Ubudiyah

Sambangi Orang Pulang Haji di Antara Tradisi dan Nilai Spiritual

Kamis, 4 Juli 2024 | 10:00 WIB

Sambangi Orang Pulang Haji di Antara Tradisi dan Nilai Spiritual

Sambangi Orang Pulang Haji Diantara Tradisi dan Nilai Spiritual (Foto: kemenag.go.id)

Prosesi ibadah haji tahun 1445 H/2024 M saat ini sedang memasuki fase kepulangan. Jamaah haji gelombang pertama asal Indonesia mulai dipulangkan secara bertahap pada 21 Juni 2024, sementara jamaah lainnya yang tergabung dalam gelombang kedua masih melaksanakan prosesi ibadah haji di Madinah.


Kepulangan jamaah sangat dinantikan oleh keluarga, kerabat, dan tetangga di tanah air. Kedatangan mereka disambut dengan rasa rindu yang mendalam. Banyak keluarga yang menjemput langsung ke bandara sebagai wujud kebahagiaan dan berharap mendapatkan keberkahan dari para jamaah usai menjalankan rukun Islam yang kelima ini.


Penjemputan jamaah oleh keluarga sudah menjadi tradisi di Indonesia. Selain itu, terdapat tradisi lain yaitu acara tasyakuran dan menyambangi rumah jamaah yang baru pulang haji. Para tetangga dan kerabat bergiliran datang dengan tujuan mencari berkah dan meminta doa. Kebiasaan ini biasanya berlangsung hingga empat puluh hari sejak kepulangan dari tanah suci Makkah.


Sepulang dari ibadah haji, rumah jamaah sering dikunjungi oleh tetangga dan keluarga jauh untuk bersilaturahmi, mencari keberkahan, serta meminta doa agar dapat menunaikan ibadah haji juga.
 

Dalam kunjungan tersebut, para tamu sering kali disuguhi hidangan khas Makkah. Selain itu, mereka juga mendapatkan oleh-oleh khas haji seperti air Zamzam, sajadah, tasbih, dan lain sebagainya.


Tradisi menyambangi dan bersilaturahim pada orang yang baru pulang haji untuk mengambil keberkahan dan meminta di doakan bukanlah praktik yang jelek dan jauh dari ajaran agama, tetapi ini merupakan ajaran yang telah dijelaskan oleh para ulama terdahulu.

 
Dalam kitab Hasyiyah Qaliyubi yang ditulis oleh Syihabuddin al-Qaliyubi salah satu ulama kenamaan dari madzhab syafi’i, terdapat keterangan bahwa bagi orang yang berhaji dianjurkan mendo’akan atau memintakan ampunan kepada orang yang tidak berhaji meskipun orang tersebut tidak memintanya.


Begitu sebaliknya orang yang tidak berhaji disunahkan untuk meminta dido’akan agar dosanya diampuni. Menurutnya, para ulama menyebutkan bahwa waktunya sampai empat puluh hari. Empat puluh hari ini dihitung sejak kedatangannya.


 وَيُنْدَبُ لِلْحَاجِّ الدُّعَاءُ لِغَيْرِهِ بِالْمَغْفِرَةِ وَإِنْ لَمْ يَسْأَلْ وَلِغَيْرِهِ سُؤَالُ الدُّعَاءِ مِنْهُ بِهَا وَذَكَرُوا أَنَّهُ أَيْ الدُّعَاءَ يَمْتَدُّ أَرْبَعِينَ يَوْمًا مِنْ قُدُومِهِ 

 
“Dan disunahkan bagi orang yang berhaji untuk mendo’akan kepada orang (yang tidak berhaji) dengan ampunan meskipun orang tersebut tidak meminta. Dan bagi orang yang tidak berhaji hendaknya meminta dido’akan oleh dia. Para ulama menyebutkan bahwa do’a tersebut sampai empat puluh hari dari kedatangannya” (Syihabuddin al-Qaliyubi, Hasyiyah Qaliyubi ‘ala Syarhi Jalaliddin al-Mahali, Bairut-Dar al-Fikr, 1419 H/1998 M, juz, II, hlm. 190).


berdasarkan penjelasan ini, maka sebenarnya praktik menyambangi atau bersilaturahmi kepada orang yang baru pulang dari haji dalam rangka untuk meminta dido’akan dan mencari keberkahan adalah sesuatu yang baik dan dianjurkan sebagaimana keterangan di atas.


Sementara untuk tradisi tasyakuran kepulangan haji, merupakan tradisi yang dibenarkan dalam ajaran islam, termasuk dalam rangka menyambut kepulangan jamaah haji ke rumah. Imam Nawawi mengatakan, praktik ini hukumnya sunnah dan menyebutnya sebagai naqi’ah, yaitu hidangan yang dipersembahkan untuk menyambut kedatangan seseorang.


Penjelasan Imam an-Nawawi dalam al-Majmu’ Syarah Muhadzdzab (4/400) menjelaskan:

 
يستحب النقيعة، وهي طعام يُعمل لقدوم المسافر ، ويطلق على ما يَعمله المسافر القادم ، وعلى ما يعمله غيرُه له  

 
Artinya: “Disunnahkan untuk mengadakan naqi’ah, yaitu hidangan makanan yang digelar sepulang safar. Baik yang menyediakan makanan itu orang yang baru pulang safar atau disediakan orang lain.”


An-Nawawi mendasari penjelasannya itu dari hadis Nabi berikut:


أن رسول الله صلى الله عليه وسلم لما قدم المدينة من سفره نحر جزوراً أو بقرةً ” رواه البخاري  

 
Artinya, “Sesungguhnya Rasulullah saw ketika tiba dari Madinah sepulang safar, beliau menyembelih onta atau sapi.” (HR Bukhari). 

 
Dalam hadits lain riwayat Imam Bukhari dari Abdullah bin Ja’far juga disebutkan, 
 

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا قَدِمَ مِنْ سَفَرٍ تُلُقِّيَ بِنَا .فَتُلُقِّيَ بِي وَبِالْحَسَنِ أَوْ بِالْحُسَيْنِ . قَالَ : فَحَمَلَ أَحَدَنَا بَيْنَ يَدَيْهِ وَالْآخَرَ خَلْفَهُ حَتَّى دَخَلْنَا الْمَدِينَةَ  

 
Artinya, “Jika Nabi saw pulang dari safar, kami menyambutnya. Beliau menghampiriku, Hasan, dan Husain, lalu beliau menggendong salah satu di antara kami di depan, dan yang lain mengikuti di belakang beliau, hingga kami masuk kota Madinah.” (HR Muslim).