Refleksi HUT ke-80 RI: Indonesia Di Tengah Geoekonomi Dunia
Kamis, 14 Agustus 2025 | 12:24 WIB
Eko Setiobudi
Kolomnis
Bangsa Indonesia kembali memperingati hari Proklamasi Kemerdekaan yang ke 80, tepat pada tanggal 17 Agustus 2025. Sebuah momentum sakral nan bersejarah dalam perjalanan bangsa Indonesia, dari jaman perjuangan kemerdekaan hingga saat ini.
Kemeriahan warga dan masyarakat Indonesia dapat kita saksikan di seluruh wilayah Indonesia. Pengibaran bendera merah putih di setiap rumah warga dan penduduk, pengibaran umbul-umbul merah putih di sepanjang jalan, gang, serta perkantoran dari tanggal 1 hingga 31 Agustus 2025 adalah wujud nyata dari interprestasi nilai-nilai nasionalisme warga masyarakat menyambut HUT RI ke-80.
Beragam perlombaan, mulai dari panjat pinang, gerak jalan, balap karung dan beragam perlombaan tradisonal lainnya, dengan antusias dapat kita saksikan yang sekaligus menyemarakkan peringatan HUT RI, dari tahun ke tahun. Sebuah tradisi dan ritual tahunan yang seolah-olah menjadi kewajiban warga masyarakat Indonesia setiap kali menyambut HUT RI. Sebuah sikap nasionalisme nyata yang belum tentu terjadi di negara-negara barat yang sudah sedemikian modern dan maju.
Negara Bangsa
Jean Jacques Rousseau (1712-1778), seorang filsuf, composer dan pemikir tentang bangsa dan nasionalisme yang berasal dari genewa (Swiss dalam bangsa modern) yang pendapatnya banyak dijadikan rujukan utama para pemikir modern terkait pembentukan negara dan bangsa, menyebutkan bahwa nasionalisme menekankan nilai kesatuan moral dari rakyat yang terpaut bersama untuk mencapai tujuan bersama. Rousseau menegaskan bahwa masyarakat wajib diperintah dengan undang-undang yang dibuat oleh mereka sendiri, bukan dari raja yang dianggap memiliki sifat ketuhanan dan berdiri di atas undang-undang. Ia menekankan perlunya satu kesetiaan tertinggi (a supreme loyality) kepada tanah air, satu kewajiban yang suci sehingga hampir menjadi satu sendi dari kepercayaan agama.
Pada pidatonya yang disampaikan oleh Soekarno tanggal 1 Juni 1945, Soekarno menyebutkan poin kebangsaan sebagai rumusan dasar negara yang diusulkannya. Kata kebangsaan yang disebutkan oleh Soekarno dimaknai bahwa negara yang didirikan bukan untuk dan atas kepentingan seseorang atau dan atas kepentingan golongan tertentu seperti golongan, kaya, miskin, bangsawan, atau golongan agama tertentu.
Kebangsaan merupakan perwujudan dari sila ketiga Pancasila yaitu persatuan Indonesia. Persatuan menjadi suluh nasionalisme bangsa yang menjadi kekuatan untuk bertahan dari gelapnya penjajahan, dan semangat kebangsaan dan persatuan ini masih terus dikobarkan dan menjadi kekuatan tersendiri bagi tegaknya NKRI termasuk dalam setiap momentum kemerdekaan.
Persatuan merupakan suatu cita-cita luhur yang sulit direalisasikan dengan kenyataan negara Indonesia yang majemuk. Hal tersulit didalam merealisasikannya adalah proses didalam membentuk kesadaran bangsa Indonesia akan pentingnya persatuan dibanding kepentingan individu atau kelompok dan kesadaran akan pentingnya berbudaya.
Soekarno juga menyerap dari prinsip yang ada didalam tokoh revolusi China yang berjudul San Mun Chu I yang menekankan tentang prinsip nasionalisme, demokrasi, dan sosialisme. Soekarno sangat mengidam-idamkan kebangssaan yang berperikemanusiaan, yang tidak meremehkan bangsa lain, serta yang tidak chauvinisme. Soekarno menginginkan faham bangsa yang tidak dibangun berdasarkan kepentingan kelompok, ras, suku, dan agama tertentu (Soekarno, 1965).
