• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Jumat, 19 April 2024

Sejarah

NU dan MASYUMI

NU dan MASYUMI
Almaghfurlah KH Bisyri Mustofa dalam sebuah kampanye Partai NU tahun 1971 (Foto: @nudoeloe)
Almaghfurlah KH Bisyri Mustofa dalam sebuah kampanye Partai NU tahun 1971 (Foto: @nudoeloe)

Oleh H Zainaldi Zainal
Pada tahun 1937 terbentuk MIAI atas inisiatif beberapa tokoh NU - Muhammadiyah dan Sarekat Islam. MIAI atau Majelis Islam A'la  Indonesia ini wadah komunikasi yang sifatnya federatif dari sekitar 15 Ormas Islam pada zaman penjajahan Belanda. Pada tahun 1938 MIAI diketuai oleh KH Wahid Hasyim dari NU yang waktu itu baru berusia 24 tahun. 

Ketika tentara pendudukan Jepang masuk menguasai Indonesia, MIAI dibubarkan. Sebagai gantinya kemudian dibentuk MASYUMI atau Majelis Syuro Muslimin Indonesia dengan KH Hasyim Asy'ari, Rais Akbar NU sebagai pemimpin tertingginya. 

Setelah proklamasi kemerdekaan, tepatnya pada 7 Nopember 1945 di Yogyakarta, dibentuk MASYUMI sebagai partai politik. Nama Masyumi yang partai ini bukan singkatan dari Majelis Syuro Muslimin Indonesia. Masyumi saja. Ini yang jarang dipahami orang. 

Para pemimpin Islam dari berbagai organisasi bersepakat untuk menjadikan Masyumi sebagai wadah pemersatu secara politik bagi  umat Islam Indonesia. Para pemimpin Islam itu antara lain dari NU, Muhammadiyah, SI, Persis, PUI, dan lain-lain.  KH Hasyim Asy'ari  menjadi Ketua Majelis Syuro sebagai pimpinan tertinggi di Masyumi. Sementara Sukiman Wiryosanjoyo menjadi Ketua dan KH Wahid Hasyim sebagai Ketua Muda.

Anggota Partai Masyumi ini ormas-ormas Islam yang berjumlah 20 ormas. Ormas yang bergabung di  Masyumi, biasa disebut Anggota Istimewa. Ada satu ormas yang tidak pernah bergabung  di Masyumi, yaitu PERTI atau Persatuan Tarbiyah Islamiyah yang berbasis di Sumatera Tengah (sekarang Sumbar dan Riau). Di kemudian hari, PERTI menjadi partai. 

Partai Masyumi mengalami "perpecahan" karena berbagai sebab. SI atau keluar sekitar tahun 1948/1949 dan menjadi PSII atau Partai Syarikat Islam Indonesia. 
Pada awal 1950-an Ketua Masyumi berganti dari Sukiman ke Moh Natsir. NU mulai merasa "gerah" karena terjadi banyak perubahan yang merugikan. Majelis Syuro yang semula sebagai pimpinan tertinggi partai, berubah menjadi semacam Dewan Penasehat. Kursi Masyumi di DPR yang berjumlah 45 kursi, hanya 8 kursi saja yang ditempati orang NU. Padahal faktanya, NU lah kekuatan terbesar di Masyumi.

Ketika Moh Natsir menjadi Perdana Menteri di awal tahun 1950 an, jabatan Menteri Agama pun diberikan kepada KH Faqih Usman dari Muhammadiyah. Lengkaplah sudah kekecewaan NU di  Masyumi. Dan akhirnya pada Muktamar NU di Palembang tahun 1952, NU keluar dari Masyumi dan menyatakan berdiri sendiri sebagai partai.

Pada tahun 1952 itu kemudian terbentuk LMI atau Liga Muslimin Indonesia yang beranggotakan NU, PSII, PERTI dan sebuah ormas  yang berbasis di Sulawesi Selatan, Darud Da'wah wal  Irsyad (DDI). Ini bukan Al Irsyad Al Islamiyah. Keduanya berbeda. LMI bukan federasi, tetapi lebih bersifat wadah komunikasi dan konsultasi di antara tiga partai dan satu ormas itu.

NU selalu berusaha membuka komunikasi dengan organisasi massa Islam yang lain hingga sekarang, selama dapat saling menghargai perbedaan dan tidak ada keinginan memberontak kepada negara atau merubah haluan negara.

Penulis adalah pemerhati senior sejarah NU


Editor:

Sejarah Terbaru