Akan tetapi satu hal yang harus mendasari seluruh proses ilmiyah tersebut adalah tanggung jawab pengabdian (ibadah) kepada Tuhan.
Hal ini berarti bahwa produk-produk ilmu pengetahuan dan teknologi harus berada di bawah cahaya ketuhanan (Nur Ilahi) dan moralitas keagamaan (al-Akhlaq al Karimah yang pada hakikatnya juga adalah moralitas kemanusiaan.
Oleh karena itu ia harus diperuntukkan bagi kebaikan dan kemaslahatan manusia, baik secara individual maupun kolektif, tidak untuk menzalimi apalagi merusak tatanan kehidupan mereka. Dengan begitu keilmuan Islam, seharusnya mampu memadukan dimensi rasionalitas dan moralitas.
Badi’ al-Zaman Sa’id Nursi, sufi dan aktifis politik Turki menyampaikan pandangan yang menarik :
ضِيَاءُ الْقَلْبِ هُو العُلُومُ الدِّينِيَّة وَنُورُ الْعَقْلِ هُوَ الْعُلُومُ الْحَدِيثَةِ فَبِامْتِزَاجِهِمَا تَتَجَلَّى الْحَقِيقَةُ . فَتَتَرَبَّى هِمَّةُ الطّالِبِ وَتَعْلُو بِكِلَا الْجَنَاحَيْنِ وَبِافْتِرَاقِهِمَا يَتَوَلَّدُ التَّعَصُّبُ فِي الأولَى والْحِيَلُ وَالشُّبُهَاتُ في الثانيةِ
“Cahaya hati ada dalam ilmu-ilmu esoterik dan cahaya akal ada dalam ilmu-ilmu modern. Dengan memadukan dua dimensi keilmuan ini akan muncul kebenaran. Ini pada saatnya diharapkan akan menarik/meningkatkan minat generasi muda dan kelak mereka akan menguasai keduanya. Dikotomisasi atas ilmu-ilmu itu akan melahirkan fanatisme pada satu sisi dan situasi kemelut serta kekacauan pada sisi yang lain”.
KH Husein Muhammad, salah seorang Mustasyar PBNU