• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Jumat, 29 Maret 2024

Taushiyah

KH MA Sahal Mahfudh: Menggali Hukum Islam (3)

KH MA Sahal Mahfudh: Menggali Hukum Islam (3)
KH MA Sahal Mahfudh. (Foto: NUO).
KH MA Sahal Mahfudh. (Foto: NUO).

Oleh: KH MA Sahal Mahfudh​​​​​​​
Istilah talfiq muncul dalam pembahasan, apakah ahli taqlid harus memilih satu mazhab tertentu dari sekian banyak mazhab para mujtahidin? Kalau harus demikian, apakah dibolehkan pindah mazhab secara keselurahan atau hanya dalam masalah tertentu saja? Ataukah tidak harus demikian, sehingga mereka bebas memilih qaul tertentu saja dari sekian mazhab yang standar dan bebas berpindah-pindah mazhab sesuai dengan kebutahan? Beberapa pertanyaan di atas memang telah menjadi perdebatan Ulama.

 

Imam Zakaria Al-Anshary dalam kitabnya Lubbul-Ushul mengatakan, yang paling shahih adalah, muqallid wajib menetapi salah satu mazhab tertentu yang diyakini lebih rajih daripada yang lain atau sama. Namun begitu, mereka diperbolehkan pindah ke mazhab lain.

 

Dalam hal ini para ulama mensyaratkan beberapa hal yang antara lain, tidak diperkenankan bersikap talfiq dengan cara mengambil yang paling ringan (tatabbul-rukhosh) dan beberapa aqwal al-madzahib (pendapat mazhab).

  

Talfiq secara harfiyah dapat diartikan melipatkan dua sisi sesuatu menjadi satu. Namun talfiq dalam hal taqlid ini, berarti menyatukan dua qaul dari dua mazhab yang berbeda ke dalam problema tertentu, sehingga menjadi satu komponen hukum yang tidak menjadi pendapat (qaul) bagi dua mazhab tersebut. Misalnya dalam hal berwudlu; Imam Syafi'i tidak mewajibkan menggosokan anggota badan yang dibasuh, sedangkan Imam Malik mewajibkannya. Dalam hal meraba farji Imam Syafi'i berpendapat, hal itu membatalkan wudlu secara muthlaq, sedangkan Imam Malik berpendapat, tidak membatalkan bila tanpa syahwat. Bila seseorang berwudlu dan tidak menggosok anggota badan karena taqlid kepada Imam Syafi'i namun kemudian meraba farji tanpa ada rasa syahwat, maka batallah wudlunya. Bila ia kemudian melakukan shalat, maka shalatnya juga batal, dengan kesepakatan kedua Imam ini. Karena ketika ia meraba farji -walaupun tanpa syahwat- maka wudlunya telah batal menurut Syafi'i. Begitu juga ketika ia tidak menggosok anggota badan pada wakt wudlu, maka wudlunya tidak sah menurut Imam Malik.

 

Rumusan hukum hasil produk bahtsul masail Syuriyah NU, bukan merupakan keputusan akhir. Masih dimungkinkan adanya koreksi dan peninjauan ulang bila diperlukan. Bila di kemudian hari ada salah seorang ulama -meskipun bukan peserta forum Syuriyah- menemukan nash/qaul atau 'ibarat lain dari salah satu kitab dan ternyata bertentangan dengan keputusan tersebut, maka keputusan itu bisa ditinjau kembali dalam forum yang sama.

 

Tidak ada perbedaan, antara pendapat ulama senior maupun yunior, antara yang sepuh dan yang muda dan antara kiai dan santri. Karena dalam dialog hukum ini yang paling mendasar adalah benar atau tepatnya pengambilan hukum sesuai dengan substansi masalah dan latar belakangnya. Pemilihan dalam tarjih antara dua qaul dilakukan menurut hasil pentarjihan dari para ahli tarjih yang diuraikan dengan rumus-rumus yang baku dalam isthilahu al-fuqha' al-Syafi'iyah. Misalnya al-Adhar, al-Masyhur, al-Ashahh, al-Shahih, al-Aujah dan lain sebagainya dari shighat tarjih. Ini berarti bahwa forum Syuriyah tidak melakukan tarjih secara langsung, tetapi hanya kadang-kadang menentukan pilihan tertentu sebagai sikap atas dasar perimbangan kebutuhan.

 

Hasil keputusan bahtsul masail Syuriyah NU itu, oleh cabang-cabang dan ranting disebar luaskan melalui kelompok-kelompok pengajian rutin, majelis Jumat dan kemudian dipedomani, dijadikan rujukan oleh warga NU khususnya, serta masyarakat pada umunya.

 

Para kiai/ulama NU dalam memberikan petunjuk hukum kepada masyarakatnya juga merujuk kepada keputusan forum tersebut. Hal ini bukan karena keputusan itu mengikat warga NU, namun karena kepercayann dan rasa mantap warga NU dan masyarakat terhadap produk Syuriyah NU. Meskipun masyarakat atau warga NU tahu, proses pengambilan keputusan dalam forum itu terdapat perdebatan yang sengit misalnya, namun bila keputusan telah diambil, masyarakat dan warga NU mengikuti keputusan itu tanpa ada rasa keterikatan-paksa, tetapi justru dengan kesadaran yang mantap, yang mungkin dipengaruhi oleh budaya paternalistik.

 

Sebagai kesimpulan dari pembahasan mengenai istinbath al-ahkam dalam kerja babtsul masail Syuriyah NU, dikemukakan beberapa hal sebagai berikut:

 

Kerja bahtsul masail NU mengambil hukum yang manshush maupun mukhorroj dari kitab-kitab fiqih mazhab, bukan langsung dari sumber al-Qur'an dan al-Sunnah. Ini sesuai dengan sikap yang dipilih yaitu bermazhab, yang berarti bertaqlid dan tidak berijtihad muthlaq, ijtihad mazhab maupun ijtihad fatwa.

 

Metodologi ushul fiqh dan qawa'id al-fiqhiyah dalam bahtsul masail, digunakan sebagai penguat atas keputusan yang diambil, apalagi bila diperlukan tandhir dan untuk mengembangkan wawasan fiqih.

 

Ijtihad, taqlid dan talfiq dipahami oleh NU sesuai dengan ketentuan dan pengertian para ulama Syafi'iyah.

 

Referensi para ulama NU sebagian besar adalah kitab-kitab Syafi'iyah.
Keputusan bahtsul masail Syuriyah NU tidak mengikat secara organisatoris bagi warganya.


*) Diambil dari KH MA Sahal Mahfudh, Nuansa Fiqih Sosial, 2004 (Yogyakarta: LKiS). Tulisan ini pernah disampaikan pada seminar nasional Hukum Islam dan Perubahan Sosial pada 14-16 Oktober 1990. Dengan berbagai revisi, tulisan ini juga pernah disampaikan dalam Munas Alim Ulama di Lampung. Judul asli Istinbath al-Ahkam Dalam Kerja Bahtsul Masail Syuriyah NU.

 

Sumber: NUO


Taushiyah Terbaru