Ekonomi

Anomali Neraca Perdagangan Indonesia

Rabu, 6 November 2024 | 11:29 WIB

Anomali Neraca Perdagangan Indonesia

Neraca Perdagangan. (Ilustrasi: Freepik.com).

Sampai dengan periode Bulan September tahun 2024, Neraca Perdagangan Indonesia terus mencatatkan tren positif alias surplus. Neraca Perdagangan Indonesia pada bulan September 2024 tercatat surplus sebesar USD 3,26 miliar. Trend positif ini  memperpanjang tren surplus neraca perdagangan Indonesia menjadi 53 bulan secara berturut-turut sejak Mei 2020. Hingga September 2024 dimana nilai akumulasi surplus tersebut tercatat sebesar USD 21,98 miliar.


Surplus neraca perdagangan tersebut disebabkan nilai ekspor pada September 2024 masih lebih besar dibandingkan impor. Tercatat ekspor Indonesia pada September 2024 mencapai USD22,08 miliar atau turun 5,80 persen dibandingkan Agustus 2024. Sementara itu, nilai impor Indonesia pada periode yang sama mencapai USD18,82 miliar atau turun 8,91 persen jika dibandingkan dengan Agustus 2024.


Dari sisi ekspor, neraca perdagangan Indonesia pada periode bulan September 2024 tercatat sebesar USD 22,08 miliar, yang ditopang dari peningkatan ekspor nonmigas sebesar 8,13 persen (year on year).  Sementara, ekspor sektor migas tercatat mengalami penurunan. Kontributor utama yang mendorong peningkatan ekspor nonmigas di antaranya besi dan baja, bahan bakar mineral, nikel dan barang daripadanya, serta logam mulia dan perhiasan/permata. 


Pertumbuhan ekspor disumbang oleh sektor pertanian sebesar 38,76 persen (yoy), diikuti sektor pertambangan dan lainnya sebesar 9,03 persen (yoy), dan juga sektor industri pengolahan sebesar 7,11 persen (yoy).  


Negara utama tujuan ekspor masih didominasi Tiongkok, Amerika Serikat (AS), dan Jepang dengan kontribusi nilai ekspor ketiga negara tersebut sebesar 43,57 persen terhadap total ekspor nonmigas Indonesia. 


Dari sisi impor, periode bulan September 2024 tercatat sebesar USD18,82 miliar atau naik 8,55 persen (yoy). Kenaikan tersebut disebabkan oleh kenaikan impor nonmigas sebesar 16,29 persen,  (yoy). Dimana kenaikan tertinggi adalah impor barang modal sebesar 18,44 persen (yoy), kemudian impor barang konsumsi sebesar 11,30 persen (yoy) dan bahan baku penolong sebesar 5,87 persen (yoy).  Sementara impor sektor migas mengalami penurunan sebesar 24,04 persen (yoy). 


Penyumbang terbesar impor nonmigas adalah komoditas plastik dan barang dari plastik, mesin/peralatan mekanis, dan mesin/perlengkapan elektrik dengan kontribusi ketiganya sebesar 31,38 persen terhadap total impor nonmigas. 


Pelambatan Ekonomi


Meskipun neraca perdagangan surplus, sisi ekspor maupun impor sama-sama mengalami penurunan. Bahkan dari data tersebut terlihat bahwa sekitar 50 persen impor adalah komuditas bahan baku baku industri, artinya ketika impor bahan baku industri mengalami penurunan, artinya kapasitas produksi dalam negeri juga sedang mengalami penurunan atau lesu. 


Kelesuan sector industri manufactur tergambar jelas dari Purchasing Managers' Index (PMI) manufacture Indonesia, dimana PMI periode Oktober 2024 berada di level 49,2. Angka ini menunjukkan adanya kontraksi yang berlanjut sejak Juli 2024, dimana selama empat bulan berturut-turut berada di bawah angka 50. Penurunan ini disebabkan oleh penurunan permintaan basar dan penurunan permintaan produk baru, baik permintaan dalam negeri maupun permintaan luar negeri (ekspor).


