• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Jumat, 29 Maret 2024

Hikmah

Teladan Nabi Ibrahim AS (1): Menemukan Konsep Ketuhanan dan Berdebat dengan Penguasa

Teladan Nabi Ibrahim AS (1): Menemukan Konsep Ketuhanan dan Berdebat dengan Penguasa
Ilustrasi: NU Online
Ilustrasi: NU Online

Oleh Rudi Sirojudin Abas

Setiap nabi dan rasul diutus menjadi suri teladan bagi seluruh umat manusia. Tak terkecuali dengan Nabi Ibrahim AS. Ia menjadi salah satu nabi dan rasul yang namanya banyak diceritakan dalam Al-Quran. Kisah dan perjalanan hidupnya Allah abadikan dalam Al-Quran sesuai dengan kisah dan perjalanan hidupnya.

Allah SWT berfirman:

قَدْ كَانَتْ لَكُمْ اُسْوَةٌ حَسَنَةٌ فِيْٓ اِبْرٰهِيْمَ وَالَّذِيْنَ مَعَهٗۚ. 
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِيْهِمْ اُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَنْ كَانَ يَرْجُو اللّٰهَ وَالْيَوْمَ الْاٰخِرَ.

“Sungguh telah ada suri teladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengannya…”. “Sungguh, pada mereka itu (Ibrahim dan umatnya) terdapat suri teladan yang baik bagimu; (yaitu) bagi orang-orang yang mengharap (pahala) Allah dan (keselamatan pada) hari kemudian.” (QS. al-Mumtahanah [60]: 4 dan 6).

Lantas, apa sikap, perilaku, dan perbuatan Nabi Ibrahim AS sehingga ia layak menjadi suri teladan yang baik bagi seluruh umat manusia?

Dalam Al-Quran, Allah SWT menyebut nama Ibrahim sebanyak 64 kali. Dari sejumlah itu, paling tidak ada beberapa hal yang perlu digaris bawahi. Pertama, kisah Ibrahim AS ketika menemukan konsep ketuhanan; Kedua, sikap Ibrahim AS ketika menghadapi penguasa (raja) dalam mempertahankan argumen ketuhanan; Ketiga, ketika Ibrahim AS diuji kesabarannya untuk menyembelih (mengorbankan) Nabi Ismail AS; dan Keempat ketika Ibrahim AS bahu membahu dalam membangun dan meninggikan tempat ibadah (Kabah) bersama puteranya Ismail AS. 

Pertama, Nabi Ibrahim AS menemukan konsep ketuhanan. Keistimewaan Ibrahim AS dalam menemukan konsep ketuhanan (tauhid) terletak pada perjalanannya ketika menemukan keyakinan akan adanya Allah SWT. Dengan akal pikirannya yang murni dan suci, tidak dipengaruhi oleh siapa pun dan oleh apa pun, dan semata-mata hanya dengan akal pikiran yang diberikan oleh Allah saja, ia dapat menemukan konsep ketuhanan sehingga ia yakin bahwa hanya Allah lah yang menciptakan seluruh alam semesta ini. 

Ibrahim AS tecengang ketika menyaksikan keindahan dan kehebatan alam. Menurut pengamatannya, alam yang bermatahari, berbintang, berbulan, berhewan, bermanusia dan bertumbuh-tumbuhan pasti memiliki penguasa, pengatur, dan pemiliknya. Lantas ia berpikir, “Siapa sosok penentu, pemilik, penguasa, dan pengatur keberadaan alam semesta ini?”