Kebangsaan yang dimaksud Soekarno bukan hanya kebangsaan yang memiliki perasaan untuk untuk bersatu saja, namun kebangsaan yang menyatukan watak atas perasaan senasib. Dari rasa kebangsaan lahir jiwa nasionalisme bangsa yang merasakan penderitaan mendalam sehingga timbul perasaan senasib dan ingin melepaskan dari penjajahan yang sengsara. Maka dengan rasa nasionalisme Soekarno yang menggebu itu yang kemudian membawa masyarakat Indonesia kepada semagat persatuan dan dengan rasa nasionalisme Soekarno yang membawa energi positif itu yang di ridhai Allah.
Pertarungan Geo-Ekonomi
Pada tahun 2010 pergeseran ekonomi tidak lagi tersentral pada Eropa dan Amerika Serikat (AS). Pendulum ekonomi bergeser dari barat menuju Indo-Pasifik. Dengan dukungan maritim yang signifikan, semenjak tahun 2010 kawasan Indo-Pasifik hadir sebagai jantung ekonomi dunia. Posisinya yang strageis, karena diantara dua Samudra yakni Samudra Hindia dan Samudra Pasifik, maka negara-negara di kawasan Indo-Pasifik mampu berkontribusi signifikan bagi pertumbuhan ekonomi global dan memiliki kekuatan ekonomi yang signifikan, menjadi pusat pertumbuhan global dan menyumbang lebih dari setengah PDB dunia (hampir 60%).
Dengan dukungan jumlah populasi yang sangat besar, yakni sekitar 65% dari jumlah populasi penduduk dunia, pertumbuhan kelas menengah yang memiliki trend meningkat dari waktu ke waktu, serta dukungan sumber daya alam yang masih melimpah, menjadikannya mesin utama pertumbuhan ekonomi global semenjak tahun 2010.
Lihat saja, hadirnya raksasa-raksana ekonomi di negara-negara Indo-Pasifik, khususnya China dan India yang menguasai rantai pasokan ekonomi dunia, khususnya menyangkut dengan barang konsumsi, bahan baku industri, energi, sampai dengan tekhnologi informasi. Di tambah dengan Indonesia dengan dukungan sumber daya alam yang melimpah serta perkebunan yang hampir menguasai seluruh pasar dunia, serta hadirnya Vietnam sebagai negara pertumbuhan baru yang menjadi pusat bagi industri global. Hal tersebut semakin memperkuat raksasa-raksana ekonomi yang sebelumnya sudah ada dan cukup eksis dalam penguasaan ekonomi dunia, seperti Jepang, Korea Selatan, dan Taiwan.
Kondisi tersebut tentu menjadi ancaman bagi negara-negara yang selama ini mendominasi ekonomi dunia, seperti AS, Rusia dan negara-negara Eropa khususnya negara-negara yang tergabung dalam G-7. Alhasil Rusia memotori pendirian BRICS, yang menjadikannya sebuah kekuatan blok politik dan ekonomi, dengan tujuan utama membangun Kerjasama Kawasan, bilateral dan multilateral berdasarkan pada prinsip non-intervensi, kesetaraan, dan saling menguntungkan.
Sementara AS, dibawah Presiden Donald Trump membuat strategi perang dagang dengan menaikkan tarif yang dimulai semenjak Trump menjabat sebagai Presiden AS yang pertama, tapatnya pada tahun 2018. Seolah ingin mengulanggi keberhasilan Presiden ke-40 AS, Ronald Wilson Reagan yang juga pernah memberlakukan tarif 100 persen atas barang-barang Jepang sebagai sanksi balasan yang ditujukan pada produk elektronik senilai US$ 300 juta dalam sengketa semikonduktor pada 1987. Dan Reagan cukup berhasil menekan Jepang sebagai kekuatan ekonomi dunia pada waktu itu.
Di tengah tumbuh dan berkembangnya Kawasan Indo-Pasifik sebagai kekuatan geo-ekonomi baru dunia, serta beragam upaya melemahkan Kawasan Indo-Pasifik oleh Rusia melalui BRICS dan AS melalui perang dagang, dunia kembali dihantam tragedi, yang memporak-porandakan struktur ekonomi dunia dan berdampak pada pelemahan Kawasan Indo-Pasifik. Tragedi tersebut adalah covid-19, perang Rusia-Ukraina, dan perang Kawasan Timur Tengah antara Israel-Palestina yang terus meluas sampai ke Yaman, Suriah dan bahkan Iran.
