• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Sabtu, 20 April 2024

Hikmah

KOLOM BUYA HUSEIN

Ithaf Al-Dhaki: Mendamaikan Dua Kutub yang Berdegup (3)

Ithaf Al-Dhaki: Mendamaikan Dua Kutub yang Berdegup (3)
Ithaf Al-Dhaki: Mendamaikan Dua Kutub yang Berdegup (3). (Ilustrasi: NUO).
Ithaf Al-Dhaki: Mendamaikan Dua Kutub yang Berdegup (3). (Ilustrasi: NUO).

Fahm al-Murad min al-Khithab (Memahami cita-cita Teks).


Pertanyaan lebih lanjut adalah bagaimana cara kita memahami teks-teks tersebut agar paling tidak lebih mendekati kebenaran dan relative sejalan dengan maksud Tuhan?. Syeikh al-Kurani menyinggung bahwa hal itu harus dilakukan dengan mempertimbangkan sejumlah aspek : asbab al-nuzul, konteks ayat, kisah, hukum, konteks orang yang diajak bicara, dan lain-lain.


Saya kira penjelasan ini mirip dengan pandangan Imam al-Ghazali dalam tulisannya mengenai “Fahm al-Murad min al-Khitab” dalam bukunya “Al-Mustashfa”. Imam al-Ghazali mengatakan :


“Memahami suatu teks, pertama-tama haruslah memahami bahasa yang digunakan dalam percakapan/pembicaraan di antara pengguna bahasa tersebut. Bila terjadi ketidakpahaman, maka perlu dicari petunjuk lain. Ia bisa berupa kata lain yang semakna, atau logika rasional. Bisa juga melalui petunjuk-petunjuk yang lain mulai dari isyarat, kode-kode (rumuz), gerakan-gerakan, konteks sebelum dan sesudah, dan lain-lain.  


Dalam bukunya yang lain : “Faishal al-Tafriqah”, al-Ghazali lebih jauh lagi mengajukan lima pendekatan : “Wujud Dhati, Wujud Hissi, Wujud Khayali, Wujud ‘Aqli dan Wujud Syibhi”. 


Demikianlah betapa pemahaman atas sebuah teks sungguh-sungguh tidaklah mudah bahkan begitu rumit. Memahami teks tidaklah sekedar menafsirkannya melainkan lebih dalam dan luas lagi melalui apa yang disebut sebagai “ta’wil”.


Al-Qur’an menyebut kata ini sebanyak 18 kali, sementara kata “tafsir” hanya satu kali. Nabi juga sering menggunakan kata “ta’wil” untuk mendoakan sahabat-sahabatnya. Hal ini menunjukkan dengan jelas betapa “ta’wil” merupakan teori atau pendekatan yang memperoleh apresiasi tinggi dari Tuhan maupun Nabi dan menjadi cara generasi awal Islam dalam memahami teks-teks keagamaan, terutama al-Qur’an dan Hadits Nabi. Meski demikian, dalam perjalanan sejarahnya, ia bukan hanya menjadi tidak popular, melainkan juga teralienasi dari ruang sosial bahkan terstigmatisasi sebagai pendekatan yang sesat dan menyesatkan. Posisinya digantikan oleh tafsir.


Kata “tafsir” telah menjadi istilah mainstream untuk waktu yang panjang, bahkan sampai hari ini. Terma “ta’wil” dewasa ini diterjemahkan oleh sejumlah pemikir Islam kontemporer sebagai hermeneutika, sebuah istilah yang belakangan ini juga memperoleh stereotipi dan penuh kecurigaan sebagai produk asing, oleh sebagian besar dunia muslim.    


Sampai di sini, saya harus menyatakan dengan terus terang bahwa kendati Syeikh al-Kurani telah menyebut sejumlah pendekatan ta’wil, sebagaimana sudah disampaikan, akan tetapi sejauh yang saya baca dan pahami dalam buku ini, pendekatan ‘ta’wil” atau hermeneutika ini tidak banyak digunakan dalam kajian atas isu-isu yang dibahasnya.


Syeikh al-Kurani lebih banyak melakukan kajian intertekstualitas, linguistik dan rasionalisasi atasnya, sebagaimana juga dilakukan gurunya Syeikh Burhanfuri, disamping “kasyf” yang memang sulit dipahami logika, meskipun dapat dipahami atau dirasakan.


Boleh jadi al-Kurani sengaja melakukannya, karena cara inilah yang paling relevan dan paling sederhana untuk dipahami dalam konteks tradisi audiens pada masanya. Analisis dengan pendekatan ta’wil atau hermeneutic mungkin dianggap terlampau rumit atau njlimet.  


Gagasan Wahdah al-Wujud....Bersambung.


KH Husein Muhammad, salah seorang Mustasyar PBNU


Hikmah Terbaru