Melemahnya kapasitas produksi dan permintaan baru tentu akan berdampak pada Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di industri manufacture Indonesia. Simak saja trend PHK yang terjadi di Indonesia dalam beberapa bulan terakhir. Menurut data Kementerian Ketenagakerjaan RI, jumlah pemutusan hubungan kerja (PHK) sampai dengan agustus 2024 mencapai 45.969. Dengan daerah tertinggi berturut-turut adalah Jawa Tengah, Banten, dan Jawa Barat, dan umumnya menerpa sektor manufacture atau industri pengolahan. Bahkan banyak kalangan memprediksi sampai dengan akhir tahun 2024, angka PHK diperkirakan bisa menembus angka 70.000. 


Kelesuan ini bisa jadi juga disebabkan oleh daya beli masyarakat Indonesia yang sedang menurun. Bahkan BPS mencatat Indonesia sampai dengan September tahun 2024, Indonesia mengalami deflasi selama lima bulan berturut-turut. BPS menyebutkan bahwa bulan September deflasi sebesar 0,12 persen. Sedangkan secara tahunan atau year on year (yoy) inflasi sebesar 1,84 persen. Terjadi penurunan Indeks Harga Konsumen (IHK) dari 106,06 pada Agustus 2024 menjadi 105,93 pada September 2024. Penyumbang deflasi tersebut adalah sector makanan, minuman dan tembakau yaitu sebesar 0,59 persen. Kelompok itu memberikan andil deflasi sebesar 0,17 persen.


Deflasi selama lima bulan berturut-turut sekaligus mengambarkan bahwa terjadi penurunan daya beli masyarakat. Sinyalemen ini semakin dikuatkan dengan penurunan konsumsi sektor rumah tangga yang tercatat melambat pada kuartal II/2024 dengan pertumbuhan 4,93%, lebih rendah dibandingkan 5,22% pada periode yang sama tahun sebelumnya.


Perbaikan Tata Kelola Sektor Manufacture


Meskipun neraca  perdagangan Indonesia memiliki trend positif/surplus, namun kelesuan industri manufacture dalam negeri sebagaimana yang dijelaskan di atas, harus dijadikan sebagai momentum untuk memperbaiki tata Kelola sector manufacture, karena memiliki efek domino terhadap perekonomian nasional.


Bukan hanya itu, sektor industri manufacture masih menjadi salah penopang perekonomian dalam negeri, baik melalui penyerapan tenaga kerja, pertumbuhan ekonomi, investasi, distribusi pendapatan dan lain sebagainya.


Pertumbuhan ekspor harus dijadikan kata kunci untuk mendorong kinerja sektor manufacture sekaligus memperbaiki indeks manufacture nasional. Hal ini tentunya bisa dilakukan jika industri mampu melakukan perbaikan dalam beberapa hal, mulai dari produktifitas, kualitas, efisiensi dan daya saing global. 


Hal ini antara lain bisa dilakukan dengan (1) menjaga iklim investasi khususnya dengan pola menarik investasi pada industri berorientasi ekspor, (2) memperbaiki kinerja dan tata kelola industri dan eksport sehingga mampu meningkatkan daya saing komoditi nasional di pasar dunia, (3) mempermudah perijinan, memberikan insentif pajak khususnya pada investasi-investasi yang berorientasi eksport, serta mempercepat kebijakan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) terhadap semua produk-produk yang dipasarkan di Indonesia, dalam rangka mendorong tumbuhnya indstri lokal serta memperbesar penyerapan tenaga kerja lokal.


Jika semua hal tersebut bisa dilakukan secara komperhensif dan kontinyu maka cita-cita menjadi negara maju dengan daya topang industri dalam negeri serta membuka investasi pada sektor-sektor yang bernilai tambah tinggi, baik secara tekhnologi produksi maupun pergeseran dari eksport bahan mentah menjadi eksport barang jadi akan sangat mudah diwujudkan.


Selain itu, produk-produk yang bernilai tambah tinggi mampu meningkatkan daya saing eksport produk-produk Indonesia di pasar global. Alhasil, pasar-pasar baru bagi produk-produk Indonesia dapat terbuka lebar. Dan eksport kita tidak selalu bergantung pada “belas kasihan” negara lain dalam bentuk penurunan atau insentif import yang berikan negara-negara lain kepada Indonesia sebagaimana yang banyak terjadi selama ini.


Dr Eko Setiobudi, SE, ME, Dosen Ekonomi dan Ketua Tanfidziyah Ranting NU Desa Limusnunggal, Kecamatan Cileungsi, Kabupaten Bogor