di universitas. Banyak ahli, banyak doktor, banyak teori lahir.
2. Kok tidak seperti di negara yang pertaniannya maju ya, petani terlindungi dari perjudian harga.
3. Hebat ya, ada petani yang menolak kalah berjudi. Dia kalah digencet harga, tapi tak kehilangan empati untuk berbagi.
Sampai mata terpejam tadi malam, pertanyaan itu larut. Pagi ini bangun dengan semangat baru: dicari pemimpin yang bisa mengakhiri pertanyaan puluhan tahun ini.
Penulis adalah wartawan senior.
Terpopuler
1
Barak Militer Vs Pesantren
2
Jejak Perjuangan KH Muhammad asal Garut: Dari Membangun Pesantren hingga Menjaga NU
3
Dialog Refleksi Harlah ke-70, IPPNU Tasikmalaya Tegaskan Peran Strategis Perempuan dalam Pendidikan dan Kepemimpinan
4
Pesantren Karangmangu Bertaraf Nasional, Cetak Puluhan Khatimin dari Berbagai Daerah
5
BPBD Jabar Siap Tangani Bencana Alam di Bandung Barat, Karawang, dan Bekasi
6
IPPNU Kota Banjar Kunjungi Dinas Sosial, Bahas Kasus Sosial dan Penguatan Ketahanan Keluarga
Terkini
Lihat Semua