• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Selasa, 30 April 2024

Taushiyah

KOLOM KH ZAKKY MUBARAK

Malu sebagai Perwujudan dari Iman

Malu sebagai Perwujudan dari Iman
Malu sebagai Perwujudan dari Iman
Malu sebagai Perwujudan dari Iman

Salah satu akhlak yang luhur dari Nabi kita Muhammad SAW adalah memiliki rasa malu yang sangat tinggi dan bersikap tawadhu’ atau rendah hati. Hal itu merupakan pokok dari akhlak yang terpuji sehingga disebutkan syadidal haya’ wa al-tawaddhu’i. Demikian tingginya rasa malu yang dimiliki Nabi SAW sehingga digambarkan dalam sebuah hadits bahwa beliau itu lebih pemalu dari seorang anak gadis yang ada dalam pingitannya.


كَانَ رَسُوْلُ الله صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَشَدَّ حياءً من العَذْرَاءِ في خِدْرِهَا


"Rasulullah SAW adalah seorang yang sangat pemalu melebihi pemalunya seorang anak gadis yang ada dalam pingitannya," (HR. Bukhari, 3562).


Perasaan malu dan iman merupakan dua saudara kembar yang tidak bisa dicerai-pisahkan. Apabila salah satunya hilang, maka hilanglah kedua-duanya. Setiap agama membawa ajaran tentang akhlak, dan akhlaknya agama Islam adalah rasa malu. Semakin tinggi rasa malu seseorang, maka semakin tinggi agama dan keimanannya. Sebaliknya, semakin rendah rasa malu seseorang, maka semakin rendah pula iman dan agamanya. Apabila rasa malu itu hilang sama sekali, maka orang itu tidak beragama lagi.


Rasa malu termasuk bagian dari iman dan iman itu mengantarkan umat manusia menuju kebahagiaan duniawi dan ukhrawi. Sedangkan sikap keras dan bengis serta suka mencela merupakan lawan dari rasa malu akan menggiring umat manusia menuju kehancuran duniawi dan ukhrawi. Rasa malu mewujudkan dirinya dengan kebaikan dan mengusahakan berbagai hal yang bermanfaat bagi kehidupan umat manusia. Nabi SAW bersabda:


الإِيمانُ بضْعٌ وسَبْعُونَ، أوْ بضْعٌ وسِتُّونَ، شُعْبَةً، فأفْضَلُها قَوْلُ لا إلَهَ إلَّا اللَّهُ، وأَدْناها إماطَةُ الأذَى عَنِ الطَّرِيقِ، والْحَياءُ شُعْبَةٌ مِنَ الإيمانِ


"Iman itu terdiri dari tujuh puluh tiga atau enam puluh tiga cabang. Paling utamanya adalah ucapan Lailaha illallah, sedangkan yang paling rendahnya membuang duri dari jalan, sedangkan malu termasuk bagian dari iman,". (HR. Muslim, 35).


Orang-orang yang memakai pakaian rasa malu tidak akan tercela dalam pandangan manusia secara umum. Cukuplah baginya hal seperti ini sebagai petunjuk kebaikan akhlaknya. Perbuatan tercela menunjukkan perangai yang buruk, sedangkan rasa malu merupakan hiasan yang indah bagi jiwa seseorang. Dengan demikian, sifat malu merupakan puncak moralitas yang tinggi dari diri seseorang. Mereka yang memiliki kriteria seperti ini akan senantiasa bersyukur ketika memperoleh nikmat. Mereka tabah dan tawakkal ketika dikenai musibah atau cobaan, bersikap adil dan jujur dalam memberikan keputusan.


Mereka juga akan senantiasa berbakti kepada kedua orang tua dan kaum kerabatnya, menjalin hubungan yang baik antar sesamanya, dan selalu berusaha mewujudkan kemaslahatan umum. Mereka yang memiliki kriteria sebagaimana disebutkan di atas akan selalu bertanggung jawab, jujur, dan memegang teguh amanat yang diberikan kepadanya. Memiliki sopan santun yang tinggi dan bertutur kata yang baik kepada semua orang, baik terhadap orang yang dikenal ataupun yang belum dikenal.


Sifat seperti itu bagi seorang wanita menjadi sangat penting, karena ia akan dapat menjaga dirinya, menjaga kesucian, dan ketaatan terhadap ajaran agama. Pada suatu saat, apabila mereka terpeleset ke dalam perbuatan tercela, segera menyesal dan bertaubat, kemudian dilanjutkan dengan meningkatkan iman dan amal yang shalehnya. Pada saat memperoleh rizki yang berlimpah, dan karunia lain yang tinggi, mereka merasakan bahwa semua itu semata-mata karunia dari Allah SWT.


Manusia berakhlak, selalu mewujudkan dirinya menjadi orang-orang yang bersikap rendah hati dan tidak pernah meremehkan orang lain. Mereka senantiasa merasakan kehadiran Allah SWT, baik pada saat mendapat nikmat dan karunia, maupun pada saat mendapat ujian dan cobaan.


Dr. KH. Zakky Mubarak, MA, salah seorang Mustasyar PBNU


Taushiyah Terbaru