• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Sabtu, 20 April 2024

Nasional

Kisah Gus Hasan Lebaran di Madinah Saat Jadi Santri Habib Zein bin Ibrahim bin Smith di Rubbat Al-Jufry

Kisah Gus Hasan Lebaran di Madinah Saat Jadi Santri Habib Zein bin Ibrahim bin Smith di Rubbat Al-Jufry
Gus Hasan (tengah) bersama kedua temannya saat menjadi santri di Rubbat Al-Jufry (Foto: Istimewa)
Gus Hasan (tengah) bersama kedua temannya saat menjadi santri di Rubbat Al-Jufry (Foto: Istimewa)

Bandung, NU Online Jabar 
Ketua PWNU Jawa Barat KH Hasan Nuri Hidayatullah pada masa muda menimba ilmu di Madinah, Arab Saudi selama 4 tahun. Tepatnya di Rubbat Al-Jufry di bawah bimbingan Alhabib Zein bin Ibrahim bin Smith. Selama 4 tahun pula dari 1997 sampai 2001, ia berlebaran di negeri orang.

“Berlebaran di Madinah karena situasinya sedang di pesantren (Rubbat Al-Jufry),” ungkap kiai yang akrab disapa Gus Hasan ini, Senin (17/5). 

Gus Hasan mengisahkan, selama menjadi santri di Rubbat Al-Jufry, pengajian sangat penuh, hampir tiada libur. Pengajian Ramadhan pun dimulai dari tanggal satu sampai hari terakhir puasa, sampai dengan malam Idul Fitri.

“Jadi, hari terakhir puasa Ramadhan, kita masih mengaji, ditutup buka puasa bersama, dan kemudian takbiran,” ungkap pengasuh Pondok Pesantren Assidiqiyah Cilamaya Kabupaten Karawang ini.  

Takbiran pun, kata Gus Hasan, dilakukan tanpa pengeras suara karena Rubbat Al-Jufry dalam pengawasan ketat dari otoritas pemerintah Arab Saudi. Hal itu terjadi karena Rubbat Al-Jufry mengajarkan Ahlussunah wal Jama’ah sebagaimana di Indonesia, yang berlainan dengan ajaran yang dianut pemerintah waktu itu.

Selepas itu, lanjut Gus Hasan, ia dan teman-temannya diberi hadiah oleh gurunya yaitu dibagi uang, baju lebaran, makanan, dan dibagi berbagai macam hal. 

Kemudian keesokan harinya, Gus Hasan bersama santri-santri lain, berangkat ke Masjid Nabawi untuk melaksanakan Shalat Sunah Idul Fitri. Jarak tempuh dari pesantren ke Masjid Nabawi, jika menggunakan kendaraan tanpa macet, hanya membutuhkan durasi 10 menit. Gus Hasan dan teman-temannya memilih berjalan kaki.  

“Jika ingin Shalat Id di Masjid Nabawi agar mendapatkan tempat di dalam, kita harus stand by sejak sebelum subuh karena sangat padat. Jadi setelah Shalat Tahajud di pesantren, kita sudah bergegas ke Masjid Nabawi,” jelasnya. 

Selepas tiba di dalam Masjid Nabawi, ia bersama ribuan umat Islam lain melaksanakan takbiran dipimpin muadzin. Takbiran berlangsung sampai sesaat sebelum Shalat Id didirikan. 

“Selepas Shalat Id, saya kembali lagi ke pesantren, halal bihalal dengan teman-teman yang ada di pesantren. Lalu tidur,” katanya. 

Pada hari Lebaran, pengajian benar-benar libur. Namun, hanya sehari karena keesokan harinya pengajian dimulai kembali secara normal, melanjutkan pengajian Ramadhan. 

“Pada hari kedua, kita sudah bersama-sama harus mengaji lagi melanjutkan pengajian Ramadhan sembari puasa Syawal sampai dengan hari ketujuh,” jelasnya. 

Pada hari ketujuh, ia dan teman-temannya berlebaran kedua selepas melaksanakan puasa Syawal. Sebagaimana di Indonesia, di pesantrennya, saat itu mengadakan semacam kenduri dengan penanda dipersiapkan makanan dengan lauk yang lebih istimewa dari biasanya. 

“Jika ada rezeki lebih, baru setelah itu kita manfaatkan beberapa hari, setelah 7 Syawal, kita menjalankan umrah,” katanya.  

Rubbat Al-Jufry dan Penyambutan Hijrah Rasulullah
Gus Hasan menimba ilmu di Rubbat Al-Jufry selama empat tahun. Rubbat Al-Jufry adalah pesantren sebagaimana di Indonesia. Pesantren tersebut terletak di satu kampung bernama Hayyul Bahr, terletak antara Masjid Nabawi dengan Masjid Quba. 

Di perkampungan itu ada bukit kecil namanya Tsaniyatil Wada’, sebuah tempat bersejarah yang menjadi tonggak babak baru perjuangan dakwah Nabi Muhammad SAW dalam menyebarkan agama Islam. 

Menurut Gus Hasan, Tsaniyatil Wada’ adalah tempat yang digunakan oleh penduduk Yatsrib (kemudian Rasulullah menggantinya jadi Madinah) saat menyambut Rasulullah dan para sahabatnya berhijrah dari Makkah. Penyambutan di tempat tersebut diabadikan dalam syair yang populer hingga sekarang, yaitu:

Tala’al Badru ‘alaina # Min tsaniyatil wada’ # Wa jabassyukru ‘alaina # Mada ‘a lillahida’

Lebih lanjut, Gus Hasan mengatakan, Rubbat Al-Jufry tidak banyak menerima santri karena tempat terbatas. Pada masanya, santri yang menimba ilmu di rubbat itu tidak lebih dari 60 orang. Mereka didominasi dari Indonesia, lebih dari 50 persen. Sisanya berasal dari negara-negara lain. 

“Jadi, kita punya teman dari Afrika, Mesir, Kuwait, Yaman, Brunei, dan lain-lain,” katanya. "Saya pulang ke Indonesia pada bulan April 2001," pungkasnya. 

Pewarta: Abdullah Alawi 


Nasional Terbaru