Tiga tragedi yang kemudian berdampak signifikan terhadap perubahan rantai pasok dunia, penurunan investasi global, pelambatan bahkan ketidakpastian ekonomi global hingga saat ini. Maka wajar jika para ahli menyebutkan bahwa tiga tragedi tersebut di atas adalah upaya sistematis untuk mengembalikan kekuatan ekonomi dunia, dari Kawasan Indo-Pasifik ke Eropa dan AS. Alasan ini tentunya tidaklah berlebihan, karena melihat latar belakang dan sepak terjang negara-negara Kawasan Eropa dan AS dalam dominasi dan menguasasi kekuatan dan sumber daya ekonomi dunia, mulai dari penguasaan rantai pasokan, tekhnologi, mesin-mesin produksi sampai dengan penguasaan sistem moneter dunia.
Bagaimana Indonesia? Di tengah kondisi geoekonomi yang masih terus bergejolak dan dipenuhi ketidakpastian global, seperti masih terjadinya perang Rusia-Ukraina, dan perang di kawasan Timur Tengah, serta tantangan perubahan krisis iklim yang kian memburuk, kesenjangan antar negara yang terus melebar, serta perkembangan teknologi informasi yang kian tidak terkendali, kondisi yang demikian bisa menjadi tantangan sekaligus peluang bagi Indonesia.
Peringatan HUT RI ke-80 harus dijadikan oleh momentum bangsa Indonesia untuk bangkit di tengah kondisi ketidakpastian geo-ekonomi global saat ini. Dengan dukungan populasi jumlah penduduk yang besar dan potensi SDA yang melimpah, Indonesia harus mampu hadir sebagai salah satu kekuatan ekonomi dunia di tengah ketidakpastian geo-ekonomi dunia.
Oleh sebab itu, kondisi ketidakpastian geo-ekonomi dunia harus dijadikan sebagai tantangan sekaligus sebagai peluang. Dijadikan sebagai tantangan yakni menyangkut dengan keberanian untuk hadir dan tampil sebagai negara dengan ekonomi berkelanjutan, melalui tata kelola dan kebijakan ekonomi dalam perdagangan antar negara, baik itu menyangkut dengan digitalisasi, perombakan tatanan sektor dan struktur ekonomi, diversifikasi rantai pasokan, hingga menjadikan potensi hutan yang malih sangat luas dan kawasan hijau sebagai penopang paru-paru dunia sebagai bargaining dan negosiasi dalam setiap transaksi ekonomi dan kerjasama bilateral atau multilateral dengan negara lain.
Peran ini bisa dilakukan oleh Indonesia yakni melalui: Pertama, mengunakan Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) sebagai pilar utama dalam kunci sukses Indonesia memainkan perannya dalam geo-ekonomi dunia. Hal ini tidaklah berlebihan, pasalnya Indonesia memiliki empat modal sosial dan modal ekonomi utama, yakni (1) sebagai negara dengan jumlah penduduk muslim terbesar di dunia, (2) Indonesia sebagai negara dengan arus utama Islam moderat, yang dapat berkontribusi dalam membangun pemahaman global mengenai isu-isu Islamophobia, (3) negara yang cukup berhasil dalam pengembangan industri alal dan keuangan Syariah, (4) dukungan keindahan alam yang menjadi peluang untuk mengembangkan ecoturism.
Dengan ke empat modal tersebut, Indonesia bisa mengunakan OKI untuk membangun kemitraaan dan Kerjasama bilateral dan multilateral, bukan hanya sesame anggota OKI, tetapi bersama dengan OKI tampil dalam kancah pertarungan geo-ekonomi dunia, yang saat ini sedang mengalami kondisi ketidakpastian global.
