• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Senin, 29 April 2024

Taushiyah

DAKWAH SIAGA BENCANA

Tabarruk Lingkungan: Hidup Berdampingan dengan Alam

Tabarruk Lingkungan: Hidup Berdampingan dengan Alam
Tabaruk Lingkungan: Hidup Berdampingan dengan Alam. (Foto: Istimewa)
Tabaruk Lingkungan: Hidup Berdampingan dengan Alam. (Foto: Istimewa)

Tabaruk, berasal dari kata kerja baaraka-yubaariku yang berarti tafa’al bil barakah atau berbuat baik untuk mendapatkan keberkahan. Dalam tradisi masyarakat Arab, ketika mereka menjenguk orang sakit maka kata sapaan yang sering dipakai adalah “Ya Salimu” walaupun namanya bukan Salim. 


Panggilan ‘Ya Salimu’ mengandung arti orang yang selamat-sentosa. Ketika ada orang yang sedang sakit dipanggil ‘Ya Salimu’ berarti ia didoakan agar kembali sehat seperti sedia kala. Cara seperti ini disebut tafa’ul yaitu harapan untuk memperoleh berkah sesuai dengan niat dan perbuatan yang dilakukan.


Adapun berkah itu sendiri memiliki arti ziyadatul khair atau bertambahnya kebaikan. Berkah hanya dimiliki oleh Allah, Dzat pencipta alam jagat raya ini. Dalam Al-Qur’an sendiri, surat yang diawali dengan kata tabarak hanya dijumpai pada dua surat yaitu Surat al-Furqan dan Surat al-Mulk. Khusus pada Surat al-Mulk yang terdiri dari 30 ayat ini, menurut hadits riwayat Imam Ahmad, dapat memberikan syafa’at kepada pembacanya sehingga diampuni segala dosanya. 


Dalam kaitannya dengan masalah lingkungan, seseorang yang bertabaruk kepada alam atau lingkungan bukan berarti ia mengharap langsung mendapatkan kebaikan dari alam. Namun, ketika seseorang berbuat baik kepada lingkungan dengan sendirinya akan terbentuk keramahan lingkungan. Jika keramahan lingkungan terwujud, maka Allah SWT akan memberikan keberkahan kepada alam jagat raya, termasuk di dalamnya manusia. 


Dalam ajaran Islam, manusia diciptakan Allah Swt sebagai makhluk yang paling mulia dan paling sempurna. Allah SWT juga memberikan kepada manusia penghormatan dan mengunggulkannya atas makhluk-makhluk lainnya id dunia. 

Allah Swt menyatakan hal itu secara jelas dalam Al-Quran: 


۞ وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِىٓ ءَادَمَ وَحَمَلْنَٰهُمْ فِى ٱلْبَرِّ وَٱلْبَحْرِ وَرَزَقْنَٰهُم مِّنَ ٱلطَّيِّبَٰتِ وَفَضَّلْنَٰهُمْ عَلَىٰ كَثِيرٍ مِّمَّنْ خَلَقْنَا تَفْضِيلًا


Arab-Latin: Wa laqad karramnā banī ādama wa ḥamalnāhum fil-barri wal-baḥri wa razaqnāhum minaṭ-ṭayyibāti wa faḍḍalnāhum 'alā kaṡīrim mim man khalaqnā tafḍīlā


Artinya: Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.


Oleh karena itu, Allah Swt memberikan sunnah dan kepercayaan kepada manusia sebagai khalifah di muka bumi. Sebagai khalifah, Allah Swt memberikan kebebasan untuk mengelola alam yang sudah dirancang dengan segala potensinya. Allah Swt juga telah menyiapkan untuk manusia bahan-bahan dan bekal hidup yang diperlukan sampai datangnya hari kiamat. Mulai dari hewan, tumbuhan dan segala isi bumi. Semuanya dikaruniakan untuk manusia. 


Berdasarkan penjelasan di atas, pada dasarnya Allah Swt telah berbaik budi dalam jumlah yang tidak terhitung kepada manusia. Hanya saja sangat disayangkan banyak manusia yang melalaikan budi baik dan nikmat dari Allah Swt.


Alam merupakan nikmat Allah yang dititipkan kepada manusia agar dipergunakan sebaik mungkin dan semanfaat mungkin. Tapi sayang dalam prakteknya justru manusia banyak yang merusak dan menelantarkannya. Potensi alam yang seharusnya dikelola untuk kesejahteraan bersama, namun justru dieksploitasi tanpa memperhatikan untung-ruginya bagi kehidupan manusia dan alam semesta. 


Alam ini adalah milik Allah Swt dan dititipkan kepada manusia selaku khalifahnya di muka bumi agar terjaga kelestariannya. Kekayaan alam ini bukan semata untuk manusia yang hidup sekarang, melainkan warisan untuk generasi yang akan datang. Amanat ini memang dirasakan sangat berat bagi manusia beriman, tapi harus dijalankan karena manusia telah sepakat menandatangani kontrak kerja sebagai wakil Allah (khalifah Allah) di hadapan para malaikatnya. 


Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Imam Ahmad dari ‘Affan dari Abdurrahman bin Ibrahim dari al-‘Ula dari ayahnya, Abdurrahman yang bersumber dari Abu Hurairah, dinyatakan: pada saat Rasulullah Saw mendapatkan wahyu Al-Quran Surat al-Baqarah ayat 284 para sahabat yang mendengarkannya secara langsung atau melalui temannya seketika itu merasa ketakutan.


Mereka lalu mendatangi Rasulullah dengan kepada terkulai lemas di atas tunggangan mereka dan berjalan gontai:

“Wahai Rasulullah kami telah diperintahkan untuk mengerjakan sesuatu yang kami mampu, seperti sholat, puasa, jihad, dan sedekah. Tapi dengan turunnya ayat ini kami merasa tidak akan mampu menjalankannya.” 


Lantas Rasulullah Saw menjawab: “Apakah kalian ingin aku katakan bahwa kalian seperti umat-umat para Nabi terdahulu yang mengatakan”Kami mendengar dan kami juga yang melanggar?”. Mereka pun menjawab: “Kami mendengar dan kami akan patuh. Kami mengharap pengampunan-Mu, wahai Tuhan kami dan kepada-Mulah kami kembali.”


Berdasarkan hadits ini, sesungguhnya sangat berat tugas dan tanggung jawab manusia dalam mengemban amanat Allah dalam melestarikan alam semesta. Karena apa yang manusia perbuat baik secara terang-terangan maupun yang disembunyikan dalam mengelola alam ini, semua akan dibalas oleh Allah Swt.


Namun, meskipun tugas ini berat makhluk Allah Swt yang diciptakan paling sempurna manusia harus memiliki cita-cita yang diperjuangkan dalam melestarikan alam ini. rasulullah Saw bersabda: 


“Sesungguhnya cita-cita adalah rahmat dari Allah yang dianugerahkan kepada umatku. Sekiranya tidak ada cita-cita niscaya tidak ada ibu yang mau menyusui anaknya dan tidak ada petani yang mau menanam tanamannya”. (HR. Ad-Dailami). 


Kesediaan dan pernyataan para sahabat Nabi, bahwa mereka akan mendengarkan dan mentaati perintah Allah adalah karena mereka memiliki cita-cita memperjuangkan amanah Allah untuk menjaga alam semesta. Wallahua’lam..


Ditulis ulang dari buku Dakwah Siaga Bencana LPBI NU Jabar


Taushiyah Terbaru