Semula, Ibrahim AS menduga bahwa bintang, bulan, dan matahari merupakan sang pengatur alam semesta. Akan tetapi, dugaannya itu dimentahkan oleh realitas ketidak konsistenan dan ketidak kekalan eksistensi benda-benda tersebut. Bintang, bulan, dan matahari terkadang menghilang dan muncul kembali begitu saja sesuai dengan peredaran waktu (malam atau siang). Menanggapi hal itu, Ibrahim AS kemudian bergumam “Tuhan tidak mungkin hilang dan Tuhan tidak mungkin juga berubah”. Peristiwa ini Allah kisahkan dalam QS. an-An’am ayat  76-78 sebagaimana berikut:

فَلَمَّا جَنَّ عَلَيْهِ الَّيْلُ رَاٰ كَوْكَبًا ۗقَالَ هٰذَا رَبِّيْۚ فَلَمَّآ اَفَلَ قَالَ لَآ اُحِبُّ الْاٰفِلِيْنَ. فَلَمَّا رَاَ الْقَمَرَ بَازِغًا قَالَ هٰذَا رَبِّيْ ۚفَلَمَّآ اَفَلَ قَالَ لَىِٕنْ لَّمْ يَهْدِنِيْ رَبِّيْ لَاَكُوْنَنَّ مِنَ الْقَوْمِ الضَّاۤلِّيْنَ.فَلَمَّا رَاَ الشَّمْسَ بَازِغَةً قَالَ هٰذَا رَبِّيْ هٰذَآ اَكْبَرُۚ فَلَمَّآ اَفَلَتْ قَالَ يٰقَوْمِ اِنِّيْ بَرِيْۤءٌ مِّمَّا تُشْرِكُوْنَ.

Artinya: “Ketika malam telah menjadi gelap, dia (Ibrahim) melihat sebuah bintang (lalu) dia berkata: “Inilah Tuhanku.” Maka ketika bintang itu terbenam, dia berkata: “Aku tidak suka kepada yang terbenam. Lalu ketika dia melihat bulan terbit, dia berkata: “Inilah Tuhanku.” Tetapi ketika bulan itu terbenam, dia berkata: “Sungguh, jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk orang-orang yang sesat.” Kemudian ketika dia melihat matahari terbit, dia berkata: “Inilah Tuhanku, ini lebih besar.” Tetapi ketika matahari terbenam, dia berkata: “Wahai kaumku! Sungguh aku berlepas dari apa yang kamu persekutukan.” (QS. al-An’am [6]: 76-78).

Temuan konsep ketauhidan yang didapat Nabi Ibrahim AS merupakan bentuk kekuasaan Allah yang diberikan kepadanya. Allah SWT menghendaki, bahwa apa yang Ibrahim pikirkan berkaitan dengan perubahan alam (terbit dan terbenamnya bintang, bulan, dan matahari) merupakan sebagai karunia Allah SWT untuk menumbuhkan satu keyakinan pada diri Ibrahim AS bahwasanya alam semesta ini tak berhak untuk disembah. Allah juga menghendaki, bahwa haya Dia lah satu-satunya yang kemudian pantas untuk disembah dan dijadikan Tuhan oleh Ibrahim dan umatnya. Bukan bulan, bintang, dan matahari sebagaimana anggapan kaumnya. 

Allah SWT berfirman:

وَكَذٰلِكَ نُرِيْٓ اِبْرٰهِيْمَ مَلَكُوْتَ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِ وَلِيَكُوْنَ مِنَ الْمُوْقِنِيْنَ.

Artinya: “Dan demikianlah Kami memperlihatkan kepada Ibrahim kekuasaan (Kami yang terdapat) di langit dan di bumi, dan agar dia termasuk pada orang-orang yang yakin.” (QS. al-An’am [6]: 75).  