Meskipun jumlah populasi penduduk negara-negara anggota OKI Hanya sekitar 25% dari total populasi dunia, serta kontribusinya hanya sekitar 10% dari total PDB dunia, tetapi melalui kemasan sistematis terkait dengan ke empath al tersebut di atas dan komunikasi yang intensif, bukan tidak mungkin dalam ke empat isu tersebut, Indonesia akan menjadi leader bukan hanya di negara-negara anggota OKI, tetapi Indonesia akan berpeluang untuk menjadi leader bagi pengembalian pendulum ekonomi dunia ke Kawasan Indo-Pasifik, yang bukan hanya menjadi jantung perekonomian dunia, tetapi diprediksi akan menjadi masa depan bagi perekonomian dunia.
Kedua, Indonesia melalui OKI harus berani tampil menjadi leader, melalui berbagai inisiatif dan upaya solidaritas, kerja sama, dan koordinasi di antara negara-negara anggota dalam berbagai bidang seperti ekonomi, sosial, budaya, dan politik.
Ketiga, soliditas negara-negara anggota OKI yang sudah terbangun melalui solidaritas, kerja sama, dan koordinasi, akan menjadi bargaining bagi Indonesia untuk bernegosiasi dengan para raksana ekonomi dunia, seperti AS, Jerman, China, dan Rusia.
Berdasarkan pada analisa tersebut di atas, maka pilihan Indonesia untuk tampil sebagai kekuatan ekonomi dunia dalam pertarungan geo-ekonomi akan lebih berpeluang manakala Indonesia mengunakan OKI sebagai pilar utamanya, ketimbang mengunakan BRICS atau bahkan G-20 sekaligus. Bagaimanapun modal sosial dan modal ekonomi Indonesia, memiliki irisan yang cukup kuat dengan prinsip-prinsip ekonomi dari negara-negara anggota OKI.
Kondisi kondisi ketidakpastian geo-ekonomi dunia, sekaligus juga dijadikan sebagai peluang agar pemerintah bisa fokus memperbaiki ekonomi dalam negeri dalam upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Fokus ini meliputi kebijakan dan program yang menyangkut dengan (1) ketahanan pangan dengan menguatkan produksi domestik melalui intensifikasi dan ekstensifikasi pertanian. (2) kemandirian energi, serta mempercepat transisi ke energi hijau dengan tetap mengelola keseimbangan antara energi terbarukan dan nonterbarukan. (3) Pembangunan sumber daya manusia yang berkualitas. (4) Hilirisasi sebagai strategi utama untuk memaksimalkan nilai tambah dari sumber daya alam Indonesia, yang tidak hanya fokus pada mineral, tetapi juga produk-produk unggulan lain seperti produk-produk perkebunan, pertanian dan peternakan, yang mampu menopang kebiajkan dan program ketahanan pangan nasional.
Jika peluang dan tantangan di tengah kondisi ketidakpastian geo-ekonomi dunia tersebut bisa di jalankan optimal dengan dasar komitmen bersama demi bangsa dan negara (meskipun terjadi pergantian rezin dalam Pilpres), maka cita-cita menuju Indonesia Emas tahun 2045 bukan tidak mungkin bisa dipercepat menjadi sekitar tahun 2030-an. Bahkan peluang Indonesia untuk menjadi leader sekaligus pemain utama perekonomian global melalui peran OKI dan Kawasan Indo-Pasifik akan sangat terbuka lebar.
Dr Eko Setiobudi, SE, ME, Dosen Ekonomi Dan Ketua Tanfidziyah Ranting NU Desa Limusnunggal, Kec. Cileungsi, Kab. Bogor
Terpopuler
1
Diklatama II CBP-KPP IPNU-IPPNU Kota Bandung Cetak Kader Tangguh dan Berdedikasi
2
Fenomena Pengibaran Bendera One Piece: Ketika Ekspresi Seni Berbicara Tentang Nasionalisme Jelang HUT RI ke-80
3
Khutbah Jumat Kemerdekaan: Belajar Mencintai Tanah Air dari Para Nabi dan Ulama
4
LPBINU Jabar Terima Kunjungan Save the Children Indonesia dan Korea untuk Monitoring Program Adaptasi Iklim
5
MWCNU Cimanggis Bahas Keaswajaan dan Paham Menyimpang Bersama KH. Ma’ruf Khozin
6
Ketua IPPNU Jabar Ajak Kader di Cirebon Perkuat Peran dan Persatuan Organisasi
Terkini
Lihat Semua