Daerah

Keadaan Sedang Werit, Harga Sayuran Rajet, Petani Dibiarkan Lemas Sendiri

Kamis, 13 Agustus 2020 | 11:36 WIB

Keadaan Sedang Werit, Harga Sayuran Rajet, Petani Dibiarkan Lemas Sendiri

Ahmad Fatoni, petani dari Kecamatan Kertasari Kabupaten Bandung

Bandung, NU Online Jabar
Patani mah nuju werit (sedang sengsara),” kata petani dari Kertasari, Kabupaten Bandung, Ahmad Fatoni. “Harga sayuran rajet (rusak berat),” kata petani Kalapanunggal, Kabupaten Sukabumi, Ujang Ma’mun, “Harga jamur anjlok 60 persen, kangkung mah teu pajeng (tidak laku),” kata Deni Ahmad Haidari, petani dari Purwakarta. 

Baca: Petani Jawa Barat Menjerit, Ini Harga Hasil Pertanian yang Anjlok

Komentar-komentar seperti yang didapatkan NU Online Jabar ketika bertanya soal komoditas hasil pertanian di Jawa Barat terkini Rabu (12/8). 

Menurut Deni Ahmad Haidari saat ini sedang terjadi penurunan daya beli masyarakat. Pasar induk jadi sepi, pedagang kemudian mengambil langkah cepat dengan berhenti sementara waktu. Dengan demikian, permintaan kepada petani menurun, anjloklah harga komoditas pertanian. 

Salah satu penyebabnya, menurut Ketua Pimpinan Wilayah Gerakan Pemuda Ansor Jawa Barat ini, adalah akibat bansos yang mengandalkan sembako, bukan uang, hingga daya beli berkurang. 

“Kemudian fokus pemerintah, dana Covid-19 sareng (dan) recovery ekonomi tak ada yang fokus buat petani. Kan fokusnya pengusaha, karyawan, dan UMKM, petani gak masuk fokus,” katanya. 

Menurut dia, kalau pemerintah tidak segera bergerak, nasib petani akan lebih parah lagi. Semakin parah karena saat ini petani menghadapi kemarau. Bisa dipastikan mereka kesusahan menanam, serta tidak ada modal untuk memulai menanam kembali.

Ahmad Fatoni bercerita, petani di daerahnya, jika satu komoditi  turun harga, mereka secepatnya melakukan alih komoditi atau ganti tanaman jenis lain. Untuk melakukan itu, mereka butuh modal. Karena komoditi sebelumnya tidak untung, bahkan rugi, mereka akan meminjam modal ke bank atau ke bandar.

“Kalau ke bank, petani tentu harus mengembalikan berikut bunganya. Kalau ke bandar; petani dipasihan modal ku bandar baik berupa bibit, obat-obatan, dan pengelolaan dan nanti hasilnya harus di jual ke bandar itu. Tapi biasanya bandar main di harga obat, harga bibit, dan harga beli sayuran dari petani, petani teu (tak) bisa nawar harga,” jelasnya. 

Ketika ditanya apakah ada bantuan pemerintah untuk menangani persolan itu, Toni mengatakan, sampai saat ini, mendengar pun tidak pernah. 

Asa teu aya ka kuping (tak mendengar) selain program KUR nu can (yang belum) cair-cair nepinka ayeuna (hingga saat ini),” katanya. 

Baca: DPRD Minta Pemprov Jabar Beri Solusi atas Anjloknya Harga Komoditas Pertanian

Menurut Deni, pemerintah harus memberikan solusi kepada petani dengan mendorong pasar biar bergairah kembali. Caranya dengan bansos uang, bukan sembako, supaya daya beli masyarakat muncul. Terus kerugian petani harus diganti dengan paket stimulus subsidi atau modal khusus. 

“Kalau enggak, saya yakin recovery-nya berat,” katanya. “Kalau pengusaha dialokasikan ratusan triliun masa buat petani dibiarkan lemas sendiri,” tambahnya. 

Gerakan Pemuda Ansor, kata Deni, mengingatkan saja, di masa pandemi ini kalau petani dibiarkan begitu, artinya kita tak sadar masuk ke fase awal krisis pangan. Hasil pertanian anjlok, artinya petani tak ada modal untuk mengurus sawah dan ladangnya lagi. 

“Terus yang akan ngasih makan bangsa ini siapa?” tanyanya.

DPRD Minta Langkah Konkret Pemprov Jabar
Senada dengan Deni, anggota DPRD Jawa Barat dari Fraksi Golkar, Edi Rusyandi mengatakan kondisi anjloknya harga pertanian ini disumbang kelirunya skema bansos berupa sembako yang merusak pasar petani. Lain halnya jika dengan skema tunai, daya beli masyarakat akan relatif terjaga. Belum lagi ditambah dengan adanya PSBB. Sehingga ini menjadi efek domino. Ini dampaknya cukup serius dirasakan oleh petani dan buruh tani.

“Pemprov Jabar harus turut terlibat memberikan solusi atas permasalahan anjloknya harga komoditas pertanian ini. Kita melihat selama masa pandemi ini, belum tampak hadirnya Pemprov Jabar terhadap nasib para petani,” tegasnya.

Dalam hal ini, ia mengharapkan adanya program yang fokus untuk sektor pertanian dan memperhatikan nasib para petani dari Pemprov Jabar. Ada rumusan yang jelas kaitannya dengan kebijakan ketahanan pangan di masa AKB dan pasca pandemi ke depan. Ini juga bagian dari proses recovery ekonomi. Karena jika tidak diantisipasi, akan berisiko terhadap kondisi pangan di Jawa Barat. 

“Jika hari ini petani merugi, dan mereka menunda masa tanam jelas akan menimbulkan kelangkaan pangan, nanti bagaimana? Apalagi hari ini kita akan menghadapi musim kemarau, tentu para petani ini butuh biaya lebih. Jika masa tanam ditunda, bisa rumit dan bukan tidak mungkin akan mengakibatkan krisis pangan. Karena itu perlu langkah waspada,” jelasnya.  

Langkah konkretnya, kata dia, harus ada kebijakan stimulus dan perbantuan sesegera mungkin yang ditujukan pada sektor pertanian untuk membantu para petani. Salah satunya bisa dari sumber dari dana pemulihan ekonomi nasional (PEN) pinjaman dari pemerintah pusat untuk Pemprov Jabar. Sumber pinjaman ini diharapkan menjangkau para petani yang dalam kondisi terpuruk. Bantuannya diperluas bukan hanya pada sarana tapi juga pada jaminan harga pembelian yang menguntungkan para petani apalagi di tengah situasi anjlok saat ini. 

“Pemprov juga diharapkan memperkuat kelembagaan koperasi petani dengan membeli produk petani dengan harga yang ditetapkan yang menguntungkan petani untuk disalurkan di lembaga-lembaga pemerintah,” katanya. 

Pewarta: Abdullah Alawi