• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Sabtu, 20 April 2024

Hikmah

KOLOM BUYA HUSEIN

Mengembalikan Tradisi Keilmuan Islam yang Hilang (2): Kemenangan Tradisionalisme atas Rasionalisme

Mengembalikan Tradisi Keilmuan Islam yang Hilang (2): Kemenangan Tradisionalisme atas Rasionalisme
Ilustrasi: NUO
Ilustrasi: NUO

Dalam sejarah peradaban Islam, kemandegan pemikiran kaum muslimin tersebut terjadi sejak berakhirnya peradaban rasionalisme dan kemudian digantikan oleh peradaban tradisionalisme.


Abad Rasionalisme Islam telah memberikan perhatian yang sungguh-sungguh terhadap fungsi akal atau logika untuk memahami alam semesta bagi kepentingan manusia. Ayat-ayat Al Qur-an cukup banyak menegaskan tentang pentingnya akal pikiran dan memerintahkan kepada kaum muslimin untuk memperhatikan, memikirkan merenungkan dan mempergunakan serta memanfaatkan alam semesta bagi kepentingan kehidupan mereka. Ayat-ayat ini kemudian mendapatkan responsi kaum muslimin secara luar biasa.


Meskipun periode ini berlangsung singkat, kurang lebih tiga abad, tetapi telah menghasilkan produk-produk ilmu pengetahuan yang luar biasa dan dalam hampir semua bidang ilmu pengetahuan.


Sejumlah ulama Islam telah tampil menjadi filosof, perenialis, cendikiawan, ilmuwan dan teknolog besar dengan pikiran-pikiran, gagasan-gagasan dan produk-produk yang orisinal dan kreatif. Mereka menggantikan posisi para cendikia dan ilmuwan sebelumnya. 


Kaum muslimin awal sama sekali  tidak pernah  memandang ilmu agama dan ilmu umum secara dikhotomis. Semua produk ilmu pengetahuan yang berguna bagi manusia dan kemanusiaan dari manapun dan dari siapapun itu adalah ilmu-ilmu Islam. Mereka menyambut dengan tingkat appresiasi yang sama. Kaum muslimin tidak membeda-bedakan atau mengistimewakan ilmu yang satu atas ilmu yang lain.  


Karya intelektual kaum muslimin itu meliputi hampir semua bidang-bidang ilmu pengetahuan : teologi (kalam), fiqh, tasawuf, kedokteran, matematika, biologi, logika, astronomi, sejarah dan sebagainya.


Ilmu-ilmu ini dipelajari dengan tingkat intensitas dan apresiasi yang tinggi dan dilandasi oleh motivasi keagamaan atau dalam bahasa lain dalam kerangka ibadah. Sebutan ulama tidak hanya bagi orang yang memiliki keilmuan syariah, atau yang berdimensi teosentris tetapi juga keilmuan umum yang berdimensi antroposentris seperti tersebut di atas.


Rasionalisme telah mengantarkan kemajuan dengan sangat pesat bagi peradaban kaum muslimin jauh sebelum bangsa-bangsa Eropa meraihnya hingga berkembang maju seperti sekarang ini. Bahkan secara apologis kaum muslimin seringkali mengklaim bahwa berkat keilmuan mereka bangsa Eropa tercerahkan. Melalui rasionalisme kaum muslimin benar-benar memperlihatkan otoritasnya atas peradaban dunia. Meskipun ini adalah pandangan apologetik tetapi ia adalah fakta sejarah yang perlu diungkapkan kembali untuk menggugah kesadaran baru bagi masyarakat muslim dewasa ini mengenai pentingnya akal pikiran bagi kemajuan masyarakat. 


Akan tetapi, diakui juga rasionalisme yang berkembang kemudian memang memunculkan kelemahan-kelemahan tersendiri. Dalam perjalanan sejarahnya rasionalisme abad pertengahan itu telah menimbulkan dampak-dampak yang buruk, terutama terhadap peran-peran spiritualitas dan moralitas masyarakat. Rasionalisme telah menimbulkan realitas social yang “bobrok”, karena kaum rasionalis telah menyingkirkan kedua dimensi itu.


Terlepas dari faktor lain yang melatarbelakanginya, tetapi inilah yang kemudian memunculkan reaksi keras dari kaum muslimin. Mereka berusaha “menghentikan” aktifitas intelektual rasionalistik itu dan menyerukan untuk kembali pada kehidupan ortodoksi.


Sejumlah tokoh besar Islam yang oleh sejumlah kritisi dipandang turut andil dalam hal ini antara lain adalah Ahmad bin Hanbal dan Abu Hasan Al Asy’ari, pendiri aliran teologi Sunni. Disusul kemudian oleh Al Ghazali, di samping tokoh-tokoh yang lain. Dr. Ali Syami Nasyar dalam bukunya Nasy’ah al Fikr al Falsafi fi al Islam, menyatakan bahwa di tangan al Ghazali, teologi Sunni mendapatkan kekokohan dan kesempurnaannya. Pemikiran Islam Sunni berhasil dirumuskan dengan sangat gemilang di tangan sang argumentator Islam ini.


Jika Ahmad bin Hanbal dan al Asy’ari memfokuskan diri pada upayanya untuk mengembalikan otoritas teks di atas otoritas akal terutama untuk kajian teologi, maka al Ghazali mengarahkan umat manusia pada upaya-upaya penghargaan atas aspek-aspek spiritualitas.


Upaya-upaya yang sangat intensif dari dua tokoh sunni ini, kemudian membentuk bangunan peradabaan Islam yang sangat kokoh dan untuk berabad-abad lamanya menjadi acuan pemikiran kaum muslimin. Kedua orang ini,  sungguh pun sama sekali tidak bermaksud untuk menafikan pentingnya keilmuan rasional/filsafat akan tetapi ternyata telah menghasilkan dampak terabaikannya keilmuan tersebut  dan menempatkannya pada posisi sekunder atau pelengkap.


Para pengikut mereka mengikuti pandangan-pandangan mereka  tanpa sikap kritis. Kebesaran nama mereka begitu mempesona dan seakan-akan tidak bisa ditandingi.


KH Husein Muhammad, salah seorang Mustasyar PBNU


Hikmah Terbaru