Ithaf Al-Dhaki: Mendamaikan Dua Kutub yang Berdegup (3)
Sabtu, 10 September 2022 | 07:00 WIB
Fahm al-Murad min al-Khithab (Memahami cita-cita Teks).
Pertanyaan lebih lanjut adalah bagaimana cara kita memahami teks-teks tersebut agar paling tidak lebih mendekati kebenaran dan relative sejalan dengan maksud Tuhan?. Syeikh al-Kurani menyinggung bahwa hal itu harus dilakukan dengan mempertimbangkan sejumlah aspek : asbab al-nuzul, konteks ayat, kisah, hukum, konteks orang yang diajak bicara, dan lain-lain.
Saya kira penjelasan ini mirip dengan pandangan Imam al-Ghazali dalam tulisannya mengenai āFahm al-Murad min al-Khitabā dalam bukunya āAl-Mustashfaā. Imam al-Ghazali mengatakan :
āMemahami suatu teks, pertama-tama haruslah memahami bahasa yang digunakan dalam percakapan/pembicaraan di antara pengguna bahasa tersebut. Bila terjadi ketidakpahaman, maka perlu dicari petunjuk lain. Ia bisa berupa kata lain yang semakna, atau logika rasional. Bisa juga melalui petunjuk-petunjuk yang lain mulai dari isyarat, kode-kode (rumuz), gerakan-gerakan, konteks sebelum dan sesudah, dan lain-lain. Ā
Dalam bukunya yang lain : āFaishal al-Tafriqahā, al-Ghazali lebih jauh lagi mengajukan lima pendekatan : āWujud Dhati, Wujud Hissi, Wujud Khayali, Wujud āAqli dan Wujud Syibhiā.Ā
Demikianlah betapa pemahaman atas sebuah teks sungguh-sungguh tidaklah mudah bahkan begitu rumit. Memahami teks tidaklah sekedar menafsirkannya melainkan lebih dalam dan luas lagi melalui apa yang disebut sebagai ātaāwilā.
Al-Qurāan menyebut kata ini sebanyak 18 kali, sementara kata ātafsirā hanya satu kali. Nabi juga sering menggunakan kata ātaāwilā untuk mendoakan sahabat-sahabatnya. Hal ini menunjukkan dengan jelas betapa ātaāwilā merupakan teori atau pendekatan yang memperoleh apresiasi tinggi dari Tuhan maupun Nabi dan menjadi cara generasi awal Islam dalam memahami teks-teks keagamaan, terutama al-Qurāan dan Hadits Nabi. Meski demikian, dalam perjalanan sejarahnya, ia bukan hanya menjadi tidak popular, melainkan juga teralienasi dari ruang sosial bahkan terstigmatisasi sebagai pendekatan yang sesat dan menyesatkan. Posisinya digantikan oleh tafsir.
Kata ātafsirā telah menjadi istilah mainstream untuk waktu yang panjang, bahkan sampai hari ini. Terma ātaāwilā dewasa ini diterjemahkan oleh sejumlah pemikir Islam kontemporer sebagai hermeneutika, sebuah istilah yang belakangan ini juga memperoleh stereotipi dan penuh kecurigaan sebagai produk asing, oleh sebagian besar dunia muslim. Ā Ā
Sampai di sini, saya harus menyatakan dengan terus terang bahwa kendati Syeikh al-Kurani telah menyebut sejumlah pendekatan taāwil, sebagaimana sudah disampaikan, akan tetapi sejauh yang saya baca dan pahami dalam buku ini, pendekatan ātaāwilā atau hermeneutika ini tidak banyak digunakan dalam kajian atas isu-isu yang dibahasnya.
Syeikh al-Kurani lebih banyak melakukan kajian intertekstualitas, linguistik dan rasionalisasi atasnya, sebagaimana juga dilakukan gurunya Syeikh Burhanfuri, disamping ākasyfā yang memang sulit dipahami logika, meskipun dapat dipahami atau dirasakan.
Boleh jadi al-Kurani sengaja melakukannya, karena cara inilah yang paling relevan dan paling sederhana untuk dipahami dalam konteks tradisi audiens pada masanya. Analisis dengan pendekatan taāwil atau hermeneutic mungkin dianggap terlampau rumit atau njlimet. Ā
Gagasan Wahdah al-Wujud....Bersambung.
KH HuseinĀ Muhammad, salah seorang MustasyarĀ PBNU
Terpopuler
1
Antara Kenaikan Gaji DPR, Peran DPRD, dan Program Makan Bergizi Gratis: Sebuah Catatan Kritis
2
Lembaga Falakiyah NU Umumkan 1 Rabiul Awal 1447 H Jatuh pada Senin 25 Agustus 2025
3
Pedagang yang Dipercaya Langit
4
Lakmud IPNU IPPNU Pangandaran 2025 Resmi Dibuka, Kader Muda Didorong Bumikan Nilai Aswaja
5
Meriahnya HUT ke-80 RI di Ponpes YAPINK Pusat: Guru dan Santri Ikuti Lomba Masak hingga Parade Busana Adat Nusantara
6
Janji Dedi Mulyadi: Seluruh Jalan di Jabar Mulus pada 2027, Pajak Kendaraan 100 Persen untuk Infrastruktur
Terkini
Lihat Semua