Hikmah

Hari-hari Penuh Duka yang Dialami Nabi Muhammad Jelang Isra' Mi'raj

Selasa, 21 Januari 2025 | 10:03 WIB

Hari-hari Penuh Duka yang Dialami Nabi Muhammad Jelang Isra' Mi'raj

Isra Mi'raj Nabi Muhammad SAW (Ilustrasi: Freepik/AM)

Terdapat dua peristiwa penting yang melatarbelakangi terjadinya isra' mi'raj Nabi Muhammad SAW. Kedua peristiwa ini amat berkesan dalam hati beliau, diliputi dengan duka yang senantiasa menekan dadanya. Demikian berat peristiwa tersebut, sehingga para ahli sejarah menyebutnya sebagai “Aam al-Huzni” atau tahun kesedihan.
 

1. Wafatnya Abu Thalib, Pelindung yang Setia
Peristiwa pertama adalah wafatnya Abu Thalib, seorang paman yang sangat dicintai oleh Nabi Muhammad. Abu Thalib telah merawat dan melindungi Nabi sejak beliau berusia delapan tahun hingga menikah dengan Khadijah pada usia 25 tahun. Abu Thalib senantiasa menjadi pelindung dan perisai bagi Nabi dari segala ancaman kaum musyrik Quraisy.


2. Wafatnya Sayyidah Khadijah, Istri yang Setia Mendampingi
Peristiwa kedua adalah wafatnya Sayyidah Khadijah, istri tercinta Nabi Muhammad. Khadijah adalah wanita bangsawan Quraisy yang memiliki sifat keibuan yang luhur. Ia mendampingi Nabi dalam suka dan duka, selalu berusaha membahagiakan Nabi dan mendukung perjuangan dakwah beliau. Khadijah menjadi satu-satunya istri yang sangat dicintai Nabi, dan bahkan setelah wafatnya, kedudukan Khadijah tetap tak tergantikan meskipun Nabi menikah dengan ‘Aisyah.


Nabi Muhammad SAW sendiri mengungkapkan, "Allah tidak menggantikan untukku seorang yang lebih baik dari Khadijah, ia seorang yang pertama kali beriman kepadaku, pada saat orang lain mendustakan aku. Ia yang senantiasa mencintaiku tatkala banyak orang membenciku. Ia korbankan harta kekayaannya dalam rangka membela agama."
 

3. Penghinaan dan Pencemaran Nama Nabi oleh Kaum Quraisy
Setelah kehilangan dua sosok yang sangat dicintainya itu, Nabi Muhammad menghadapi semakin banyak kesulitan. Tekanan dari kaum Quraisy semakin gencar, bahkan beliau pernah dilempari dengan tanah kotor oleh mereka, yang mengenai seluruh kepalanya. Fatimah, putri tercintanya, membersihkan tanah tersebut sambil menangis. Melihat tangisan putrinya, Nabi Muhammad menyampaikan dengan bijaksana, “Jangan menangis anakku, sesungguhnya Allah akan melindungi ayahmu.” (Muhammad Husen Haikal, Hayatu Muhammad: 186)
 

4. Perjalanan Dakwah yang Penuh Penderitaan ke Thaif
Namun, ujian bagi Nabi Muhammad terus berlanjut. Beliau berencana untuk melakukan perjalanan dakwah ke Thaif, berharap bahwa penduduk Thaif akan menerima Islam. Thaif, sebuah kota dengan udara sejuk dan subur yang terletak sekitar 60 km sebelah timur laut Kota Makkah, menjadi harapan bagi Nabi untuk memperoleh dukungan. Namun, setibanya di Thaif, harapan Nabi sirna. Penduduk Thaif menolak dakwah Nabi dengan cara yang sangat kasar dan bahkan melemparinya dengan batu. Nabi terpaksa berlindung di bawah pohon anggur milik Uthbah dan Syaibah, sementara darah mengucur dari kakinya hingga lengket di sandalnya.


Dalam keadaan terluka dan dihina, Nabi Muhammad tidak mengutuk mereka, tetapi malah berdoa dengan penuh ketulusan:


اَللَّهُمَّ إِنِّي أَشْكُوْ إِلَيْكَ ضَعْفَ قُوَّتِيْ وَقِلَّةَ حِيْلَتِيْ وَهَوَانِيْ عَلَى النَّاسِ أَنْتَ رَبُّ الْعَالَمِيْنَ وَأَنْتَ رَبُّ الْمُسْتَضْعَفِيْنَ وَأَنْتَ رَبِّيْ إِلَى مَنْ تَكِلُنِيْ إِلَى بَعِيْدٍ يَتَجَهَّمُنِيْ أَمْ إِلَى عَدُوٍّ مَلَكْتَهُ أَمْرِيْ؟ إِنْ لَمْ يَكُنْ بِكَ عَلَيَّ غَضَبٌ فَلَا أُبَالِيْ غَيْرَ أَنَّ عَافِيَتَكَ هِيَ أَوْسَعُ لِيْ. أَعُوْذُ بِنُوْرِ وَجْهِكَ الَّذِيْ أَشْرَقَتْ لَهُ الظُّلُمَاتُ وَصَلُحَ عَلَيْهِ أَمْرُ الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ أَنْ يَحِلَّ عَلَيَّ غَضَبُكَ أَوْ أَنْ يَنْزِلَ بِيَ سُخْطُكَ لَكَ الْعُتْبَى حَتَّى تَرْضَى وَلاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلَّا بِكَ.

 

"Ya Allah, kepada-Mu aku mengadukan kelemahan diriku, kekurangan daya upayaku, dan kehinaanku di hadapan sesama manusia. Wahai Allah Yang Maha Kasih dari segala kasih, Engkau adalah pelindung orang-orang yang lemah dan teraniaya. Engkau adalah pelindungku. Tuhanku, kepada siapa Engkau serahkan diriku? Apakah kepada orang jauh yang membenciku atau kepada musuh yang menguasai diriku? Tetapi asal Kau tidak murka padaku, aku tidak perduli semua itu. Rahmat dan karunia-Mu lebih luas bagiku. Aku berlindung dengan cahaya-Mu yang menerangi segala kegelapan, yang karenanya membawa kebahagiaan bagi dunia dan akhirat, daripada murka-Mu yang akan Kau timpakan kepadaku. Engkaulah yang berhak menegurku sehingga Engkau meridhaiku. Tiada daya dan upaya kecuali dari-Mu." (Muhammad Husen Haikal, Hayatu Muhammad, hal 187).


Doa ini, yang dikenal dengan nama "Doa Thaif," mencerminkan ketundukan dan ketergantungan Nabi Muhammad kepada Allah. Ia memohon petunjuk dan perlindungan-Nya, meskipun dihadapkan dengan penderitaan yang luar biasa.


Melalui kisah ini, kita diingatkan untuk selalu merendahkan diri di hadapan Allah, mengakui kelemahan kita, dan menyandarkan segala harapan hanya kepada-Nya. Penghambaan kepada Allah adalah manifestasi dari ikrar kita dalam surat al-Fatihah, "Iyyaka Na'budu wa Iyyaka Nasta'in" – hanya kepada-Mu kami menyembah, dan hanya kepada-Mu kami memohon pertolongan

Tulisan ini dikutip dari artikel karya KH Zakky Mubarak sebagaimana dimuat di NU Online.