Mengenal Kitab Dardir Qisshatul Mi’raj: Kisah Perjalanan Isra Mi’raj Nabi Muhammad Saw
Sabtu, 18 Januari 2025 | 13:00 WIB
Setiap penghujung bulan Rajab, umat Islam di seluruh dunia memperingati peristiwa penting Isra dan Mi’raj Nabi Muhammad saw. Peristiwa penuh makna ini membawa oleh-oleh luar biasa bagi umat Islam berupa kewajiban shalat lima waktu.
Kisah ini terjadi di tengah duka mendalam yang dialami Rasulullah saw, setelah kehilangan istri tercinta, Sayyidah Khadijah, dan pamannya, Abu Thalib. Allah swt menghiburnya dengan memperjalankan beliau dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha, lalu menuju Sidratul Muntaha, dengan Malaikat Jibril as sebagai pendamping setia.
Kisah perjalanan monumental ini diabadikan dalam kitab Qishshatul Mi’raj karya Syekh Najmuddin al-Ghaithi. Karya tersebut kemudian diperluas dengan penjelasan kritis oleh Sayyid Ahmad al-Dardiri, menjadikannya salah satu referensi penting dalam kajian Isra Mi’raj.
Seperti dongeng rakyat yang dimulai dengan kalimat "pada suatu ketika," kitab ini mengandung unsur sastra yang kental. Syekh al-Ghaithi menyuguhkan deskripsi mendetail, seolah-olah pembaca turut menyaksikan langsung perjalanan Nabi. Dari rumah beliau hingga ke Masjidil Aqsha, setiap adegan tergambar dengan sangat rinci.
Diceritakan pula bagaimana Malaikat Jibril dan Mikail membersihkan hati Rasulullah saw menggunakan air zamzam. Kendaraan Nabi, Buraq, dijelaskan secara unik: tubuhnya lebih besar dari keledai, tetapi lebih kecil dari kuda, dan memiliki kecanggihan mekanik yang mengagumkan kakinya menyesuaikan bentuk medan agar perjalanan tetap mulus.
Perjalanan ini penuh pengalaman, termasuk perjumpaan dengan para nabi dan bolak-baliknya Nabi Muhammad saw bertemu Allah swt untuk menetapkan jumlah kewajiban shalat. Awalnya diperintahkan 50 waktu sehari, kemudian atas nasihat Nabi Musa as, jumlah itu dikurangi menjadi lima waktu.
Kitab ini juga memuat kisah skeptisisme kaum kafir Quraisy yang mempertanyakan kebenaran Isra Mi’raj. Rasulullah saw menjawab dengan akurat, dibantu kepercayaan penuh dari Abu Bakar as-Shiddiq ra, yang kemudian dijuluki ash-Shiddiq karena membenarkan kisah tersebut tanpa ragu.
Di Indonesia, kitab ini menjadi bacaan rutin di berbagai pesantren. Pondok Buntet Pesantren Cirebon, misalnya, membacanya setiap tahun selama tiga malam di Masjid Agung Buntet Pesantren untuk memperingati Isra Mi’raj. Tradisi ini berlangsung mulai malam ke-25 Rajab hingga khatam pada malam ke-27.
Tulisan ini dikutip dari artikel karya Syakir NF, sebagaimana dimuat di NU Online.
Terpopuler
1
Pelunasan Haji Khusus 2025 Memasuki Hari Keempat, Kuota Terisi Hampir 50%, Masih Dibuka hingga 7 Februari
2
LAZISNU Depok Resmi Jadi Percontohan dalam Program Koin Digital NU
3
3 Peristiwa Penting di Bulan Syaban, Bulan Pengampunan dan Rekapitulasi Amal
4
IPNU-IPPNU Kabupaten Tasikmalaya Gelar Diklat Aswaja, Perkuat Pemahaman Keaswajaan Pelajar NU
5
Menjaga Warisan Gus Dur: Alisa Wahid dan Tantangan Toleransi di Indonesia
6
Hasil Bahtsul Masail Kubro Putri se-Jabar di Pesantren Sunanulhuda 2025 terkait Hukum Sungkem dan Mushofahah kepada Guru, Download di Sini
Terkini
Lihat Semua