Kedua, dialog Nabi Ibrahim AS dengan penguasa (raja) dalam mempertahankan argumen ketuhanan. Dikisahkan, pada zaman Ibrahim AS ada seorang raja bernama Namruz bin Kan’an, seorang diktator kafir dari negeri Babil di Irak. Ia (Namruz bin Kan’an) mendapatkan kekuasaan dan kekayaan yang melimpah. Namun kekuasaan dan kekayaannya lantas tak membuatnya bersyukur. Malah membuatnya sombong dan congkak. Ia pun kemudian mengingkari keberadaan Allah seraya mendebat kepada Ibrahim: “Wahai Ibrahim! Siapakah Tuhanmu?” Ibrahim menjawab: “Tuhanku adalah Tuhan yang menghidupkan dan mematikan manusia.” Seketika itu Namruz membantah dan menjawab: “Saya juga dapat mematikan dan menghidupkan manusia.” Kemudian Namruz mendatangkan dua orang manusia. Satu dibunuhnya dan satu lagi dibiarkan hidup. Namruz pun beranggapan bahwa ia pun dapat menghidupkan dan mematikan manusia sebagaimana klaim Ibrahim bahwa Tuhan itu adalah sesuatu yang bisa menghidupkan dan mematikan seseorang. 

Mendapat jawaban seperti itu, Ibrahim tidak kehilangan akal. Ia kemudian menyanggahnya seraya mengajukan sebuah pertanyaan yang mengagetkan Namruz. Ibrahim berkata: “Sesungguhnya Allah menerbitkan matahari dari arah timur. Jika kamu sanggup maka terbitkanlah dia (matahari) dari arah barat.” Seketika itu Namruz pun tercengang, terkejut, dan bingung atas pertanyaan Ibrahim. Namun meskipun begitu, Namruz  tetap dalam keadaan kafir. Ia lebih memilih kafir dari pada beriman. Ia pun tak berani  mengakui kebenaran argumen Ibrahim tentang ketuhanan. Akhirnya, Namruz  termasuk pada golongan orang-orang yang jauh dari hidayah Allah SWT.

Kisah perdebatan Nabi Ibrahim AS dengan Raja Namruz, Allah abadikan dalam QS. al-Baqarah ayat 258 sebagaimana berikut:

اَلَمْ تَرَ اِلَى الَّذِيْ حَاۤجَّ اِبْرٰهٖمَ فِيْ رَبِّهٖٓ اَنْ اٰتٰىهُ اللّٰهُ الْمُلْكَ ۘ اِذْ قَالَ اِبْرٰهٖمُ رَبِّيَ الَّذِيْ يُحْيٖ وَيُمِيْتُۙ قَالَ اَنَا۠ اُحْيٖ وَاُمِيْتُ ۗ قَالَ اِبْرٰهٖمُ فَاِنَّ اللّٰهَ يَأْتِيْ بِالشَّمْسِ مِنَ الْمَشْرِقِ فَأْتِ بِهَا مِنَ الْمَغْرِبِ فَبُهِتَ الَّذِيْ كَفَرَ ۗوَاللّٰهُ لَا يَهْدِى الْقَوْمَ الظّٰلِمِيْنَۚ.

Artinya: “Tidakkah kamu memperhatikan orang yang mendebat Ibrahim mengenai Tuhannya, karena Allah telah memberinya kerajaan (kekuasaan). Ketika Ibrahim berkata, “Tuhanku ialah Yang menghidupkan dan mematikan,” dia (Namruz) berkata, “Aku pun dapat menghidupkan dan mematikan.” Ibrahim berkata, “Allah menerbitkan matahari dari timur, maka terbitkanlah ia dari barat.” Maka bingunglah orang yang kafir itu. Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang zalim.” (QS. al-Baqarah [2]: 258).

Dari kisah di atas tampak keberanian Nabi Ibrahim AS dalam mendebat seorang penguasa (raja). Ia begitu cerdik hingga mampu mematahkan argumentasi (tipu daya) seorang penguasa. Dengan demikian, berbekal kemampuannya dalam menguasai ilmu logika (nalar), seolah mempertegas bahwa Nabi Ibrahim AS memang layak dijadikan suri teladan bagi seluruh generasi umat manusia.  (Bersambung).
Wallahu’alam.

Penulis adalah peneliti kelahiran Garut


 
 


Hikmah Terbaru