Tombol Reset: Kembali ke Fitrah, Kembali ke Cinta

Dalam hidup ini, kita sering berharap ada tombol ajaib—reset button—yang bisa menghapus luka, mengampuni dosa, dan membawa kita pulang ke titik awal. Seperti perangkat yang terlalu lama dipakai, penuh cache dan bug, jiwa kita pun bisa lelah. Berat. Sesak. Ingin sekali rasanya kembali ke pengaturan awal: factory settings.

Dalam Islam, bukankah itu yang disebut kembali ke fitrah?

“Setiap anak dilahirkan di atas fitrah,” sabda Nabi. Putih, bersih, penuh cinta. Tapi debu kehidupan perlahan menutup cahaya itu. Hingga suatu malam—terutama di Ramadan yang sunyi dan syahdu—kita merasa ditawari satu pertanyaan lembut:

“Maukah kau kembali?”

Tombol itu bukan benda. Tapi niat.Bukan mesin. Tapi taubat.

Saat air mata jatuh tulus, saat dada lapang menerima hidayah, itulah saat kita menekan tombol itu. Dan taubat yang sejati bisa menghapus segalanya:‎

كَأَنَّهُ وُلِدَ مِنْ جَدِيدٍ

"Seolah ia dilahirkan kembali.”

Bersih. Tanpa luka. Tanpa dendam.Tapi pertanyaannya: Maukah kita sungguh-sungguh mulai dari awal?Tanpa mengulang kesalahan yang sama.Tanpa mengabaikan panggilan Tuhan yang selama ini kita diamkan.

Karena tombol reset bukan sekadar menghapus file lama.Ia mengosongkan ruang, agar bisa diisi ulang:

Dengan cinta yang lebih jernih, iman yang lebih dalam,dan hidup yang lebih bermakna. Apakah kita siap menulis ulang kisah hidup ini dengan tinta kesadaran?

Tak ada kata terlambat untuk kembali ke fitrah.
Karena Tuhan, selalu mencintai mereka yang ingin memulai dari awal.

Apakah lebaran kali ini menjadi tombol reset itu? Atau hanya berlalu sebagai tradisi semata?

Oh take me back to the start, God.

KH Nadirsyah Hosen, Dosen di Melbourne Law School, the University of Melbourne Australia